Kamis, 30 Januari 2014

Imlek, Tionghoa, dan Politik

                     Imlek, Tionghoa, dan Politik  

Akh Muzakki  ;   Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PW NU Jawa Timur
JAWA POS,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
ADA lanskap yang berbeda pada perayaan Imlek era Orde Baru dan reformasi. Pada masa Soeharto, Imlek hanya ''perayaan malam tahun baru'' dan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tidak boleh dirayakan di depan publik. Namun, era demokrasi memberikan ruang yang lebih terbuka. Penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif oleh Gus Dur melalui Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tanggal 9 April 2001 mengawali terbukanya ruang yang dimaksud. 

Karena itu, semangat antidiskriminasi kini sangat terasa. Dalam tujuh tahun terakhir peringatan Imlek, pesan antidiskriminasi hampir rutin dikeluarkan Presiden SBY. Pada perayaan Imlek 2558 (2007), SBY menyerukan, ''Sudah bukan saatnya lagi ada diskriminasi. Sudah bukan saatnya saling mencurigai, membeda-bedakan orang berdasarkan asal etnis dan keyakinan yang dianut'' (Jawa Pos, 25/2/2007). Pesan yang sama diulang SBY pada perayaan Imlek 2559 (2008) seraya menyatakan, ''Jangan ada lagi diskriminasi'' (Jawa Pos, 18/2/2008). Pesan itu terus digelorakan hingga tahun lalu.

Semangat antidiskriminasi tersebut menjadi antitesis terhadap perlakuan diskriminatif di ruang ekspresi politik dan kuasa pemerintahan oleh Orde Baru. Warga keturunan Tionghoa cenderung menjadi ''sapi perah'' penguasa kala itu. Atas alasan pengalaman pahit politik 1965, rezim Orde Baru menggiring dan membatasi warga keturunan Tionghoa semata ke dunia ekonomi-bisnis. Namun, hasil kerja ekonomi-bisnis mereka digunakan tak lebih sebagai ATM untuk membiayai kebutuhan individual dan kelompok penguasa politik saat itu.

Berdasar aras pemikiran sejarah tersebut, Imlek kini bukan sekadar momen pergantian tahun berbasis etnis. Tapi, juga perayaan simbolis atas eksistensi etnis Tionghoa di ruang ekspresi politik dan politik kuasa. Semangat antidiskriminasi pada setiap perayaan Imlek menjadi basis penguat simbolis eksistensi politik yang dimaksud.

Salah satu indikator yang paling gampang diukur adalah terbukanya ruang bagi warga keturunan Tionghoa untuk menduduki jabatan politik puncak di partai politik. Posisi politik mereka di partai politik bukan saja menjadi titik kulminasi ceruk pasar (captive market) simpatisan, melainkan juga pemegang posisi manajemen puncak. 

Kita memang pernah memiliki ketua umum partai politik yang dijabat warga keturunan Tionghoa. Tapi, itu terjadi sekitar 60 tahun lalu saat Siauw Giok Tjhan memimpin Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki ikut berkontestasi dalam Pemilu 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan Pemilu 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Kala itu, Baperki berhasil mengakumulasi 70 persen suara warga Indonesia keturunan Tionghoa di Jawa.

Namun, selama 32 tahun Orde Baru, tidak pernah muncul figur keturunan Tionghoa sebagai tokoh puncak partai politik. Ada kevakuman luar biasa besar selama masa itu dari ketokohan Tionghoa di partai politik. 

Nah, derap menuju puncak peringatan Hari Raya Imlek 2565 tahun ini ditandai kejadian penting dalam jagat perpolitikan Indonesia. Salah satu putra terbaik Indonesia keturunan Tionghoa, Rusdi Kirana, didapuk menjadi wakil ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dia adalah presiden direktur Lion Group dan peraih predikat terkaya nomor 29 dari 40 orang terkaya Indonesia 2013 versi majalah Forbes (http://www.forbes.com). 

Naiknya Rusdi sebagai wakil ketua umum PKB tersebut sungguh spesial. Dia merupakan warga keturunan Tionghoa pertama yang menjabat wakil ketua umum partai politik dalam sejarah Indonesia modern. 

Pada era reformasi selama ini, paling banter jabatan yang diraih politisi berlatar belakang etnis Tionghoa adalah ketua dewan pakar dan wakil ketua majelis nasional. Jabatan itu pernah direngkuh Hary Tanoesoedibjo di Partai Nasdem pada November 2011. Namun, pada Januari 2013, dia justru mundur dari posisi politik tersebut. Lalu, dia bergabung ke Partai Hanura sebulan setelah itu dan menjabat ketua badan pemenangan pemilu partai tersebut. 

Hal yang sama terjadi pada figur Alvin Lie yang baru sampai pada posisi pengurus DPP PAN. Juga, Kwik Kian Gie di PDI Perjuangan yang hanya sampai pada posisi salah seorang ketua DPP. Lalu, yang kini fenomenal adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), politikus yang berangkat dari Golkar, lalu pindah ke Gerindra, dan kini menjadi wakil gubernur DKI Jakarta. 

Namun, tidak ada satu pun di antara tokoh-tokoh Indonesia keturunan Tionghoa tersebut yang menjabat posisi puncak partai politik atau setingkat di bawahnya. Karena itu, naiknya Rusdi Kirana sebagai wakil ketua umum PKB menjadi fenomena partikular nan apik untuk menandai era baru relasi Tionghoa dan politik Indonesia modern.

Hanya, ada satu pemandangan umum bahwa warga keturunan Tionghoa yang masuk dunia politik kekuasaan rata-rata masih terbatas pada mereka yang berlatar belakang pelaku bisnis-ekonomi. Terkesan, kesuksesan di bidang bisnis-ekonomi segera diinginkan untuk dikonversi ke dunia politik. Menjadi petinggi partai politik cenderung dijadikan medan ekspansi kesuksesan bisnis-ekonomi yang dimaksud.

Karena itu, tantangan yang dihadapi siapa pun warga keturunan Tionghoa yang bergerak di ranah politik praktis sebagai tokoh puncak partai politik seperti Rusdi sangat jelas. Yakni, mengubah kapasitas simbolis (symbolic capacity) atas posisinya sebagai pemimpin puncak partai politik menjadi kemampuan riil (real capability) untuk melakukan proses kapitalisasi politik dirinya sebagai representasi simbolis warga keturunan Tionghoa.

Caranya, menjadikan dirinya modal kultural-individual penting untuk mengakumulasi suara warga bangsa secara keseluruhan, termasuk keturunan Tionghoa. Keberhasilan Siauw Giok Tjhan dalam mengonversi kapasitas simbolisnya sebagai ketua umum Baperki dengan mengakumulasi 70 persen suara warga keturunan Tionghoa pada Pemilu 1955 tersebut selayaknya bisa direplikasi siapa pun warga keturunan Tionghoa yang menjadi tokoh puncak partai politik saat ini. 

Kemampuan manajerial politik tokoh Tionghoa seperti yang dimaksud segera ditakar keterbukaaan ruang ekspresi publik yang makin luas bagi semua komponen bangsa ini. Ruang politik era awal kemerdekaan, era Orde Baru, dan era reformasi memiliki kekhasan tersendiri. Semua itu memerlukan political treatment yang khas pula. Peningkatan partisipasi politik hingga penguatan posisi politik di partai harus segera disertai akumulasi suara yang baik untuk kebajikan publik. 

Itulah pekerjaan rumah figur keturunan Tionghoa yang menjadi tokoh sentral di partai politik. Mereka harus segera bisa mengonversi tantangan menjadi peluang untuk kemaslahatan warga Tionghoa secara khusus dan bangsa ini secara keseluruhan. Mulai penguatan pendidikan politik, peningkatan partisipasi politik, hingga pemanfaatan suara untuk lahirnya kebajikan publik yang adil dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar