Senin, 10 Februari 2014

Aceh, Contoh Penyelesaian Kejahatan Masa Lalu

    Aceh, Contoh Penyelesaian Kejahatan Masa Lalu  

Isabelle Arradon  ;   Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International
KOMPAS,  10 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SULIT menjawab kapan suatu konflik bersenjata benar-benar ”berakhir”. Bahkan, ketika senjata-senjata api telah berhenti menembak, dan korban berjatuhan tidak lagi menumpuk, luka masih menganga.

Para anggota keluarga tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka yang dicintainya. Para pelaku kejahatan yang menyeramkan tidak terjangkau hukum. Dan, para korban yang bertahan mengalami kesulitan karena kehilangan rumah dan mata pencaharian. Hal ini berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.   

Kerusakan luar biasa konflik Aceh mungkin secara resmi telah berakhir dengan perjanjian damai 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, tetapi para korban dan komunitas lainnya masih menjalani dampak konsekuensinya hingga hari ini.

Pada 3 Februari 1999, salah satu dari pembunuhan massal terburuk dari konflik Aceh terjadi. Sesaat setelah tengah malam, sebuah unit militer mengeluarkan tembakan tanpa pandang bulu terhadap ribuan orang yang baru kembali pulang dari aksi unjuk rasa di Kampong Matang Ulim di Idi Cut, Aceh Timur. Dalih mereka, serangan balik atas diculiknya dan terbunuhnya sepuluh anggota personel militer sebulan sebelumnya.

Paling tidak tujuh orang tewas pada malam tersebut dan puluhan luka-luka. Untuk menutupi jejaknya, para anggota militer dilaporkan mengikat mayat- mayat itu dengan kawat, menaruhnya di dalam karung, dan melemparkannya ke sungai terdekat.

Lima belas tahun kemudian, tidak satu orang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa pembunuhan di Idi Cut tersebut. Sedihnya, ini merupakan kasus emblematik dari konflik Aceh sebagai keseluruhan, dan banyak lagi dari konflik masa lalu Indonesia.

Di Aceh konflik ini masih menyediakan luka menganga: nasib dari banyak orang yang terbunuh masih tidak diketahui, para pelaku pelanggaran HAM masih melenggang bebas, dan upaya pemerintah menyediakan reparasi kepada mereka yang terkena dampak konflik hanya sepotong-sepotong dan terbatas.

Situasi ini yang disorot Amnesty International dalam laporannya tahun lalu, Time to Face the Past (Saatnya Menghadapi Masa Lalu), yang meneliti kegagalan pemerintah menyediakan keadilan, kebenaran, dan reparasi kepada para korban pelanggaran HAM selama konflik Aceh yang menjadi hak-haknya di bawah hukum internasional.

Tak ada kemauan politik

Sudah menjadi perjuangan yang berat bagi banyak aktivis dan kelompok hak asasi manusia yang telah memperjuangkan hak-hak dari ribuan korban dan keluarganya. Selama ini tidak ada kemauan politik yang jelas mengatasi kejahatan-kejahatan masa lalu.

Di tingkat nasional, masih minim kemajuan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya selama dua periode jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah pusat telah gagal mengadopsi sebuah undang-undang baru tentang komisi kebenaran nasional setelah yang lama dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Masih belum ada program reparasi yang komprehensif yang spesifik ditujukan untuk memulihkan kerugian yang diderita para korban dan anggota keluarganya dari kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional selama dekade terakhir. Banyak korban di Aceh merasa mereka telah ditinggalkan komunitas internasional, khususnya Uni Eropa dan ASEAN, yang memainkan peran kunci dalam proses perdamaian.

Namun, pada Desember 2013, ada sebuah terobosan bersejarah. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 27 Desember yang menyediakan pembentukan suatu komisi kebenaran. Meskipun produk legislasi ini masih jauh dari sem- purna, ini menunjukkan bahwa melalui kemauan politik, dalam hal ini parlemen Aceh, bisa ada langkah nyata menyelesaikan masalah masa lalu.

Komisi kebenaran Aceh ini bisa bergerak maju menuju pemahaman kondisi yang menyebabkan pelanggaran HAM masa lalu, belajar dari masa lalu untuk memastikan bahwa kejahatan serupa tidak akan dilakukan kembali, dan menjamin bahwa pengalaman berbagi bersama diakui, diketahui, dan dirawat.

Sekarang ini bergantung kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pusat untuk memastikan bahwa qanun ini diimplementasikan pada kesempatan secepatnya dan bahwa komisi ini bekerja sesuai dengan standar internasional. 
Parlemen Aceh telah memberi contoh bahwa pihak lain di Indonesia harus mengambil catatan. Sebuah undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus mengatasi agenda politik.

Ratusan ribu orang masih menunggu kebenaran dan keadilan dari konflik-konflik masa lalu di Indonesia, seperti peristiwa 1965-1966, kerusuhan Mei 1998, dan konflik di Papua dan Timor Leste (dulu: Timor Timur).

Menyelesaikan kejahatan masa lalu ini tidak hanya akan berkontribusi pada penyembuhan luka terbuka dari penduduk sipil, tetapi juga akan bergerak maju menuju berakhirnya ketidakpercayaan umum masyarakat di seluruh negeri ini
terhadap pemerintah dan pengadilan yang akan terus ada, selama impunitas penuh atas pelanggaran-pelanggaran HAM serius masih terjadi. 

Pada April dan Juli mendatang rakyat Indonesia akan memilih parlemen dan presiden yang baru (meski sementara kampanye telah berlangsung), sementara upaya penyelesaian kejahatan masa lalu secara mengecewakan tidak hadir. Isu ini bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi; justru yang harus diajukan ke depan dan diangkat ke panggung utama dalam perdebatan.

Parlemen Aceh telah menunjukkan bahwa hal ini mungkin. Ini saatnya bagi pihak-pihak lain di Indonesia mengikuti jejak yang sama. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar