Kamis, 27 Februari 2014

Meragukan Janji JKN

Meragukan Janji JKN

Rahmat Pramulya  ;   Dosen dan Peneliti di Universitas Teuku Umar, Aceh Barat
SUARA KARYA,  26 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Tahun 2014 pemerintah meluncurkan sistem dan institusi baru dalam penanganan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu dengan lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pro dan kontra terus bergulir. Aroma neoliberal pun tercium dalam peluncuran sistem baru ini. Komersialisasi pelayanan kesehatan menjadi bayang-bayang menakutkan yang membuat warga negara meragukan janji JKN.

Betapa tidak, JKN sesungguhnya merupakan konsep yang dipaksakan World Trade Organization (WTO) kepada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. WTO memasukkan layanan kesehatan sebagai layanan yang tercantum dalam kesepakatan perdagangan. Dua abad lebih Indonesia itu di bawah naungan kapitalisme. Bencana kemanusiaan akibat tata kelola sistem kesehatan liberalistik terus mengancam masyarakat.

Industrialisasi pelayanan kesehatan kian diperparah oleh perubahan institusi komponen utama sistem kesehatan milik pemerintah menjadi korporasi. Seperti dijadikannya rumah sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang berbuah pahit harga pelayanan kesehatan yang terus melangit. Setiap tahun terjadi kenaikan biaya kesehatan lebih dari nilai inflasi.

Survei Global Medical Trends oleh Towers Watson 2011 menunjukkan kenaikan biaya kesehatan di Indonesia mencapai 10-13%. Kondisi memprihatinkan ini terindikasi dari tingginya pengeluaran biaya kesehatan out of pocket/OOP (pembayaran tunai) di mana pada tahun 2011 OOP Indonesia lebih dari 50% dari pengeluaran kesehatan keseluruhan. Sementara menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), OOP 15-20% saja sudah berisiko mengakibatkan bencana finansial.

Ironisnya, propaganda jaminan kesehatan yang sangat kapitalistik bernama Universal Health Coverage (Jaminan Kesehatan Semesta) kian gencar menyerbu. Yang sesungguhnya terjadi dengan model jaminan kesehatan kapitalistik tersebut adalah pengambilan paksa uang rakyat. Dan, ini adalah pemalakan terhadap rakyat karena kepesertaan yang bersifat wajib. Padahal semestinya bukan menjadi kewajiban rakyat memikul tanggung jawab pembiayaan tersebut.

Dalam berbagai dokumen tampak jelas adanya pembatasan peran pemerintah dalam JKN dengan diliriknya swasta sebagai institusi penyelenggara asuransi sosial. Ada keinginan untuk mengalihkan tanggung jawab penyelenggaraan layanan kesehatan dari pemerintah kepada swasta dengan dalih swasta merupakan institusi yang memiliki kemampuan lebih tinggi dalam membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Meski sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, tata kelola korporasi/swasta selalu lebih efisien. Review terhadap sejumlah penelitian tidak mendukung asumsi tersebut.

Dalam praktiknya, BPJS Kesehatan dibenarkan mengambil paksa (memalak) sejumlah uang masyarakat (pengusaha, pekerja, maupun non pekerja) setiap bulan selama hidup dan tidak akan dikembalikan, kecuali berupa pelayanan kesehatan sesuai tarif BPJS Kesehatan, yaitu saat sakit. Tak hanya itu, pemalakan tersebut kian dipertegas dengan adanya sanksi bagi peserta wajib yang telat membayar iuran.

Akibatnya, kesengsaraan masyarakat pasti bertambah karena mereka pun harus membayar listrik, air bersih, telepon, transportasi, pendidikan anak, biaya tempat tinggal, pangan, pakaian yang harganya terus melangit. Tentu saja tidak dapat dikatakan, "Itu lebih baik daripada harus mengeluarkan biaya yang nilainya jutaan bahkan puluhan juta di saat sakit' atau hitung-hitung menabung. Karena, sejatinya masyarakat harus dijamin pemerintah untuk pelayanan kesehatan berkualitas dengan biaya minim bahkan gratis.

Belum lagi persoalan iuran bila jumlah anak atau anggota keluarga lebih dari 5 orang bagi PNS dan persoalan tidak dijaminnya pelayanan kesehatan untuk penyakit yang terkategori wabah. Sehingga pasien demam berdarah tidak akan mendapat pelayanan kesehatan gratis meski ia membayar premi karena demam berdarah terkategori penyakit yang mewabah.

Potensi diskriminasi dan buruknya kualitas pelayanan juga terlihat jelas dari pemisahan manfaat medis dan non medis. Karena dari aspek kemanusiaan, siapa pun yang sakit sejatinya tidak saja membutuhkan pelayanan medis terbaik tetapi juga pelayanan non medis yang memadai seperti ruang perawatan yang nyaman, waktu tunggu yang singkat, dan sebagainya. Seringkali perolehan manfaat medis dipengaruhi akses terhadap manfaat nonmedis. Misal, akses layanan transportasi akan mempengaruhi perolehan manfaat medis.

Potensi diskriminasi semakin besar dengan konsep minimalisnya iuran yang dibayarkan pemerintah bagi kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu per kepala per bulan yang hanya Rp 19.225. Ikatan Dokter Indonesia menilai iuran PBI yang sesuai dengan nilai keekonomian adalah Rp 60.000 per kepala per bulan. Itu pun kelompok PBI hanya boleh mengakses ambulance dan akomodasi kelas III.
Tentu tak boleh berkata, "Kalau mau gratis ya kelas III atau masih untung digratiskan pemerintah.” Hal ini karena menjamin pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi seluruh masyarakat harusnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara.

Meskipun BPJS merupakan badan hukum publik, namun aroma bisnis jaminan sosial ini tampak terang dari prinsip korporasi yang dijadikan dasar tata kelolanya. Dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS butir b pasal 11 dinyatakan bahwa BPJS memiliki wewenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Logika pasar bebas kental bermain di sini.

Jika diasumsikan setiap orang harus membayar Rp 22 ribu maka akan terkumpul dana Rp 5,28 triliun per bulan. Sesuai kewenangan yang diatur UU, maka dana tersebut boleh diinvestasikan dalam bentuk investasi finansial di pasar finansial, bisa berupa Surat Utang Negara (SUN), deposito perbankan baik on call atau berjangka, obligasi korporasi, dan surat-surat berharga lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar