Jumat, 28 Februari 2014

Kegagalan Merpati

Kegagalan Merpati

Aunur Rofiq  ;   Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan,
Pebisnis sektor Pertambangan dan Perkebunan
REPUBLIKA,  27 Februari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Sungguh menyedihkan ketika mendengar PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) menghentikan operasional penerbangan sejak Sabtu, 1 Februari 2014 lalu. Pasalnya, Merpati gagal mengelola manajemen operasionalnya sehingga me rembet pada kegagalan mengelola likuiditas.

Tak terbangnya maskapai milik pemerintah itu tidak hanya menimbulkan keprihatinan masyarakat, tetapi juga dunia penerbangan. Persoalan operasional dan likuiditas yang menimpa Merpati ini bukanlah persoalan baru. Bahkan, maskapai yang berlatar belakang sejarah kuat bagi perkembangan transportasi di Indonesia ini sudah pernah disuntik modal oleh pemerintah dan pergantian manajemen secara berulang. Namun, PT Merpati Nusantara Airlines kembali lagi berada di ambang kebang krutan.

Jika Merpati ingin kembali terbang tinggi dan bersaing dengan maskapai lain, pemerintah harus sungguh-sungguh menyelamatkan maskapai penerbangan BUMN ini. Setidaknya, secara internal ada beberapa persoalan yang harus diatasi, di antaranya mengurai kegagalan Merpati mengelola risiko operasional, likuiditas, dan manajerial.

Pertama, dilihat dari sisi operasional, ada satu pertanyaan penting yang bisa di ajukan. Mengapa Merpati membiarkan secara berlarut ketidakmampuan menghasilkan pendapatan yang (minimal) bisa menutup biaya operasional. Bahkan, Merpati sekian lama membiarkan biaya operasional membengkak tanpa bisa ditutupi pendapatannya. 

Setiap bulan keuangan Merpati minus Rp 40 miliar. Pemasukan yang rata-rata Rp 140 miliar tidak cukup untuk menutup biaya operasional yang mencapai Rp 180 miliar. Cara yang dilakukan untuk menekan biaya operasional ternyata tidak memadai. Dengan kondisi seperti ini, memakai hitungan apa pun Merpati sudah harus dinyatakan bang krut.

Kedua, dilihat dari aspek likuiditas, Merpati harus disehatkan secara neraca keuangan dan cashflow. Termasuk soal utang agar lebih sehat. Besar utang Merpati akhir tahun 2013 sebesar Rp 6,7 triliun dan hingga hingga Februari 2014 naik menjadi Rp 7,3 triliun. Sementara itu, aset yang dimiliki perseroan saat ini hanya berkisar pada angka Rp 3 triliun.

Utang tersebut berasal dari pemerintah dan BUMN dengan perincian utang ke BUMN Rp 2,7 triliun, utang pajak Rp 873 miliar, utang ke swasta Rp 1,01 triliun, utang ke karyawan dan dana pensiun Rp 282 miliar, serta utang ke pemerintah daerah sebesar Rp 62 miliar.

Sementara itu, selama ini Merpati berkali-kali sudah diselamatkan. Pada tahun 2004 dan 2005, pemerintah memberikan bantuan berupa penyertaan mo dal negara (PMN) kepada Merpati sebesar Rp 75 miliar. Pada 2006, pemerintah kembali memberikan sebesar Rp 450 miliar dan PMN. Pada 2008, pemerintah menyetujui suntikan modal Rp 300 miliar untuk restrukturisasi sumber daya manusia, revitalisasi armada, relokasi operasi, dan perbaikan aliran kas. Pada 2010, Merpati mendapat pesawat baru MA560 senilai Rp 2,3 triliun dari pemerintah. Kemudian pada 2011, pemerintah menyuntikkan Rp 560 miliar dana PMN.

Ketiga, secara manajerial Merpati ha rus keluar dari beberapa persoalan yang selama ini membelitnya, seperti manajemen yang tidak kompak ataupun pembenahan kisruh di internal perusahaan. Masalah ini harus diurai sebagai modal agar Merpati terbang tinggi. Merpati harus kompak sebagai langkah penyelamatan.

Selama ini, pejabat baru yang masuk ke Merpati selalu membawa ide-ide baru yang diyakini sebagai ide paling tokcer. Padahal, Merpati sendiri sudah memiliki road map. Alhasil, setiap ada pejabat baru, Merpati selalu memulai dari nol.

Apa bila strategi-strategi yang tidak optimal digunakan, akan menyebabkan tingkat kinerja rendah. Sebuah organisasi dengan koalisi manajerial yang kompleks dan tanpa tujuan-tujuan yang jelas yang didefinisikan beroperasi tanpa orientasi produk-pasar yang konsisten dan tunduk pada tekanan lingkungan akan semakin mengurangi tingkat kinerja.

Untuk dapat bertahan, Merpati harus tetap menjadi pasar yang stabil dan menawarkan serta mencoba untuk melindungi lini produk yang terbatas untuk segmen yang sempit dari pasar yang potensial. Strategi yang mengeksploitasi dan menemukan produk/jasa dan peluang pasar baru diikuti pula dengan membuka akses dengan perusahaan sejenis atau lain untuk bermitra dalam kerangka menciptakan produk/jasa yang baru. Hal ini untuk mencoba meminimalkan risiko dan memaksimalkan peluang untuk memperoleh laba.

Pemerintah dan Merpati juga harus konsisten dalam kebijakan penyelamatan. Kebijakan penyehatan Merpati harus konsisten, tidak bisa coba-coba. Selama ini tidak ada kebijakan konsisten penyehatan Merpati. Ini sudah berlangsung sejak 2006. Padahal, Merpati sudah ada perencanaannya.

PT Merpati Nusantara Airlines harus fokus dalam penerapan rencana bisnis yang telah dibahas bersama pemerintah. Begitu pula, maskapai penerbangan nasional itu harus segera fokus menyelesaikan masalah utangnya.

Langkah bisnis

Merpati bisa fokus, misalnya menjadikan maskapai penerbangan tersebut menjadi feeder maskapai penerbangan Garuda Indonesia Air line khusus untuk rute ke kawasan timur Indonesia, mengingat maskapai tersebut telah kalah bersaing di sektor penerbangan komersial. Merpati berpotensi bangkit dengan menata manajemen dan fokus ke penerbangan perintis ketimbang bersaing dengan maskapai kelas besar dalam penerbangan rute internasional.

Ada beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Merpati, di antaranya adalah: membentuk anak usaha baru, mencari mitra kerja sama operasi, memisahkan aset yang masih bagus seperti Merpati Maintenance Facility dan Merpati Training Center, serta mengonversi utang menjadi saham. Dengan konversi utang menjadi saham, posisi utang menjadi nol dan Merpati bisa menyusun rencana bisnis yang lebih masuk akal. Selain itu, bisa menggandeng swasta untuk menyuntikkan modal dan memperbaiki manajemen.

Langkah ini memang tidak menarik bagi swasta karena kondisi utang Merpati yang menggunung. Namun, langkah ini bisa menarik manakala dibentuk anak usaha baru yang menjadi mitra swasta sehingga pihak swasta tidak terbebani utang Merpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar