Selasa, 28 Januari 2014

Aib Dibuka di Mana-mana

                       Aib Dibuka di Mana-mana

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Seorang pemuda yang hidup  sukses diwawancarai sebuah  media. Hasil wawancara dicetak  dan diedarkan di pasaran  bebas. 

Sebagian disiarkan di televisi,  disertai latar belakang rumah  mewah, kolam renang, mobil-mobil  mewah, dan anjing-anjing  mahal. Dalam sekejap anak muda  yang sukses itu menjadi sangat  terkenal di seluruh Tanah Air.  

Tak mengherankan, para  tetangga, sahabat, dan kenalan  orang tuanya di kampung, di  seberang lautan yang jauh dari  sini, bahkan yang sebetulnya  tidak kenal pun, ikut hiruk-pikuk,  seolah hidup mereka juga harus  diabdikan untuk turut “merayakan”  kebanggaan orang tua yang  anaknya mampu mengguncang  dunia, hanya melalui satu kali  penampilan di media cetak sekaligus  di layar televisi.  

Martabat orang tuanya mendadak  naik tajam seperti harga  saham di bursa efek yang gampang  goyah, gampang berubah,  dan kaget-kagetan secara dadakan.  Seperti kejutan di bursa saham,  sebentar kemudian, rumah  orang tuanya dirombak total,  diganti bangunan megah, dan  paling modern di kota kecilnya.  Jantung para tetangganya  harus kuat untuk menghadapi  kejutan demi kejutan berikutnya.  

Di arisan, di pengajian, di pestapesta,  ibunya menyebarkan berita  kehebatan anaknya tanpa tedeng  aling-aling lagi. Kemajuan anaknya  dan sukses gilang gemilang  yang memancarkan cahayanya  hingga di seberang laut itu menjadi  seperti dongeng: tanpa proses,  tanpa jerih payah, tahu-tahu  kejutan besar muncul.  Sejak siaran media nasional,  terutama siaran televisi yang  hebat itu, sang ibu ikut menjadi  sejenis bintang yang kerlap-kerlip  di langit. 

Sang ibu sadar bahwa  kemajuan anaknya membawa pengaruh  dan kewibawaan besar  baginya. Para tetangga pun terkagum-kagum.  Media lokal yang membebek  media Jakarta rajin mendatangi  ibu yang berbahagia itu untuk  melakukan wawancara mengenai  suasana hati dan kehidupan keluarganya.  Sebagian sekadar  wawancara “gosip-gosipan” yang  tak keruan ujung pangkalnya.  Tapi, sang ibu jelas bangga bukan  kepalang. Masuk koran tanpa  susah payah dianggap suatu  berkah tak terhingga.  

“Bagaimana perasaan ibu  punya anak yang sukses besar di  Jakarta?’ 
“Alhamdulillah, ya gimana ya  Dik wartawan? Allah mahamengabulkan  cita-cita saya. Alhamdulillah deh. Bangga ibu rasanya.”  

“Oh, jadi hal ini memang dirancang,  dan dicita-citakan oleh ibu?”  

“Saya yang mengandungnya  selama sembilan bulan, tak pernah  lupa membentenginya dengan  doa-doa dan permohonan supaya  dia sukses. Dia sudah sukses.  Alhamdulillah. Allahu Akbar. Kita  bersyukur. Ini sukses besar. Anak  saya memang sudah kelihatan  pintar sejak kecil. Ibu bangga.” 

“Bangunan rumah itu nilainya  pasti lebih satu miliar rupiah ya?” 

“E, eeee…jangan remehkan  kami. Belum separuh selesai saja  sudah habis tiga miliar. Mungkin  nanti bisa habis barang tujuh atau  delapan miliar.”  Media lokal ini pun mengguncang  masyarakat setempat.  

Wawancara itu ditulis sebagai  reportase, judulnya besar, mencolok,  dengan huruf-huruf tebal.  Foto sang ibu, yang berjilbab dan  jari-jari kanannya tak henti-hentinya  memutar-mutar tasbih,  tampak disengaja betul untuk  dijadikan fokus. Foto itu besar,  mencolok, dan memancarkan  daya tarik mengagumkan bagi  kaum ibu, teman-teman pengajian, di mana sang ibu menjadi  anggota. 

Bangunan yang belum  jadi juga ditaruh di latar belakang, melengkapi gambaran sukses  keluarga itu.  Sejak hari penerbitan media itu, ibu dan keluarganya mandi  puja-puji dan kekaguman massa.  Mereka dianggap ikon kemajuan  di kota kecilnya dan para tetangganya  yang kekagumannya tak  mungkin disembunyikan. Bukan  bagian dari masyarakat kita  kalau kekaguman itu berhenti di  sana. 

Gunjingan pun berkembang.  Bahkan ada orang tua yang  menjadikan anak sang ibu sebagai  model.  Anak-anak yang harus bermigrasi  ke Jakarta harus juga  meneladani sukses hebat itu.  Keluarga sang ibu lalu menjadi  seperti sebuah “kitab”’ yang ajarannya  dijadikan panutan para  tetangganya.  Apa sebenarnya kerja anak  sang ibu yang begitu mentereng  hidupnya? Tidak ada orang yang  tahu secara persis. 

Dia ada di  mana-mana di kalangan atas.  Juga di antara para tokoh partai.  Di pengajian, di seminarseminar,  dan di tempat golongan  intelektual berkumpul, dia selalu  ada. Pergaulannya luas. Dunia  bisnis pun menerimanya.  Tapi, apa sebenarnya pekerjaannya?  Di mana kantornya?  Berapa anak buahnya? Mengenai  hal ini tak ada orang yang tahu  persis. 

Bukankah tak penting, apa  pekerjaannya? Bukankah yang  penting orang bisa melihat hasil-hasilnya?  Dia sukses. Sukses  besar. Apa yang lebih penting dari  itu, di mata masyarakat kita yang  kagum akan materi, bangga  melihat kesuksesan, tanpa peduli  bagaimana sukses itu diraih.  Orang sekarang tampaknya  memandang hidup secara sederhana:  sukses ya sukses. Di balik  itu yang penting duit. Kantong  tebal. Mobil mewah, rumah mewah.  

Latar belakang sejarahnya  bahwa dulunya miskin, orang tua  miskin, kakek, dan kakek buyut  juga miskin?  Tak menjadi masalah. Yang  miskin itu bukankah leluhurnya? Kalau dia sendiri sukses dan kaya  apa salahnya? Dia juga gemar  pidato tentang apa salahnya  kaya. Di mana-mana dia bicara:  apa salahnya kaya.  Tentu saja tak ada salahnya.  

Tapi, kalau orang miskin tiba-tiba  kaya, tanpa sejarah, tanpa proses,  apakah tidak salah? Logika bisnis  seperti apa yang bisa membuat  dalil pembenarannya? Moralitas  agama dan tradisi macam apa  yang bisa menerimanya sebagai  kebenaran dan wujud keluhuran?  Dia juga dermawan. Kaum  miskin, anak-anak yatim piatu disumbang,  dan disantuni. 

Masjid-masjid  disumbang. Tidakkah ini  cukup menegaskan kebaikan  yang dilandasi kesalehan agamais?  Ini semua dimuat juga di media.  Orang kampungnya sana kaget  lagi mendengar kemuliaan ini.  Sukses dan kesalehan tergabung  dalam hidup seorang anak muda.  Kejutan muncul tiap saat,  meneguhkan kebahagiaan hidup  orang tuanya, saudara-saudara,  dan sanak kerabat di kampung.  

Tapi sekali lagi, jantung para tetangganya,  yang sudah menjadi  pengagum fanatik itu, haruslah  sekuat baja menghadapi banyak  kejutan yang silih berganti.  Sekarang kejutan baru muncul:  media cetak, media “online”,  televisi, dan radio, serentak menyiarkan  berita baru yang mengejutkan;  anak sang ibu, yang  sukses luar biasa tanpa kerja keras  itu, terlibat korupsi. 

Ulahnya  mengakibatkan kerugian besar  bagi negara. Sejumlah angka disiarkan.  Bersama siapa, dalam  proyek apa, dan dengan taktik  bagaimana korupsi itu dilakukan,  semua disiarkan secara detil,  jelas, tanpa menyisakan pertanyaan.  Para tetangga di kampung yang  jauh di mata, jauh dari Jakarta,  juga mendengar siaran itu. 

Bahkan  ada televisi Jakarta yang datang ke  kampung, mewawancarai ibunya,  dan memotret bangunan yang  belum selesai, dan tampaknya tak  akan selesai itu.  Para tetangga, pengagum, dan  pemuja, yang menjadikan keluarga  itu, terutama sang anak yang  sukses sebagai teladan? Semua,  ibaratnya, pingsan. Semua bisu.  

Semua begitu malu telah mengagumi  orang yang tak layak diluhurkan  budinya. Aib pribadi,  aib keluarga, aib tetangga, dan  terbuka. Aib macam ini sekarang  terbuka lebar di banyak pribadi  yang korup, di banyak keluarga.  Pendeknya, aib dibuka di mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar