Jumat, 28 Februari 2014

Parlemen versus Pengemis

Parlemen versus Pengemis

Wayan Windia  ;   Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 
Ketua Badan Penjaminan Mutu Unud
JAWA POS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
DALAM setiap berceramah tentang subak, saya tidak lupa menyelipkan pernyataan yang tragis. Bahwa ternyata petani yang lahannya 1 hektare dan menanam padi, pendapatannya lebih rendah daripada seorang pengemis jalanan. Selanjutnya, dalam berita akhir-akhir ini, berkait sidang perkara SKK Migas, saya agak tercenung dengan kesaksian di pengadilan. Bahwa pihak eksekutif harus memberikan setoran ke DPR agar anggaran kementeriannya terjamin. Artinya, agar anggarannya tidak diberi tanda bintang, yang berarti anggaran itu belum bisa dicairkan. Untuk mencairkannya, perlu ada setoran.

Hal seperti itu telah lama saya dengar dan sudah menjadi rahasia umum. Namun, baru kali ini saya mendengarnya di pengadilan. Banyak juga saya dengar di tingkat lokal bahwa anggota DPRD pun sering "nitip" anggaran pada proyek-proyek yang dikelola dinas/SKPD terkait. Kalau SKPD tidak mau, anggaran proyek itu akan diberi tanda bintang. Kalau berita itu benar, parlemen kita dari tingkat daerah hingga ke pusat sejatinya sudah rusak. Saya pikir yang merusak itu adalah sistem politik kita yang liberal, dan sementara itu rakyat kita masih miskin.

Kini, menjelang Pemilu 2014, tampaknya sudah ramai ada wacana di pedesaan, tentang berbagai "amplop" yang berhamburan melalui pimpinan banjar atau desa. Kalau saya tanya, mengapa mau menerima amplop dari berbagai caleg? Apakah tidak sebaiknya hanya menerima uang dari satu caleg agar kita masih dianggap punya integritas dan harga diri? Mereka pun dengan ringan saja menjawab. "Ah, nanti setelah mereka terpilih, kan mereka juga akan korupsi di sana," katanya. Hal ini tampaknya bermakna bahwa ternyata mulai tingkat rakyat hingga wakilnya, dan bahkan banyak juga kalangan kepala daerah, kementerian, pimpinan parpol, dan penegak hukum, yang tersangkut korupsi.

Kalau begini keadaannya, apakah kita bisa mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sejatinya sudah menjadi budaya masyarakat? Kalau masyarakat sudah korup dan parpol juga korup, apakah mungkin bisa muncul pemimpin bangsa yang baik? Sebab, pemimpin bangsa pada dasarnya muncul melalui saringan parpol. Bahkan, personal lembaga negara dan para komisioner (MK, KPU, KPI, KIP, dll.), muncul melalui saringan kader parpol di DPR. Kalau begini keadaannya, tidak heran kalau muncul kader bangsa sekelas Akil Mochtar, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Lutfi Hasan Iskak, dll, yang kini berada dalam tahanan KPK.

Mari kita kembali pada tema tulisan, yakni bahasan tentang parlemen versus pengemis. Patut dicatat bahwa kaum pengemis, penerimaannya sekitar Rp 3 juta per bulan. Anggota parlemen (lokal) penerimaannya mungkin lebih Rp 30 juta per bulan. Adapun anggota parlemen pusat, penerimaannya pasti berlipat-lipat. Tetapi, mengapa mereka masih rakus? Bahkan, dengan ancaman memberikan tanda bintang pada mata anggaran, atau menggagalkan anggaran yang diajukan pihak eksekutif.

Tampaknya, manusia memang adalah misteri. Tabiatnya tak dapat diduga. Orang yang sudah besar gajinya belum tentu tidak tergoda dengan harta, takhta, dan wanita. Bahkan, mungkin semakin menjadi-jadi, karena mereka ingin mempertahankan atau bahkan meningkatkan takhtanya. Apalagi, orang-orang politik, mereka pasti tidak pernah merasa puas dengan takhtanya. Sama dengan orang dagang yang juga tak pernah merasa puas dengan hartanya. Sistem politik yang liberal dan sistem ekonomi yang kapitalistis adalah media yang empuk untuk melakukan tindakan korupsi, di tengah-tengah rakyat dengan jurang kaya miskin yang sangat lebar.

Sebaliknya, pengemis tampaknya lebih punya moralitas. Mereka tidak akan ngotot atau mengancam kalau kita tidak memberikan sesuatu. Mereka pasti ngeloyor saja, dengan muka yang datar dan tidak merasa kecewa, dalam keadaan yang demikian. Mengapa hal-hal itu bisa terjadi? Sebab, sang pengemis tidak memiliki kekuasaan. Sebaliknya, parlemen memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bahkan jauh samakin besar, setelah era reformasi. Khususnya di bidang anggaran, parlemen memiliki kekuasaan hingga pada level proyek. Sebaliknya, Indonesia yang menganut sistem presidensial, justru kekuasaan presiden jauh sangat dikurangi, khususnya dalam hal pengangkatan komisioner, pembuatan UU, dll.

Kekuasaan (yang semakin besar) itulah yang menyebabkan parlemen menjadi (semakin korup). Karena itu, perlu diadakan reformasi kekuasaan lembaga negara di Indonesia agar sesuai dengan esensi UUD. Kekuasaan parlemen perlu dikaji ulang, dan kita kembali ke jatidiri bangsa, sesuai amanat Pancasila dan UD 1945 (yang asli). Napas politik dalam setiap pengambilan keputusan di Indonesia saat ini, tampaknya, terlalu sangat keras. Tentu saja kalau dibandingkan dengan napas profesionalisme. Karena itu, peran parlemen di Indonesia perlu segera dipangkas. Tujuannya agar wakil rakyat di gedung parlemen tidak berkembang menjadi koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar