Jejak 1965 : Identitas Keindonesiaan
Sastrawan Eksil
Munawir Aziz ; Alumnus Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Direktur
Riset the North Coast Center (NCC) STAI Mathali'ul Falah Pati
|
KOMPAS,
16 Februari 2014
Kisah politik Indonesia dalam
narasi September-Oktober, 48 tahun yang lalu, masih berdampak pada gelanggang
sastra masa kini. Tidak hanya pada ranah ideologi, antara pendukung Lekra dan
Manikebu, tetapi juga pada sastrawan eksil yang terkena dampak tragedi
politik 1965. Kisah-kisah tentang sastrawan yang menempuh studi di luar
negeri, mayoritas di negeri-negeri Balkan, menjadi narasi penting tentang
pertumbuhan sastra Indonesia. Mereka yang menjadi eksil masih menyimpan
harapan untuk pulang ke negeri asal. Imaji dan narasi keindonesiaan sastrawan
eksil berkontribusi penting untuk merawat identitas kebangsaan dalam sastra
Indonesia masa kini.
Indonesia tak sekadar hadir
sebagai batas-batas kenegaraan, ia menjelma sebagai identitas dalam imajinasi
penyair ataupun sketsa pelukis. Bayangan tentang keindonesiaan inilah yang
menarik untuk ditelusuri, dalam konteks menemukan, menjadi, dan memaknai
Indonesia. Lalu, bagaimana imajinasi keindonesiaan dalam historiografi penyair
Tanah Air? Menziarahi sajak-sajak dari penyair yang mengembara di luar negeri
pascatragedi 1965, seolah menemukan keindonesiaan dalam perspektif dan ”rasa”
yang lain.
Pada zaman Orde Lama, ketika
Soekarno berkuasa, banyak dari pemuda, intelektual, dan seniman dari Tanah
Air yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ataupun menyerap modernisme
yang terjadi di Eropa. Tujuannya jelas, mempelajari kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, sampai kebudayaan negeri lain, untuk diaplikasikan di
negeri ini. Proyek besar ini untuk mengejar pembangunan fisik dan pengetahuan
warga Indonesia, dengan menggunakan duta-duta ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, di antara sekian duta itu hadir juga penyair-penyair potensial.
Namun, ketika tragedi 1965 meletus, sebagian besar dari delegasi Indonesia
yang belajar di negeri asing tak dapat kembali ke Tanah Air karena
perkembangan politik dan pergantian rezim. Jadilah, mereka hidup di negeri
asing dengan segala kisah sedih, memori, harga diri, ataupun identitas
sebagai manusia.
Sebagai manusia Indonesia yang
hidup di tanah asing, yang merindukan Tanah Air, tetapi tak dapat kembali,
tentu mengalami guncangan mental yang mendalam. Memori keindonesiaan
merupakan bayangan hitam yang terus menguntit, jauh sekaligus dekat.
Penyair-penyair merasa hidup jauh dari lingkaran keluarga, tetapi terasa
dekat jika membayangkan. Puisi dan prosa menjadi media alternatif untuk
menyalurkan hasrat keindonesiaan para penyair eksil. Hasrat untuk pulang
terasa menggetarkan, kisah perjuangan di negeri asing dan pergumulan perasaan
untuk tetap menjadi Indonesia, atau merasa asing, merupakan pergolakan yang
menggumpal dalam sajak. Bagaimana imaji keindonesiaan dalam sajak-sajak
penyair eksil?
Identitas dalam kenangan
Keindonesiaan menjadi bayangan
jauh dan dekat dalam imaji para penyair eksil. Beberapa penyair, semisal
Hersri Setiawan, Sobron Aidit, dan Agam Wispi, serta beberapa nama lain
seperti A Kembara, A Kohar Ibrahim, Alan Hogeland, Asahan Aslam, Chalik
Hamid, Kuslan Budiman, Magusig O Bungai, Mawie Ananta Jonie, Nurdiana,
Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif, menjadi bagian penyair eksil
yang terus-menerus untuk mempertanyakan identitas. Kenangan akan Tanah Air
menjadi latar belakang imajinasi, pergolakan politik meletup lewat sajak dan
prosa, serta kerinduan akan kampung halaman ataupun sang ibunda memancar
dalam puisi-puisi mereka.
Penyair Hersri Setiawan
mempertanyakan diri dan mempertaruhkan identitasnya dalam puisi ”Sajak Ulang Tahun”. Jangan tanya siapa aku/ Karena aku hanya
satu pribadi/ Yang berjanji pada sendiri/ Tatap benda-benda di langit/ Mata
hari di siang hari/ Bulan bintang di waktu malam/ Semua beredar pada sendiri.
Sajak ini merupakan puncak perenungan Hersri akan identitas dirinya, yang
terombang-ambing sebagai bagian warga Indonesia ataupun asing. Kebimbangan
identitas ini merupakan problem yang dialami sebagian besar penyair eksil,
yang hidup di tanah asing, tetapi masih terus mengharap pulang.
Tanah Air dan identitas diri
saling bertaut sebagai pertanyaan penting penyair eksil. Memori Tanah Air dan
keluarga masih terus membayang. Hasrat pulang semakin tak terbendung, tetapi
kepulangan hanya akan menyisakan tragedi dan kisah sunyi. Akhirnya,
perjumpaan diri dengan memori masa silam hanya seolah ziarah mimpi. Agam
Wispi menuliskan dilema ini dalam sajak ”Ziarah”. Akhirnya
orang menziarahi dirinya sendiri/ Membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah
mati/ Di makammu aku mau menghidupkan kembali/ Kata terima kasih/ Meski kau
tak mendengarnya, hanya suara kata hati.
Perjalanan panjang mengunjungi
tanah-tanah asing hanyalah menemukan bayangan tentang Tanah Air. Kisah
perjalanan ini selalu membangkitkan kenangan tentang tujuan pulang. Bahwa,
setiap perjalanan adalah menuju rumah. Namun, hal ini tak berlaku bagi
penyair-penyair eksil. Pulang menuju rumah merupakan pembelokan dari
kepulangan yang sesungguhnya. Rumah masih tetap ada, tetapi ia tak sanggup
menggantikan rumah Tanah Air, rumah yang dihuni sang bunda ataupun kekasih.
Menziarahi diri sendiri menjadi refleksi untuk terus mempertanyakan identitas
diri, yang terasing dan jauh dari kenangan.
Pada konteks hasrat kepulangan
ini, Asahan Salam teringat pada sosok ibunda yang telah lama ditinggalkan.
Pada sajak ”Kelasi Pulang Senja”,
Asahan menulis: Pulang anakku,
terlalu lama kau bermain/ Aku yang selalu berjalan/ Aku manusia pergi yang
selalu lupa waktu kembali/ Dan beginilah hukuman itu datang/ Suara bundaku
tak hilang hilang/ Kini masih senja/ Tapi juga sudah sia-sia/ Bila kembali/
Hilang sudah wajah bunda. Ibunda selalu menjadi rumah yang sebenarnya, ia
tak tergantikan oleh konstruksi fisik ataupun kebahagiaan yang lain. Suara
bunda terus membayang untuk meminta anaknya pulang, yang disekap perjalanan,
dan terkatung-katung di negeri asing. Penyair ingin pulang, tetapi ia tak
bisa. Ia tak diperbolehkan mengunjungi rumahnya sendiri.
Menuju rumah keindonesiaan
Perjalanan pulang menuju rumah
keindonesiaan menjadi mustahil dalam bayangan, tetapi terus diperjuagkan.
Pergantian rezim demi rezim merupakan titik penantian bagi penyair untuk
meniti jalan pulang, menuju rumah kenangan. Namun, yang dirasakan di sepanjang
perjalanan itu hanyalah penderitaan, selebihnya kesedihan. Sobron Aidit dalam
”Stetmen Orang Miskin”
mengungkapkan: Di mana-mana
kulihat-kusaksikan/ kurasakan-juga kuderitakan/ ada yang kaya bukan main/ ada
yang miskin bukan kepalang/ yang menindas-menguasai, menipu dan menghisap/
yang tertindas-dikuasai, tertipu dan terhisap/ dua barisan berhadapan secara
diametral/ kami sekeluarga dan banyak teman ada di barisan ini.
Aidit merupakan salah satu penyair
eksil yang terus berjuang untuk menziarahi Tanah Air, walaupun dalam
kenangan. Meski tinggal di Paris, sajak-sajaknya terasa dekat karean (karena, red) mempertanyakan problem mendasar manusia Indonesia.
Ketimpangan antarkelompok masyarakat, masalah kemiskinan dan konflik, serta
kuasa antarelite menjadi pikiran Sobron Aidit selama di tanah asing.
Ketika hasrat pulang ini tak
tergantikan, puisi menjadi satu-satunya media untuk menyalurkan rindu. Agam
Wispi menulis ”Pulang” sebagai
pengakuan di tengah keterasingan: Puisi,
hanya kaulah lagi tempatku pulang/ Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang/
Puisi generasi baru bijak bestari menerjang/ Keras bagai granit cintanya laut
menggelombang/ Di mana kau/ Pohonku hijau?/ Dalam puisimu, wahai perantau/
Dalam cintamu jauh di pulau.
Rumah keindonesiaan merupakan tujuan
pulang yang sebenarnya. Ketika rumah ini tertutup oleh pintu tiran, puisi
menjadi jendela yang menghubungkan dunia asing dan memori masa silam. Para
penyair eksil pulang dalam deretan sajak. Ia terus berusaha menuntaskan
perjalanan, tetapi hanya menuju entah.
Jika, penyair eksil menggigil
kesepian di tanah asing, beberapa sastrawan Tanah Air pun merasa asing di
negeri sendiri. Kisah hidup Pramoedya Ananta Toer menjadi tamsil tentang
sastrawan yang terasing di rumahnya sendiri, meminjam ungkapan Ashis Nandi—exile at home. Kisah-kisah sastrawan yang kesepian di tanah asing, ataupun terasing
di negeri sendiri, merupakan bagian kenyataan historis perjalanan panjang
sastra Indonesia. Mereka tetap menjadi bagian dari proses—dalam pikiran
Paraktiri Tahi Simbolon—”menjadi
Indonesia”. Sastrawan eksil ingin pulang menuju rumah abadinya,
tetapi ia terjebak dalam ruang kosong antara; yang jauh tetapi dekat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar