Kamis, 27 Februari 2014

Fund rising di Sektor Pangan

Fund rising di Sektor Pangan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan, Direktur dan Pendiri Center for National Food Security Research
MEDIA INDONESIA,  26 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
TERUNGKAPNYA praktik mafia pangan yang mengimpor beras ilegal, beberapa waktu lalu, mengindikasikan pemerintah belum serius membangun kedaulatan pangan seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah selama ini selalu `bernyanyi' tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan itu terkesan sebatas wacana politik kampanye jelang Pemilu 2014 sebab pasar tetap digelontori beras impor.

Pemerintah yang selalu menempatkan politik perberasan menjadi isu yang seksi, tetap memunculkan pertanyaan klasik yang belum dijawab, mau dibawa ke mana kedaulatan pangan? Jika merujuk kepada UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, tidak mengidentikkan pangan hanya pada beras. Pangan diartikan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati yang diperuntukkan makanan manusia. Konsumsi beras di Indonesia mendekati angka 140 kg per kapita per tahun, mengindikasikan sistem pola konsumsi pangan masyarakat belum benar.

Harga murah

Sektor pertanian selama ini selalu diposisikan untuk menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara itu, keseriusan pemerintah untuk membangun pertanian pangan yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian melemah. Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani, kini roh dan semangatnya terasa kian menjauh.

Sebaliknya pemerintah negara-negara maju amat melindungi petani mereka. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar itu tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertanian mereka disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan mereka--dalam arti luas--dan terjadi surplus produksi. 

Kelebihan pangan itu memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub ialah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus lagi. Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat sebesar 2,62% jika dibandingkan dengan tahun produksi 2012. Peningkatan produksi yang signifikan itu seakan abai terhadap sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai.

Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi lahan yang mencapai rata-rata sekitar 100 ribu hektare (ha). Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, bagaimana mungkin mengharapkan peningkatan produksi padi yang signifikan? Upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk pikuk pelaksanaan otonomi daerah menetaskan pencapaian kedaulatan pangan semakin kehilangan arah. Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian pangan. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di 2014 semakin jauh dari harapan.

Berpusat pada beras

Secara gradual produksi beras Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang meningkat, walau tidak mampu menutup keran impor. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250 juta jiwa mengindikasikan pertumbuhan penduduk sudah beradu cepat dengan produksi pangan yang secara alamiah bergerak melambat. Konsekuensi logisnya keran impor beras akan selalu dibuka. Implikasinya petani semakin susah karena kebijakan politik impor itu memicu pemiskinan petani dan mengganggu mekanisme pasar.

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus rugi setiap siklus tanam.

Jika angka produksi GKG 2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, artinya kebutuhan konsumsi sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. Lantas mengapa di 2013 pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani kita. 

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Sudah bukan rahasia lagi, urusan logistik beras yang dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) oleh suatu rezim yang berkuasa. Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan m antara pembeli dan penjual, `tradisi impor' itu menjadi seakan legal sebagai pilihan yang tepat daripada memproduksi dari dalam negeri.

Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan maka defisit beras otomatis terjadi. Jika impor beras dilakukan, dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnannya proses produksi perberasan dalam negeri. Namun, yang pasti, jika pemerintah masih tetap mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, pengaruh jangka panjangnya bak menyimpan bom waktu. Patut disadari karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4% dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar--keempat terbesar setelah China, India dan AS--dan sekitar 60% dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25% untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.

Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan. Dengan mengatur tata niaga beras sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melontarkan gagasan revitalisasi pertanian. Namun, sampai sekarang belum terlihat jelas di bidang apakah sektor pertanian yang sedang dan telah direvitalisasi yang mampu mengatrol kesejahteraan petani.

Sudah saatnya politik beras murah diakhiri dengan mendorong pembangunan pertanian yang berkelanjutan seraya memperluas diversifikasi produk pangan untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai beras impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar