Jumat, 31 Januari 2014

Menyoal Pidana Mati Koruptor

                  Menyoal Pidana Mati Koruptor

Sehabudin  ;   Alumnus Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
OKEZONENEWS,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      

Korupsi. Satu kata yang bertahun-tahun, terus-menerus bergelayut di negeri berbendera merah-putih. Korupsi mencuat di hadapan publik semenjak Orde Baru bergulir (1966-1998). Aneka usaha dan strategi telah dilakukan, tetapi hasilnya tetap saja nihil. Korupsi tetap saja bergelayut sampai Orde Reformasi (1998-sekarang). 

Kini, korupsi semakin diterpa hembusan jiwa-jiwa hedonis dan materialis kalangan mainstream (elite bangsa). Akibatnya, aneka sistem kehidupan negara karut-marut. Selain itu, Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Ini berdasarkan laporan Corruption Perception Index (CPI) 2013, skor CPI Indonesia adalah 32 dan menempati posisi 114 dari 177 negara yang diteliti indeks korupsinya.

Oleh sebab itu, tidak sedikit masyarakat mulai dari kalangan grass root (masyarakat awam), akademisi, hingga praktisi hukum berkoar-koar menuntut pidana mati koruptor.  Mengingat efek domino korupsi sangat membahayakan. Disadari atau tidak, maraknya praktik korupsi telah merampas lima unsur pokok kehidupan manusia, apa yang oleh Imam asy-Syathibi disebut dharuriyyah atau Ushul al-Khamsah, yaitu: kemerdekaan agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-aql), keturunan (an-nasl), dan harta (al-mal). Bahkan hukum Islam kontemporer menambahkan satu lagi, kemerdekaan lingkungan (bi’ah). 

Realitanya, mayoritas masyarakat dari Sabang sampai Merauke mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam jerat kemiskinan, karena nyaris semua harga sembako mengalami high-cost economy, beribu jiwa harus terenggut nyawanya akibat kelaparan, sulit dan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan sehingga menjadi beban psikologis. Di sisi lain, korupsi berimbas pada demoralisasi elite bangsa dan masyarakat. Belum lagi kondisi lingkungan alam yang memperihatinkan. Alam dieksploitasi dalam skala besar-besaran tanpa dibarengi upaya reboisasi juga lemahnya penegakkan  hukum  terhadap pelaku tindak pidana lingkungan.

Sungguh korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Karenanya, diperlukan sanksi luar biasa bagi pelakunya. Tiada sanksi lain selain pidana mati. 

Secara normatif, pidana mati koruptor termaktub di dalam Undang-undang Tipikor, perbuatan melawan hukum yang bertujuan memperkaya diri atau merugikan perekonomian negara (korupsi) pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 2  UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001).

Dalam perspektif hukum pidana, tujuan hukuman mati untuk melindungi dan memelihara kepentingan umum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan. Apa yang dicita-citakan oleh Doeltheorie (Teori Relatif) adalah pidana mati sebagai langkah preventif kejahatan.
 
Ada beberapa alasan perlunya pidana mati koruptor diterapkan, yaitu: Pertama, pidana mati selaras dengan amanat konstitusi karena ia termaktub dalam Pasal 28 J ayat (2) Amandemen II UUD 1945, di mana setiap orang yang telah melampaui batas kebebasannya (melanggar hukum) sehingga merugikan kehidupan orang lain, maka ia wajib tunduk pada undang-undang. 

Kedua, pidana mati bukan berarti  melanggar hak prerogatif Tuhan (Allah), esensinya pidana mati  ditetapkan oleh syariat Islam dengan dekrit Allah yang tidak bisa diganggu gugat seperti jarimah (tindak pidana) ta’zir (Lihat QS. Al-A’raf [7]: 157). Sanksi jarimah ta’zir bergantung pada penguasa atau keputusan hakim. Dasar jarimah ta’zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Sebagaimana adagium fikih, “Tindakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.” Jarimah ta’zir sebagai indikasi manusia diperintahkan melaksanakan sanksi-sanksi yang telah didekritkan Allah sesuai dengan jarimahnya, yang salah satunya berwujud pencabutan nyawa manusia (Nur’ainy, 2008). 

Ketiga, pidana mati tidak bertolak belakang dengan Pancasila karena pidana mati diterapkan dengan tujuan melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan. Dengan ungkapan lain, mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadharatan nasional. 

Sayangnya, persoalan pidana mati koruptor masih menjadi polemik belum menyentuh ranah praktikal. Koruptor masih dipidana penjara plus denda. Itu pun hukumannya acap kali tidak sesuai sehingga menyisakan dongkol, amarah, benci dan seribu satu macam perasaan serta sikap masyarakat. 

Pidana penjara sebenarnya hanya memberi efek waspada tidak memberi efek jera. Faktanya, koruptor di negeri ini semakin beranak-pinak (regenerasi). Ketika koruptor sudah ber-regenerasi, besar kemungkinan negara akan terus-menerus berada di titik nadir kehidupan (kemiskinan dan keterbelakangan). Apabila keadaan negara sudah seperti ini, untuk memulihkan stabilitas negara bukan perkara “membalik telapak tangan”.

Oleh karena itu, pidana mati koruptor sangat urgen diterapkan. Dalam penerapannya memang butuh keberanian, ketegasan, komitmen, konsisten, dan sinergitas elite bangsa dan catur wangsa (hakim, jaksa, advokat, dan polisi) dan didukung oleh masyarakat. Pada akhirnya, Indonesia menjadi negara antikorupsi dimana masyarakatnya hidup adil, makmur, sejahtera, dan penuh berkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar