Jumat, 28 Februari 2014

Bencana versus Sabda Alam

Bencana versus Sabda Alam

Sujiwo Tejo  ;   Dalang
TEMPO.CO,  27 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Sudah saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, dan sejenisnya sebagai bencana alam adalah bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam, sadar atau tidak, terkandung kemarahan atau minimal kekesalan kita kepada alam.

Bukankah letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia biasa agar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal yang sudah niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnya dengan pemuaian, penguapan, gravitasi, dan sebagainya, kok dengan sepihak dan sewenang-wenang kita tuding sebagai bencana?

Dengan istilah yang mengandung unsur penyalahan alam, aktivitas memindahkan manusia terkesan sebagai kegiatan mengungsikan orang-orang dari ruang dan waktu milik mereka sebelumnya yang kemudian direnggut oleh alam. Padahal, kesibukan itu hanyalah bahu-membahu bagi sesama untuk sementara guna mengembalikan ruang dan waktu yang mereka pinjam dari alam sebagai nyonya ruang dan waktu.

Saat letusan gunung, angin topan, dan semacamnya terjadi, selalu mengharukan melihat polisi dan tentara rukun dalam membantu warga-pemandangan yang langka untuk "job-job" lain. Sayang, pada saat serentak, selalu membuat sedih. Sedihnya, pekerjaan yang guyub-sentosa itu sejatinya didorong oleh niat mengungsikan manusia dari hak milik ruang dan waktunya. Yang dipindahkan pun mempunyai rasa serupa. Adegan lantas tak ubahnya dengan pemandangan mengungsikan warga dari hak milik ruang dan waktunya yang terenggut oleh peperangan.

Padahal, peperangan jelas-jelas berbeda dengan letusan gunung. Peperangan itu bencana. Letusan gunung, seperti halnya angin puting-beliung dan sejenisnya, adalah sabda alam. Mereka adalah keniscayaan-keniscayaan yang berlangsungnya tidak bergantung pada nafsu, hasrat, cita-cita, dan lain-lain manusia.

Ini sama halnya sabda alam yang terucap dalam hukum gravitasi bumi. Buah apel akan jatuh bila dilepas. Tak peduli apa harapan Galileo maupun Newton terhadap nasib buah tersebut.

Apakah jatuhnya apel adalah bencana? Rasanya semua akan sepakat untuk mengatakannya tidak. Herannya, dalam musyawarah tata nilai, sadar maupun tidak, semua masih mufakat bahwa letusan gunung adalah bencana alam.

Buntut lain dari penggunaan idiom bencana alam masih banyak. Di antaranya, kegiatan yang dianggap sebagai pemulihan dari akibat letusan gunung dan semacamnya disebut penanggulangan. Lahirlah, misalnya, lembaga yang dinamai Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Konsisten dengan anggapan sebagai bencana, letusan gunung pun dianggap sebagai masalah. Masalah, sebagaimana lilitan utang, skripsi yang tak kunjung rampung, dan sebagainya, harus ditanggulangi.

Padahal, sejatinya, yang bermasalah itu siapa? Yang mencari perkara, ya, kita. Kita semua termasuk saya. Yang berkehendak tinggal di atas ribuan kilometer tapal kuda api. Kita sudah berkehendak menjadi perkara itu sendiri jauh sebelum gunung meletus.

Alam tak demikian. Tanah yang labil lantaran tak ditahan oleh akar-akar maupun talut akan tunduk pada sabda alam untuk mencari kestabilan baru dengan cara longsor. Gunung, sungai, hutan, lautan, dan sebagainya tak punya kehendak. Mereka hanya tunduk pada hukum alam untuk selalu mencapai, itu tadi, keseimbangan baru.

Konsekuensi menamai sabda alam terhadap semua itu termasuk gempa, sebagai ganti bencana alam, tentu banyak. Antara lain, tak ada lagi nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Adanya Badan Nasional Penyelarasan Sabda Alam.

Sabda alam tak perlu ditanggulangi, tak perlu diatasi, apalagi dilawan. Sabda alam hanya perlu diselarasi. Ini klop dengan doa agama-agama leluhur untuk tak minta apa-apa kecuali memohon agar kita senantiasa sanggup menyelaraskan diri dan tunduk dalam harmoni hukum semesta.

Harmonisasi terhadap hukum alam itu bisa ditempuh melalui jalan pengetahuan. Selama tinggal di atas tapal kuda api itu, yang percaya ilmu pengetahuan model sekarang biarlah menyimak petunjuk-petunjuk Mbah Rono dan sejawatnya.

Yang percaya ilmu pengetahuan model baheula biarlah menyimak petuah-petuah Mbah Maridjan dan para sejawat serta penggantinya, yang melanggengkan cerita-cerita tentang gegunung. Jangan sampai 129 gunung berapi di Nusantara ini kehabisan kisah. Jangan sampai orang-orang berpikir bahwa Gunung Karangetang, Gunung Lokon, dan Gunung Rokatenda sebentar lagi mungkin akan meletus. Tidak! Mereka tak akan pernah meletus. Mereka, bahkan menurut Mbah Rono, hanya akan menepati janji-janjinya.

Ya, senantiasa mencari keseimbangan baru dan senantiasa menepati janji-janjinya. Demikianlah sabda alam dalam dua cita rasa ilmu pengetahuan.

Soal penggantian bencana alam dengan sabda alam, atau dengan istilah lain kalau ada yang lebih tepat, tidak susah. Mengafkir papan-papan nama departemen menjadi kementerian saja bisa kok. Apalagi mengganti nama-nama yang kuat terkait dengan tata-krama kita terhadap alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar