Kamis, 27 Februari 2014

Alpa Sosialisasi Askes dan Jamsostek

Alpa Sosialisasi Askes dan Jamsostek

Effnu Subiyanto  ;   Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik
(Forkep), Kandidat Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA,  26 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Sentralisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 1 Januari 2014 yang kemudian diturunkan menjadi UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memang sangat mendesak. Dua korporasi besar BUMN, yakni PT Askes dan PT Jamsostek yang berturut-turut berubah nama menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyatakan siap dengan perubahan nama itu.
Iklan pada media cetak dan elektronik sering ditayangkan untuk menyatakan kesiapan transformasi itu, namun sisi sosialisasi dengan stake holder secara langsung ternyata sangat minim dilakukan.

Kealpaan dua BUMN ini tentu sangat disayangkan karena Askes dan Jamsostek akan menentukan nasib kesehatan dan jaminan pensiunan puluhan juta orang. Nilai uang yang sudah ditanamkan dari rakyat Indonesia kepada Askes, misalnya, kini langsung mendapat anggota 10,3 juta dari Jamkesda 175 kabupaten/kota dengan nilai premi Rp 19.225 per orang. Ini belum termasuk nilai buku yang ditransformasi dari Askes yang pasti bernilai triliunan.

Sementara Jamsostek mengaku mengendalikan nilai aset sekitar Rp 147,24 triliun per November 2013. Dana dua BUMN dari pengerahan dana rakyat Indonesia yang menjadi pelanggannya itu, kini sangat menentukan instrumen moneter nasional dan menjadi sumber pembiayaan utama negeri ini. Dengan kapitalisasi kekayaan sejumlah itu, maka akan berlomba perbankan, pasar modal, obligasi, asuransi, surat utang dan masih banyak instrumen keuangan lainnya merayu-rayu memberikan benefit menggiurkan. Apakah benefit itu untuk pembayar iuran, tentu saja tidak, benefit itu adalah untuk manajemen dalam konteks welfare.

Risiko dengan perubahan nama yang sama sekali berbeda itu secara hukum tidak mudah di Indonesia. Askes berubah menjadi BPJS Kesehatan sementara Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, otomatis diperlukan usaha luar biasa untuk menyesuaikan harta kekayaannya yang ditanamkan di mana-mana. Stake holder kedua BUMN ini otomatis mendapat risiko langsung bahwa nilai manfaat yang ditanamkan ke berbagai institusi pengerah dana itu terancam lenyap pada 1 Januari 2014. Tepat pada tahun baru itu, argometer Askes dan Jamsostek akan berawal dari nol secara otomatis.

Harus Transparan

Hal yang selama ini diremehkan oleh umumnya para pengerah dana secara massal adalah sosialisasi. Masyarakat tidak diberikan cukup edukasi dan pengertian bagaimana manfaat suatu program tertentu kepada pelanggannya. Perusahaan ini mengemis-ngemis ketika memerlukan dana namun melupakan ketika uang sudah di tangan. Bahkan setelah uang itu terkumpul sangat besar jumlahnya, bagaimana pengelolaan dana itu juga tidak transparan disampaikan.

Mengenai transformasi menjadi BPJS sebentar lagi, gap informasi malah semakin besar terjadi. Rakyat yang cerdas tentu akan bertanya, apa benefit dengan berubah nama, siapa pihak yang diuntungkan dengan perubahan nama dan berapa benefit yang diperoleh.

Dalam tataran makro ketika SJSN menjadi UU No 40/2004 dalam sidang-sidang DPR tentu seluruh rakyat pada akhirnya yang diuntungkan. Namun, tentu saja pemahaman bahwa stake holder yang loyal membayar iuran ketika Askes dan Jamsostek dalam masa-masa sulit, tidak boleh dirugikan harus dilindungi. Jangan terkesan pelanggan loyal selama ini dikorbankan dalam ketidak-tahuan.

Masalah berikutnya yang kini mengemuka adalah pertentangan pemilihan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) untuk tenaga kerja. Jamsostek tentu saja lebih menyukai model iuran pasti daripada manfaat pasti. Jika dengan skema PPIP, pengepul dana pasti mendapatkan jaminan jumlah iuran dengan pasti per bulan 8 persen dari upah sementara manfaatnya tidak akan pernah dijamin. Sementara bagi pembayar iuran tentu saja menyukai skema PPMP yang lebih memberikan perlindungan pada saat pensiun kelak. Berapa kelak yang didapatkan terhadap iuran yang rutin dibayarkan ketika pensiun akan dapat diketahui sehingga tenaga kerja menjadi aman.

Pemerintah akhirnya memutuskan memilih PPIP yang sangat tidak berpihak kepada pembayar iuran. Ini sama saja dengan memberikan cek di muka kepada para pengurus BPJS Ketenagakerjaan untuk bebas mengembangkan modalnya namun tidak menjamin hasilnya. Jika misalnya para pengurus BPJS Ketenagakerjaan kelak salah dalam berinvestasi seperti yang terjadi pada Bumiputera yang kini kolaps, maka sangsi hukumnya tidak ada. Pembayar iuran pada akhirnya yang dikorbankan. Celah ini harus diwaspadai oleh rakyat dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang pada tahun 2014 mulai memberlakukan pasal kejahatan korporasi pertama kali.

Tidak Mudah

Transformasi Askes dan Jamsostek menjadi nama sesungguhnya tidak mudah karena itu jangan disepelekan. Pada saat perubahan ini jika tidak cermat dan hati-hati dilakukan maka sekaligus akan membuka peluang meraibkan aset triliunan kedua BUMN itu. Indikatornya akan kelihatan di belakang hari, jika jumlah aset itu tidak berkurang pada kesempatan hasil audit akhir tahun maka eksekutif kedua BUMN itu telah bertindak hati-hati dan jujur. Namun jika didapatkan cerita sebaliknya maka transformasi menjadi nama baru adalah modus korupsi baru.

Ketika masih banyak keluhan mendapatkan layanan dan hak-hak dari Askes dan Jamsostek selama ini, maka seluruh rakyat Indonesia harus mewaspadai tindakan moral hazard atas sebuah korporasi tidak terkecuali. Momentum perubahan nama korporasi adalah saat yang tepat, dari sisi manajemen untuk me-laundry semua aib-aib. Sementara bagi rakyat adalah saat tepat untuk mengukur kesungguhan kinerja manajemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar