Senin, 30 Desember 2013

UMKM Butuh Penanganan Tepat dan Kompak



PROSPEK EKONOMI 2014

UMKM : Butuh Penanganan Tepat dan Kompak

C Anto Saptowalyono  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013

 

BANYAK yang menangani, tetapi masalah yang dihadapi tak kunjung tertangani. Inilah ironi yang dihadapi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia. Sebuah entitas usaha yang besar dalam hal jumlah danperanannya, tetapi relatif kurang dalam mendapatkan sentuhan tepat yang dibutuhkan dalam berkembang.

Sebagai gambaran, di luar Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), ada 16 kementerian atau lembaga lainnya di pusat dan daerah yang memiliki program pemberdayaan UMKM. Namun, terwujudnya sinergi yang saling memperkuat dan melengkapi antarprogram atau fokus kebijakan di masing-masing lembaga tersebut dipertanyakan. Hal tersebut jika dikaitkan dengan masih banyaknya kendala yang dihadapi UMKM.

Data olahan Kemenkop UKM menunjukkan, jumlah total UMKM mencapai 56,5 juta unit usaha atau 99,9 persen dari total unit bisnis di Indonesia. Apabila lebih diperinci, dari jumlah unit usaha di Indonesia, jumlah usaha mikro mendominasi, yakni sebanyak 55,856 juta unit atau 98,79 persen, disusul usaha kecil sejumlah 629.418 unit (1,11 persen), usaha menengah sebesar 48.997 unit (0,09 persen), dan usaha besar sebanyak 4.968 unit (0,001 persen).

Terkait kontribusinya terhadap perekonomian, UMKM menyumbang 57,94 persen terhadap produk domestik bruto dengan nilai Rp 4.303,57 triliun. Nilai investasinya tercatat mencapai Rp 830,9 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 110,80 juta orang. Sebarannya yang merata di seluruh Tanah Air memosisikan UMKM sebagai instrumen potensial dalam pemerataan pendapatan dan sekaligus mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat.

Ketika pemerintah belakangan ini gencar mendorong bertumbuhnya wirausaha baru, UMKM pun menjadi sarana bereksperimen yang cocok bagi wirausaha untuk merintis usaha. Pemanfaatan bahan baku dan sumber daya lokal oleh UMKM juga berperan dalam menghemat devisa karena minimnya kebergantungan komponen impor.

Minim koordinasi

Sayangnya, belum ada koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara 17 kementerian dan lembaga tersebut. Padahal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang UMKM jelas mengatur bahwa pemerintah memiliki satu komando dalam pemberdayaan UMKM.

Kondisi tiap lembaga yang memiliki prioritas sendiri-sendiri menghambat pencapaian suatu tujuan. Tidak pernah tuntasnya pengembangan sentra industri ataupun kluster industri yang gencar dilakukan pada tahun 1990-an disebut-sebut juga akibat kondisi tersebut.

UMKM mutlak membutuhkan dukungan, termasuk dalam aspek keuangan. Pemangku kepentingan terkait fiskal, moneter, dan juga regulator bagi UMKM perlu melakukan sinkronisasi agar lebih mendorong pembiayaan mikro. Hal itu penting karena masih relatif minimnya pembiayaan usaha mikro di Indonesia.

Masih rendahnya akses permodalan bagi UMKM tersebut tidak lepas dari sejumlah kendala yang dihadapi pelaku UMKM, semisal dinilai tidak layak bank dan minimnya kemampuan mengelola usaha dengan baik. Sesuatu yang kemudian banyak dicoba atasi oleh beberapa pihak, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia melalui pelatihan pembukuan dan manajemen usaha.

Mengacu data olahan Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan tahun 2012, misalnya, pembiayaan UMKM di Indonesia hanya 20,1 persen dari total kredit perbankan di Tanah Air. Porsi pembiayaan untuk usaha mikro hanya 20,7 persen dari total pembiayaan UMKM yang sebesar Rp 612 triliun.

Masih banyaknya segmen yang belum terlayani menjadikan tingginya potensi pasar keuangan mikro. Hal yang patut dicatat, keuangan mikro jangan hanya dibatasi pada proses transaksi kredit mikro. Keuangan mikro harus disertai pula dengan pendampingan, penjaminan, asuransi, dan sebagainya.

Ada banyak harapan di sisi inklusi keuangan bagi UMKM. Kemenkop UKM mencatat, hanya sekitar 19 persen dari UMK yang memiliki pemahaman dan mempunyai akses ke lembaga keuangan layanan perbankan. Ada beberapa penyebab, di antaranya peraturan-peraturan yang kurang mendukung ataupun kondisi geografis yang tidak memungkinkan pelayanan UKM hingga ke pelosok.

Merujuk hasil penelitian Bank Dunia tahun 2011, kondisi Indonesia dalam hal inklusi keuangan relatif masih terbelakang dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Hal ini tergambar dari hanya 20 persen dari orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal. 

Sebagai perbandingan, persentase orang dewasa di Thailand yang memiliki rekening di bank mencapai 77 persen, Malaysia 66 persen, Filipina 26 persen, dan Vietnam 21 persen.

Pengenalan UMKM terhadap bank disebutkan merupakan awal dari evolusi pembiayaan mikro. Berawal dari mendapatkan bantuan, UMKM kemudian dapat memperoleh kredit program. Setelah usahanya kian berkembang dan layak bank, selanjutnya mereka pun dapat mengakses pinjaman.

Keberadaan koperasi simpan pinjam di Indonesia, yang jumlahnya sekitar 138.000 unit, merupakan sarana yang dapat pula menjembatani dan menyelesaikan masalah permodalan UMKM. Berhimpunnya sekitar 1.200 koperasi wanita pun merupakan potensi dahsyat dalam mendukung permodalan bagi pelaku UMKM.

Penguatan kelembagaan koperasi menjadi tantangan di masa depan. Pun halnya peningkatan akses modal merupakan tantangan bagi koperasi dan UMKM. Termasuk juga peningkatan akses terhadap sumber daya produktif lainnya, seperti teknologi, informasi, dan jejaring.

UMKM berpeluang besar dikembangkan apabila ada koordinasi dan sinergi kebijakan. Adalah sulit mengembangkan 56,5 juta unit UMKM secara bersama-sama. Perlu ada orientasi dan fokus program untuk menentukan UMKM yang betul-betul potensial dan memiliki dampak berganda. Adanya panutan dan aturan main yang jelas diyakini akan mengompakkan dan memudahkan pengaturan koperasi dan UMKM untuk melakukan tindakan kolektif atau bekerja sama dengan pelaku usaha lain.

Tidak terbantahkan, UMKM memiliki sejumlah keunggulan. Mereka terbukti tangguh saat krisis melanda, memiliki keluwesan dalam memasuki semua lini usaha, dan cepat beradaptasi. Bahkan, banyak pula koperasi dan UMKM yang menghasilkan barang dan jasa berkualitas ekspor. UMKM akan terus berkembang sejauh para pemangku kepentingan memberikan dukungan dan sentuhan penanganan yang tepat dan terkoordinasi. Jangan lagi berjalan sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar