Selasa, 25 Februari 2014

Irasionalitas Pasar

Irasionalitas Pasar

Muhammad Syarkawi Rauf  ;   Peneliti
pada Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis, FE Unhas
KOMPAS,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Penghargaan Nobel Ekonomi 2013 yang diumumkan oleh The Royal Swedish Academy of Sciences pada Oktober lalu diberikan kepada tiga ekonom Amerika Serikat atas kontribusi mereka dalam menjelaskan pergerakan harga aset. Ketiganya—Robert J Shiller, Eugene F Fama, dan Lars Peter Hansen—menyimpulkan bahwa teori dan penelitian empiris ekonomi keuangan hanya bisa memprediksi dengan baik pergerakan harga aset dalam jangka panjang, bukan jangka pendek.

Penghargaan ini menjadi sangat menarik karena diberikan kepada dua ekonom, yaitu Shiller dan Fama, yang memiliki pandangan bertolak belakang. Bahkan, The New York Times (14/10/2013) membuat judul Economist Clash on Theory, but Will Still Share the Nobel. Adapun Hansen berkontribusi dalam temuan Generalized Method of Moments (GMM) untuk memprediksi pergerakan harga aset keuangan.

Perbedaan pandangan antara Fama dan Shiller terletak pada asumsi bahwa investor bersifat rasional dan pasar efisien.

Fama (1970) dikenal melalui penelitian empirisnya tentang Efficient Market Hypothesis (EMH). Sementara Shiller pada awal tahun 1990-an terkenal melalui gagasannya mengenai behavioral economics yang mengaplikasikan ilmu psikologi dalam analisis keuangan.

Gagasan Fama yang menonjol adalah bahwa proses pembentukan harga aset keuangan selalu mencerminkan semua informasi yang dibutuhkan pelaku pasar.
Pelaku pasar yang bersifat rasional akan mampu secara tepat memprediksi pergerakan harga aset keuangan, dan dengan demikian harga yang terbentuk adalah harga yang sebenarnya.

Hal ini mendasari penolakan Fama terhadap pendapat Shiller pada tahun 2005 bahwa kenaikan harga properti di AS yang sangat tinggi mengarah pada bubble (gelembung).

Fama yakin pasar memiliki mekanisme koreksi, yaitu ketika harga aset rendah, maka investor rasional akan membeli dan menjualnya kembali saat harga naik sehingga tidak terjadi bubble.

Pandangan Fama mengenai rasionalitas investor dan efisiensi pasar menjadi dasar deregulasi sektor keuangan.

Wall Street—sebutan untuk pusat keuangan terbesar AS—mendesain berbagai produk derivatif dan melakukan sekuritisasi secara masif terhadap berbagai instrumen keuangan. Akibatnya, sektor keuangan berkembang menjadi tidak terkendali melampaui perkembangan sektor riil (kegiatan produksi).

Kecenderungan ini tidak berlangsung lama karena terhenti oleh krisis keuangan tahun 2007 yang sekaligus melahirkan pertanyaan mengenai kredibilitas para ekonom di Wall Street dan juga ilmu ekonomi.

Gagasannya mengenai rasionalitas investor dan efisiensi pasar menyatakan bahwa investor dengan ketersediaan informasi baik (smart investor) akan bertransaksi melawan investor yang tidak memiliki informasi memadai (noisy trader).

Faktanya, investor rasional atau smart investor terbukti ikut memanfaatkan kenaikan harga aset. Investor rasional yang diharapkan mendorong harga ke posisi yang sesungguhnya ikut larut melakukan spekulasi sehingga ikut berkontribusi dalam menciptakan bubble.

Irasionalitas pasar

Gagasan Shiller mengenai behavioral economics membantah asumsi rasionalitas investor dan efisiensi pasar.

Shiller menolak asumsi dasar bahwa manusia sangat percaya dengan kemampuannya sendiri dan bahkan cenderung mentransfer kecenderungan saat ini ke masa depan yang menyebabkan terjadinya bubble.

Shiller jugalah yang pertama kali membunyikan alarm adanya masalah di pasar aset keuangan dan perumahan yang selama ini dikonstruksi dari asumsi investor rasional dan efisiensi pasar.

Terbukti pada tahun 1990-an Shiller memperingatkan terjadinya bubble di pasar saham yang disebabkan oleh irasionalitas investor.

Secara empiris, kegagalan ekonom dan ilmu ekonomi yang mengusung asumsi investor rasional dan efisiensi pasar ditunjukkan oleh penerapan pendekatan EMH dalam memprediksi pergerakan nilai tukar.

EMH menyatakan bahwa pasar forward efisien jika secara penuh merefleksikan semua informasi yang ada dalam memprediksi nilai tukar spot sehingga tidak memungkinkan investor rasional memperoleh keuntungan tidak normal (Fama, 1970).
Hasil pengujian empiris EMH menggunakan selisih suku bunga dalam negeri dengan suku bunga AS (dollar AS) untuk memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah per dollar AS menunjukkan bahwa EMH ditolak (Rauf, 2002).

EMH dalam penelitian ini menyatakan bahwa perubahan selisih tingkat bunga domestik dan luar negeri secara keseluruhan tercermin dalam perubahan nilai tukar spot rupiah Indonesia per dollar AS.

Implikasinya, penolakan EMH juga dapat berarti menolak asumsi bahwa pelaku pasar bersifat rasional dan terbukti pasar tidak efisien.

Karena itu, merujuk pada Shiller, dalam kasus Indonesia, irasionalitas dan inefisiensi pasar keuangan harus diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan sehingga terhindar dari bubble. Transaksi di pasar aset keuangan tidak boleh didominasi oleh transaksi yang bersifat spekulatif yang bermotif rent seeker.

Akhirnya gagasan Shiller dapat menjadi dasar bagi BI dan pemerintah untuk mengontrol lalu lintas modal jangka pendek (hot money).

Hot money digunakan untuk spekulasi yang menyebabkan gelembung harga saham, harga properti, mengganggu nilai tukar, dan bahkan menyebabkan tekanan inflasi.
Menghilangkannya tidak mungkin karena transaksi spekulatif pada taraf tertentu diperlukan untuk mendorong perkembangan pasar keuangan nasional.

Solusinya, perlu disiapkan alternatif penyedia likuiditas di pasar SUN, SBI, dan efek-efek yang saat ini sangat tergantung pada pemasukan modal jangka pendek. Alternatif itu adalah dengan membangun institutional investors seperti asuransi dan dana pensiun (Nasution, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar