Selasa, 28 Januari 2014

Bubarkan (Sebagian Besar) LPTK

                Bubarkan (Sebagian Besar) LPTK               

Amich Alhumami  ;   Antropolog,
Penekun Kajian Pendidikan, Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
MEDIA INDONESIA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SALAH satu kritik untuk dunia pendidikan ialah keberadaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), yang punya peran penting dan tanggung jawab besar dalam melahirkan guru. Kritik terhadap LPTK ini terkait dengan jumlah lembaga yang terlampau banyak sehingga terjadi inflasi institusi, juga terkait kualitas lulusan LPTK yang dinilai tidak mumpuni. Jumlah LPTK memang sudah sangat berlebih, mencapai 415 institusi yang terdiri atas 12 eks IKIP, 24 FKIP universitas negeri, satu FKIP Universitas Terbuka, dan 378 LPTK swasta, dengan total mahasiswa mencapai 1,3 juta orang. Dari ratusan LPTK, terutama yang swasta, mayoritas berkinerja rendah dan menghasilkan lulusan berkualitas rendah pula. Jumlah LPTK yang demikian banyak dan mayoritas mutu lulusan yang tidak kompetitif dikhawatirkan akan menciptakan malapetaka baru di dunia pendidikan.

Pertumbuhan LPTK yang tidak terkendali memang sangat mengkhawatirkan karena dua alasan: 1) memperparah komplikasi masalah pengelolaan guru/tenaga kependidikan, dan 2) menyebabkan kelebihan pasokan guru, terutama yang bermutu rendah, sehingga kontraproduktif bagi upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Tidak diragukan, kualitas pendidikan sangat bergantung pada mutu guru. Guru memainkan peranan sentral yang menentukan apakah sistem pendidikan berkinerja baik atau tidak. Sungguh, masalah utama pendidikan nasional ialah terbatasnya guru bermutu sehingga kinerja pendidikan Indonesia sangat tidak membanggakan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari reformasi LPTK, yang menjadi tumpuan bagi ikhtiar melahirkan guru-guru berkualitas dengan kompetensi tinggi.

Kompetensi guru

Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), dari total guru sekitar 2,7 juta orang, sebanyak 1,7 juta (62%) sudah berkualifikasi S-1/D-4 atau lebih sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, dan sebanyak 1,5 juta (55%) sudah mengikuti program sertifikasi kompetensi. Ini berarti mereka telah besertifikat sebagai guru profesional. Namun, status `guru profesional' tidak serta-merta terpantul pada kompetensi dalam mengajar.

Meskipun guru-guru secara formal telah berkualifikasi S-1/D-4 dan besertifikat, kemampuan akademik dan kecakapan mengajar mereka ternyata tidak setara dengan standar profesionalisme keguruan.

Hasil uji kompetensi guru (UKG) menunjukkan gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guru-guru yang diuji (sekitar 878 ribu orang) ratarata hanya 45,85%, sangat jauh di bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional. Hasil UKG itu dengan gamblang menjelaskan betapa guru-guru yang direkrut berkompetensi rendah, bukan hanya dalam hal pemahaman ilmu didaktik-pedagogik, tetapi juga dalam hal penguasaan mata pelajaran. Semua pihak tentu sangat prihatin melihat profil guru dengan kompetensi di bawah standar yang di syaratkan. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kualitas guru melalui program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi kompetensi tak kunjung mengubah keadaan. 

Hal tersebut menunjukkan guru-guru yang ada sekarang adalah produk dari sebuah proses pendidikan keguruan di LPTK yang tidak bermutu. Tak pelak, kita perlu meninjau peran LPTK sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan.

Reformasi LPTK

Upaya meningkatkan kualitas pendidikan harus dimulai dengan melakukan reformasi LPTK, yang menjadi jantung bagi pendidikan bermutu. Reformasi LPTK dapat ditempuh melalui langkah-langkah radikal berikut.

Pertama, identifikasi LPTKLPTK yang berkinerja buruk untuk kemudian dilikuidasi karena mereka berkontribusi pada membanjirnya lulusan pendidikan keguruan yang tidak bermutu. Paralel dengan langkah ini, izin pendirian LPTK baru dan pembukaan program studi pendidikan keguruan, terutama PGSD di LPTK swasta, ditutup sama sekali. Langkah ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga kependidikan, sekaligus menghindari terus bertambahnya apa yang disebut--meminjam istilah di dunia industri--manufacturing defective products dalam pendidikan keguruan. Bayangkan, setiap tahun LPTK melahirkan ratusan ribu lulusan yang sebagian besar bermutu rendah dan kemudian mengajar di sekolah-sekolah. Mereka menjadi bagian dari mata rantai masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Kedua, proses penerimaan mahasiswa di universitas LPTK harus dilakukan sangat ketat dengan menggunakan pendekatan academic merit system.
Mereka yang diterima untuk menempuh pendidikan keguruan di universitas LPTK hanyalah pelajarpelajar cemerlang dengan prestasi akademik tinggi. Kita bisa merujuk pengalaman Finlandia dan Korea Selatan dalam melakukan reformasi LPTK. Kedua negara hanya merekrut masing-masing 20% dan 10% lulusan SMA terbaik untuk mengikuti pendidikan keguruan. Atau, Malaysia yang hanya menyeleksi lulusan SMA dengan nilai A paling kurang 8 dari 10 mata pelajaran untuk kuliah di Institut Pendidikan Guru (IPG). Pendekatan ini mutlak dilakukan agar pendidikan ke guruan tidak ber sifat SENO masif seperti yang berlaku sekarang ini. Sungguh, universitas LPTK harus menjadi institusi prestisius dengan prinsip dasar, the best and brightest individuals go into teaching. Kita bersyukur, dalam dua-tiga tahun terakhir calon-calon mahasiswa yang diterima di universitas LPTK negeri semakin membaik. Peminat LPTK kian meningkat dan kompetisi untuk menempuh pendidikan keguruan makin ketat sehingga setiap LPTK dapat memilih calon-calon terbaik untuk dididik menjadi guru.

Ketiga, ikhtiar meningkatkan mutu guru dilakukan melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut ketentuan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, lulusan-lulusan universitas LPTK tidak otomatis bisa menjadi guru dengan sertifikat mengajar. Bila ingin menjadi guru, mereka terlebih dahulu harus mengikuti program PPG yang dilakukan secara sangat selektif di beberapa LPTK terpilih. Program PPG memberi pembekalan bagi calon-calon guru, terutama pada aspek pengetahuan pedagogi, yang sangat fundamental dalam kegiatan pembelajaran dan proses pendidikan secara keseluruhan.

Pengetahuan pedagogi mencakup antara lain falsafah dan teori pendidikan, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan anak, metode didaktika, evaluasi dan penilaian pembelajaran, serta praktik mengajar. Program PPG harus pula dimaknai sebagai pendekatan alamiah untuk menyeleksi hanya lulusan LPTK yang berkualitaslah yang dapat menjadi guru. Dengan demikian, perlahan-lahan LPTK yang tidak bermutu akan tutup dengan sendirinya sebab lulusan yang dihasilkan tidak bisa mengikuti program PPG.

Faktor pedagogi                                   

UU Guru dan Dosen memberi peluang bagi lulusanlulusan universitas non-LPTK untuk memasuki karier profesional sebagai guru setelah menempuh program PPG yang berbasis di universitas LPTK. Peluang ini untuk merespons kritik para ahli dan praktisi pendidikan bahwa kompetensi profesional--penguasaan subject knowledge-lulusan-lulusan LPTK tidak mumpuni. Penguasaan mata pelajaran yang lemah bagi guru-guru lulusan LPTK jelas berpengaruh pada kualitas pembelajaran. Namun penting dicatat, kualitas pembelajaran tidak sepenuhnya bergantung pada penguasaan subject knowledge semata. Faktor pedagogical knowledge juga sangat berpengaruh, bahkan merupakan faktor determinan dalam proses pembelajaran.

Hasil studi Bank Dunia bertitel Teacher Reform in Indonesia (2013) menunjukkan bahwa guru-guru mata pelajaran matematika yang berlatar belakang sarjana matematika murni memang lebih tinggi dari segi kemampuan penguasaan subject knowledge-nya daripada guru-guru berlatar belakang LPTK; sarjana pendidikan matematika. Namun, apabila dilihat dari hasil belajar, murid-murid yang diajar oleh guru lulusan LPTK justru berkinerja lebih baik. Hasil kajian ini menunjukkan betapa faktor pedagogi sangat menentukan karena terkait dengan kemampuan seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran, dan bukan persoalan penguasaan subject knowledge belaka. Hasil kajian Bank Dunia yang baru dirilis ini dapat menjadi basis bagi reformasi LPTK untuk meningkatkan kualitas pendidikan keguruan dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar