Jumat, 28 Februari 2014

Jebakan Mitos Politik

Jebakan Mitos Politik

Ribut Lupiyanto  ;   Deputi Direktur C-Publica
(Center for Public Capacity Acceleration) Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  27 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
PEMILU 2014 akan menjadi pemilu ke 11 sejak Indonesia berdiri. Jalan panjang yang telah dilalui idealnya membawa perbaikan signifikan dari pemilu ke pemilu. Faktanya, kualitas pemilu baik dari aspek prosedural dan substansial masih menapaki jalan terjal.

Pemilu perdana 1955 layak diapresiasi sebagai tonggak pertama Indonesia belajar demokrasi. Di tengah situasi yang labil dan penuh konflik, pemilu berhasil mengikutsertakan 80 partai politik (parpol), organisasi massa, dan puluhan perorangan. Pemilu selanjutnya di era Orde Baru dapat dikatakan sebagai fase pemilu tipu-tipu. Rekayasa politik dilakukan sistematis untuk memenangkan mutlak Golongan Karya (Golkar).

Era Reformasi membawa angin segar bagi iklim demokrasi. Pemilu 1999 terlaksana dan diyakini sebagai tonggak baru demokrasi Indonesia. Tercatat 48 parpol menjadi peserta dan pemilu berlangsung lancar. Pemilu 2004 kembali memberikan catatan penting. Dalam pemilu ini untuk pertama kalinya rakyat memilih langsung anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden. Catatan positif juga lahir pada Pemilu 2009 dengan pemberlakuan sistem proporsional terbuka. Sayangnya, dari segi partisipasi terus terjadi penurunan. Partisipasi Pemilu 1999 sebesar 92% terus turun hingga pada Pemilu 2009 menjadi 71%.

Mitos politik

Di balik perubahan-perubahan positif, ritual elektoral masih terus memegang erat mitos-mitos politik. Mitos politik umumnya muncul sebagai produk politik tradisional. Menurut Karen Armstrong, mitos memiliki fungsi khusus, yaitu menjelaskan sesuatu yg belum mampu disentuh oleh logos (nalar, akal). Dalam perjalanan waktu, mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai komoditas guna memenuhi berbagai jenis tujuan (Endibiaro, 2014). Komodifikasi paling mutakhir ialah hadirnya mitos politik.

Arianto (2014) memaparkan bahwa kultur politik modern terbukti masih memberikan ruang lebar bagi terciptanya legitimasi mitologis. Banyak bentuk mitos politik yang terus dilestarikan dan dihembuskan ke publik demi merengkuh kemenangan mudah dengan nalar pendek.

Pertama, mitos asumsi massa. Massa yang terlihat berkerumun banyak akan menjadi kebanggaan dan senjata unjuk kekuatan (show of force) dari parpol. Model pengerahan massa menjadi aksi andalan yang diyakini bisa membuktikan kekuatan hingga memengaruhi pilihan. Praktiknya tidak jarang yang mengabaikan kualitas massanya. Massa berbayar menjadi fenomena lazim menangkap peluang mitos politik ini. Implikasinya massa tersebut hanyalah fatamorgana, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan antipati lantaran tingkah polah massa yang susah terkendali.

Kedua, mitos popularitas. Popularitas memang menjadi jalan pembuka bagi elektabilitas. Sayangnya parpol memilih cara instan dan segala upaya demi mendapatkan personel populer. Caleg artis dan figur publik melalui rekrutmen umum menjadi andalan. Dampaknya kaderisasi mati dan ideologisasi tidak terjadi. Populari tas juga sekuat tenaga digapai dengan praktik praktik politik pencitraan. Dinamika figur dijual melalui rekayasa seolah olah. Media menjadi senjata memuluskan jual citra ini.

Ketiga, mitos modal. Biaya selalu menjadi dilema dalam praktik berpolitik di Indonesia. Pemilu tidak dimungkiri membutuhkan finansial tidak sedikit. Beragam cara pun dilakukan parpol demi mempertebal kantongnya. Artis dan pengusaha menjadi incaran untuk mengisi jabatan struktural atau caleg. Perselingkuhan politik dengan pengusaha juga kerap terjadi melalui segenap janji imbalan pascakemenangan. Hal itu semakin runyam dengan semakin mengguritanya politik uang. Siapa bermodal tinggi diyakini akan memenangi kompetisi. Kampanye sering menjadi ajang adu modal bukan adu gagasan.

Keempat, mitos putra lokal. Putra lokal tidak bisa dimungkiri memi liki basis sosiologis lebih kuat. Kemampuan penguasaaan teritori pun akan lebih baik dari pada orang luar. Ako modasi terhadap putra lokal menjadi iklim positif bagi pem bangunan daerah. Konsekuensinya, kualitas personel juga menjadi prioritas pemenuhan. Sayangnya yang terjadi putra lokal sering dimanfaatkan sekadar menjadi pendulang suara (vote getter). Jika menang, kualitasnya pun pas-pasan karena tanpa dipersiapkan. Dalam suasana demografis yang dinamis seperti sekarang, kehadiran putra lokal mestinya tidak menjadi prioritas utama. Prioritas pentingnya ialah berbasis kualitas personel.

Kelima, mitos calon presiden (capres) Jawa. Sejarah memang menunjukkan belum ada presiden yang terpilih berasal dari suku non-Jawa. Habibie bisa menjadi presiden hanyalah kecelakaan sejarah yang berbau keberuntungan. Mitos politik penduduk Jawa digiring bahwa presiden ditempatkan sakral seperti raja. Konsekuensinya, presiden dari suku Jawa seolah menjadi keniscayaan bagi keyakinan mitologi penduduk Jawa. Hal ini didukung oleh dominasi suara rakyat Jawa. Sensus penduduk 2010 menunjukkan bahwa Jawa yang luasnya hanya 6,8% dihuni oleh 57,5% penduduk Indonesia. Angka ini belum ditambah penduduk suku Jawa yang tinggal di luar Pulau Jawa. Mitos ini pelanpelan mulai dilawan oleh parpol sendiri mengingat ketersediaan sumber daya manusia dari luar suku Jawa yang tidak sedikit dan tidak kalah berkualitas. Misalnya Partai Golkar yang pernah mengusung Jusuf Kalla dan kini Aburizal Bakrie, PKB memunculkan capres Jusuf Kalla, PKS menominasikan capres Anis Matta, dan PAN mencapreskan Hatta Rajasa.

Melawan jebakan

Mitos politik di atas awalnya dipelihara sebagai bagian rekayasa politik menggiring pilihan publik. Seiring perkembangan waktu dan peningkatan modernitas demokrasi, mitos-mitos tersebut semakin terasa justru menjebak bahkan berpotensi menjadi bumerang. Mitos politik juga masih menjadi batu sandungan bagi modernisasi kualitas demokrasi. Akibat mitologi, nalar kritis dan kompetisi berkualitas menjadi jauh dari gelaran hajatan pemilu. Semakin luas dampaknya karena terdukung oleh situasi di mana publik mulai jenuh, galau, dan mengarah ke apati berpolitik. Akhirnya, sebagian pemain politik terus memainkan mitos sebagai cara yang paling mudah dalam merengkuh pengaruh.

Mitos politik semakin runyam dan jauh dari nalar rasional dengan munculnya praktik perdukunan politik, penokohan ratu adil, ramalan pujangga, dan lainnya. Wajah Pemilu 2014 diprediksi masih akan tetap kusam akibat mitos politik.

Jebakan mitos politik saatnya dilawan dengan pendidikan politik. Parpol bertanggung jawab melakukan pendidikan internal bagi caleg, pengurus, dan kadernya. Penyelenggara pemilu berkewajiban memberikan sosialisasi publik terkait regulasi yang tidak mengakomodasi mitos. Akademisi, LSM, dan pihak lainnya juga dituntut perannya dalam mencerahkan publik demi penguatan kualitas demokrasi. Mitos politik pelan tapi pasti mesti diganti oleh penilaian politik berbasis kualitas. Personel dan institusi diukur dengan profesionalismenya serta kompetisi diukur dengan visi dan misinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar