Kamis, 30 Januari 2014

Menangkap Bus

                                Menangkap Bus             

Bina Bektiati  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Percakapan anak perempuan-mungkin berumur sembilan tahun-dengan ibunya ini terjadi di sebuah kamar kecil umum salah satu mal di Jakarta Selatan. Keduanya antre di depan saya; si anak tak henti bercerita, kadang bertanya dalam bahasa Inggris lancar. Ibunya pun menjawab dalam bahasa yang sama, dengan logat Amerika.

Saya sungguh kagum akan kemampuan bahasa Inggris si anak kecil. Mendengarkan percakapan keduanya, saya merasa tidak sedang di Indonesia. Ketika itu, sempat tebersit pikiran: bagaimana jika saya bertanya menggunakan bahasa Indonesia kepada si anak. 

Saya ingat cerita teman saya yang kesulitan mendapatkan sekolah taman kanak-kanak bagi anaknya yang usianya belum genap lima tahun. Rumah mereka terletak di kawasan Bintaro, dan sang ibu tak berhasil menemukan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Semua menggunakan bahasa Inggris. 

Guru di calon sekolah itu, kata teman yang satu ini, berkukuh menjelaskan pentingnya penguasaan bahasa Inggris sejak dini. Guru itu pun dengan fasih menjelaskan manfaat belajar bahasa asing terhadap perkembangan kognisi seorang anak.

Si guru tidak paham alasan teman saya yang ingin menanamkan bahasa Indonesia yang benar, sebelum anaknya belajar bahasa asing. Sebaliknya, dia mungkin berpikiran orang tua anak itu minder karena tak lancar berbahasa Inggris. Akhirnya agar si anak lancar berbahasa Inggris, sang guru pun menyarankan agar orang tua membiasakan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan anaknya. Kawan saya pun berang bercampur putus asa. Dia berpendapat, keprihatinan terhadap merosotnya kepedulian terhadap kualitas berbahasa Indonesia wajib ditularkan.

Kita memang pantas khawatir, orang tidak merasa perlu "melakukan perbaikan" bahasa yang "mengalami penurunan" ini. Mungkin karena sudah terdengar sebagai bahasa Indonesia, frasa seperti itu dianggap benar dan baik. Penyiar televisi dan produk tulisan di media massa turut "melakukan penyebaran" kekonyolan itu. Padahal semua itu bukti bahwa kualitas bahasa Indonesia kita "mengalami kemerosotan".

Para ahli pendidikan pun prihatin atas kurangnya perhatian terhadap pendidikan bahasa Indonesia sejak dini. Mereka mengakui bahwa, dalam kurikulum yang lalu, kedudukan bahasa Indonesia cenderung dilemahkan, tak dihargai pada setiap satuan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak, posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan diganti dengan bahasa Inggris. 

Dalam kurikulum 2013, para ahli pendidikan memartabatkan bahasa Indonesia sejak pendidikan dasar dengan menjadikannya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Untuk itulah, satuan mata pelajaran bahasa Indonesia diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan sosial dan alam. Meski tidak mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, karena sebagai bahasa sehari-hari saja dia kurang disayangi.

Sebelum "mengalami penyesalan", Anda pasti setuju bila bahasa Indonesia sangat layak dicintai secara berkesinambungan. Bukannya saya tidak bangga melihat anak-anak Indonesia sudah lancar berbahasa asing. Tapi jangan sampai anak-anak justru asing dengan bahasa nasionalnya.

Jika tidak, simaklah potongan pembicaraan antara nona rumah yang duduk di sekolah dasar dan pembantu rumahnya ini.

"Non, Pak Slamet (nama sopir keluarga) ke mana?"

Dengan bahasa Inggris di benaknya, si nona kecil menjawab, "Menangkap bus."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar