Rabu, 26 Februari 2014

Menangkal Serangan Baru ke KPK

Menangkal Serangan Baru ke KPK

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO,  26 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Terlalu banyak seteru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghendaki institusi antikorupsi paling dipercaya itu terjerembap ke kubangan.

Kalau sebelumnya ada komisioner KPK yang dijerat hukum seperti Antasari Azhar atau Bibit-Chandra yang populer dengan istilah ”cicak-buaya” pada KPK jilid kedua, kini kembali menyerang institusinya langsung. KPK saat ini dihantam secara sistematis dari gedung parlemen yang berkelindan dengan pemerintah dalam membahas Rancangan KUH Pidana dan Rancangan KUHAP.

Sejumlah poin dalam rancangan itu yang bisa mengebiri kewenangan KPK yang selama ini begitu efektif. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas satu per satu, semangat untuk melindungi KPK itulah yang penting dijaga agar pembahasan RUU di DPR tidak liar. Meski serangan itu bertubi-tubi, rakyat yang menjadi korban koruptor tetap setia dan percaya pada KPK sebagai pemberantas korupsi efektif dan berani menjerat kalangan menteri, pimpinan partai politik, anggota parlemen, dan kepala daerah. Rakyat, aktivis, akademisi, dan pers antikorupsi tetap berada di belakang KPK, meski ada serangan baru berupa pelumpuhan kewenangan KPK.

Jebakan Politis

Jika ingin pemberantasan korupsi tetap jalan seperti yang diperagakan KPK, semua komponen bangsa harus ”menangkal” dan berani mengatakan ”tidak” pada upaya pelemahan yang sistematis itu. Kita ingin KPK tetap menjadi motor penggerak pemberantasan korupsi. KPK tidak boleh dibiarkan jalan sendiri menghadapi berbagai serangan, baik yang terselubung maupun terbuka dengan memanfaatkan sarana konstitusional, seperti uji materi UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UUKPK) ataupun serangan pelemahan dalam perubahan undangundang.

Membersihkan najis korupsi yang sudah menggurita, butuh kesatuan persepsi semua komponen bangsa. Korupsi adalah virus yang mengancam keselamatan bangsa, membunuh pelan-pelan kelangsungan pembangunan, bahkan melanggar hak-hak sosial-ekonomi rakyat. Sekiranya anggaran negara tidak dikorup, boleh jadi kehidupan rakyat semakin membaik, kemiskinan berkurang, dan pengangguran bisa diatasi. Memang KPK dengan segala keterbatasannya masih memiliki kekurangan.

Kerikil itulah yang harus diperbaiki agar tidak menjadi bongkahan batu yang dapat merusak dan menghancurkan KPK. Seharusnya DPR dan pemerintah melihat secara jernih dan objektif kehadiran dan kinerja KPK. Bukan malah melakukan melodrama seolah kerja positif KPK melanggar prosedur formil. Jangan-jangan kengototan DPR agar pembahasan kedua RUU itu yang secara kasatmata mengebiri kekuatan KPK, sebagai desain strategis menjelang berakhirnya masa tugas mereka.

Sebab boleh jadi banyak anggota DPR yang kembali menjadi calon anggota legislatif merasa khawatir, kalau tidak terpilih nanti bisa dijerat KPK. Kalau dikatakan bahwa kedua rancangan itu sebagai ”ketentuan umum”, tetapi bisakah dijamin bahwa ”kekhususan UU-KPK” masih bisa mengabaikan ketentuan umum itu? Bisa jadi keinginan mempercepat pembahasan kedua RUU itu hanyalah ”jebakan” bagi UU-KPK. Bisa jadi akan membuat aturan pamungkas pada Ketentuan Peralihan, bahwa semua ketentuan yang menyimpang dari undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Ini yang harus diwaspadai karena pembahasan di DPR begitu politis dan liar sebagai wujud dari lembaga politik. Semua orang paham, pengambilan keputusan di DPR selama ini belum berpihak pada kehendak rakyat. Selalu ada kepentingan politisnya dengan mengabaikan kepentingan rakyat saat membahas dan menetapkan undang-undang. Indikasinya dapat dilihat pada banyak ketentuan undangundang yang dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi lantaran bertentangan dengan UUD 1945.

Kehilangan Makna

KPK menyurati presiden dan meminta agar menghentikan pembahasan kedua RUU itu. Langkah ini disoroti kalangan DPR karena dianggap tidak patut dan mempertanyakan motif pimpinan KPK. Tentu kita tidak membela KPK secara membabi buta, sebab ada argumentasi kuat dan mendasar kenapa kewenangan KPK harus dijaga. Berdasarkan hasil kajian Koalisi Masyarakat Antikorupsi dan Reformasi Hukum, setidaknya ada 12 poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan KPK. Bahkan alasan kodifikasi yang dianggap sebagai kekuatan oleh penyusun RUU perlu dikoreksi.

Dalam acara diskusi di salah satu televisi swasta (18/2/ 2014), Prof JE Sahetapy menyebut kodifikasi sudah lama ditinggalkan di berbagai negara, termasuk Belanda. Pemikiran itu layak dikedepankan, sebab dinamika kehidupan masyarakat hampir setiap hari berubah menyebabkan ”kodifikasi hukum secara total” kehilangan makna. Tidak mungkin semua persoalan masyarakat harus dikodifikasi, sementara dua hari ke depan kehidupan masyarakat berubah dengan cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sistem legislasi kita mengalami perubahan paradigma seperti dikemukakan Prof Romli Atmasasmita (KORAN SINDO, 24/2/2014) karena kembali kepada asas kodifikasi total. Salah satu kelemahan kodifikasi ialah sangat sulit dengan cepat merevisi ketentuan yang tidak lagi sejalan dengan kehidupan masyarakat yang begitu cepat berubah. Pengalaman pada KUH Pidana yang disebut-sebut sebagai kodifikasi, tidak sedikit banyak ketentuan yang tidak bisa diterapkan lantaran bertentangan dengan program pemerintah dan kebutuhan masyarakat.

Misalnya larangan mempertunjukkan, menawarkan, atau menyiarkan alat pencegah hamil dalam Pasal 534 KUH Pidana tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan Program Keluarga Berencana, meski belum pernah dicabut. Mengikuti ketentuan yang berlaku di negara lain, tidak bisa ditelan mentah-mentah. Hal ini dipelajari dalam Sosiologi Hukum seperti peringatan Robert B Seidman melalui ungkapan ”the law of the non transferability of law”, bahwa tidak semua aturan hukum yang berlaku dengan baik di suatu masyarakat (negara) dapat ditransfer dan diterima pada masyarakat lainnya.

Sebab ada perbedaan mendasar yang menyebabkan aturan itu tidak diterima dan berlaku dengan baik, antara lain perbedaan budaya hukum, nilai-nilai sosial, dan geografi. Inilah yang perlu dicermati agar tidak terjebak pada adagium ”Jakarta Sentris” pada kedua RUU itu. Hanya efektif diterapkan di Jakarta atau kota-kota besar, tetapi tidak efektif berlaku pada wilayah Nusantara secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar