Jumat, 31 Januari 2014

Spiritual Ecology

                             Spiritual Ecology          

Maksun  ;   Mahasiswa S3 Walisongo Semarang
KORAN JAKARTA,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Krisis lingkungan kini menimpa hampir seluruh wilayah yang berdampak banjir, tanah longsor, polusi, ketidakmenentuan cuaca. Alam sahabat manusia menjadi bersifat destruktif dan ancaman sangat serius kehidupan manusia. Puluhan nyawa melayang akibat banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara.

RF Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981) mengatakan ini terkait dengan krisis spiritual. Bencana alam akibat krisis lingkungan silih berganti harus menjadikan manusia mereoreintasi hidup. Manusia jangan lagi merusak alam, tindakan tidak bertanggung jawab.

Dalam konteks ini, menarik untuk dicermati munculnya sebuah aliran pemikiran baru dalam bidang ekologi, spiritual ecology, alternatif terhadap pemikiran lingkungan dalam perspektif baru. Spiritual ecology adalah sebuah kritik. Pemikiran environtalisme barat, yang khas ekonomik dan teknologik, kerusakan lingkungan hidup hanya dipandang sebagai persoalan alami dan teknis. 

Secara etimologis, ekologi berasal dari bahasa Yunani, oikos, yang berarti rumah atau tempat berdiam, yang juga berarti rumah tangga, dan logos, ilmu.
Ekologi lalu diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungan. Adapun satuan pokok (unit of analysis) ekologi adalah ekosistem atau sistem ekologi, yakni suatu kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem.

Dengan pengertian dan pokok pembahasan tersebut, jelas bahwa kajian ekologi berpusat pada manusia dan alam sebagai suatu sistem (ekosistem). Karena manusia dan alam merupakan suatu ekosistem, kondisi yang mutlak diperlukan untuk tetap mempertahankan kesatuan tersebut hubungan timbal balik manusia dan lingkungan. 
Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, menggambarkan disharmoni hubungan manusia dan alam. Maka, keserasian hubungan harus dijaga. Mengingat kedudukan manusia dalam alam lingkungan kosmik, sewajarnyalah manusia menjadi pusat perhatian utama dari seluruh rangkaian hubungan makhluk di alam ini. 

Hubungan manusia dan alam didasarkan pada etika antroposentrik, manusia ditempatkan sebagai tuan yang berkuasa atas alam. Tak dapat dipungkiri, dengan etika semacam ini, yang dikembangan dalam rangka modernisasi, manusia harus mampu keluar dari kungkungan determinasi kosmologis untuk menaklukkan alam. 
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi membuktikan kekuatan manusia atas alam sekitarnya. Manusia kini menikmati berbagai kemudahan hidup. Manusia bisa dengan mudah berkomunikasi jarak jauh dalam dunia, global village ini. 

Hanya, di balik kemajuan tersebut, manusia sekarang menghadapi realitas lain berupa krisis ekologis, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan tadi. Tetapi yang paling mendasar dan langsung menyentuh sisi eksistensi manusia, alienasi (keterasingan) dari dirinya. Inilah paradok modernitas dari tujuan awal pengembangan iptek.

"Spiritual Ecology"

Berbagai implikasi negatif dan destruktif perkembangan iptek atau industrialisasi mendorong manusia melihat kembali hakikatnya. Untuk apa iptek diciptakan? Kini, ada keinginan kembali kepada dunia spiritual, setelah sekian lama ditolak karena dipandang tidak mendorong modernisasi.

Dalam bentuk yang lama, spiritualisme lebih banyak berorientasi ke atas (teosentrik), sedangkan dalam bentuk yang baru muncul pada era postmodern, lebih banyak diorientasikan untuk menjawab persoalan kemanusiaan global (global humanity).
Dalam konteks diskursus ekologi, kebangkitan spiritualisme ini membawa implikasi pergeseran paradigma (paradigm shift) ekologi, yaitu suatu pandangan dasar keekologian yang mencoba mencari dasar-dasar pijakan spiritual untuk mengangkat alam lebih dari sekadar ilmu.

Dia beroperasi lebih dari hanya dalam konteks politik. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah "ekologi dalam" (deep ecology) sebagai lawan dari paradigma "ekologi dangkal" (shallow ecology). 

"Ekologi dalam" ini, secara paradigmatis memunyai pijakan pada filsafat dan agama. Dari sini dibangun paradigma spiritual ecology. 

Apa yang membedakan deep ecology dan shallow ecology? Di antaranya, shallow ecology banyak dibentuk pemikiran-pemikiran modern yang positivistik dan antroposentrik.

Ini berimplikasi pada penguasaan manusia atas alam dengan segala akibat yang ditimbulkannya, sedangkan deep ecology karena basisnya filsafat dan agama, kesatuan ekologis menjadi pandangan paling utama dengan menyadari hak asasi manusia dan alam. 

Manusia diakui hak asasinya atas alam karena potensi dan kedudukannya sebagai pengelola– sebagai khalifah fi al-ardl dalam doktrin spiritualisme Islam. Alam pun diakui hak asasinya karena berlakunya hukum keseimbangan (tawazun) semesta.
Pandangan dasar tersebut berpengaruh terhadap hubungan manusia dan alam sekitar. Jika shallow ecology lebih memusatkan pada manusia sehingga memunculkan hubungan yang sepihak. Ini antara lain dapat dilihat pada eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan manusia.

Maka, dalam deep ecology, model hubungan yang diciptakan, keseimbangan (balances). Dalam konteks keseimbangan ini, eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip keseimbangan.

Atas dasar itu, maka yang akan dicapai keduanya juga berbeda. Shallow ecology lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, deep ecology lebih diorientasikan demi terpeliharanya moralitas ekologi manusia yang tetap menjaga keseimbangan alam. 

Dari uraian tadi dapat dipahami, pemikiran lingkungan dalam perspektif spiritual ecology, pada dasarnya ingin memberi wacana keekologian baru. Persoalan krisis ekologis lebih banyak berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam. Pandangan dasar inilah yang akan membentuk perilaku ekologi (ecological behavior) dengan segala implikasi yang dimunculkan.

Jika saja prinsip-prinsip spiritual ecology yang berbasis pada filsafat dan agama itu secara konsisten diaplikasikan dan ditegakkan, krisis ekologis yang kerap melanda seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dapat dieliminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar