Senin, 31 Maret 2014

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Hukum dan Etika Bisnis
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KINERJA badan usaha milik negara (BUMN) akhir-akhir ini memang cukup membanggakan. Meskipun masih cukup banyak kendala, akumulasi laba BUMN kita pada 2013 masih bisa melebihi target, yakni Rp 150,7 triliun. Tahun itu juga PT Pertamina berhasil menempati urutan ke-122 di antara 500 perusahaan terbesar dalam Fortune Global 500 dengan laba USD 2,8 miliar (2012).

Masih tahun 2013, enam BUMN juga berhasil menorehkan prestasi gemilang di kancah dunia sebagai perusahaan terbesar versi Forbes Global 2000. Enam BUMN tersebut ialah Bank Mandiri (peringkat ke-446), BRI (ke-461), PT Telkom (ke-685), BNI (ke-922), Perusahaan Gas Negara (ke-1.188), dan Semen Gresik (ke-1.425). Artinya, Pertamina dan enam BUMN itu telah mengambil peran yang paling strategis dalam upaya mewujudkan pasal 33 UUD 1945, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prestasi BUMN pada 2013 kian lengkap setelah beroperasinya jembatan tol terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Tujuh BUMN berhasil menyukseskan pembangunan tol itu, yaitu PT Jasa Marga, PT Pelindo III, PT Angkasa Pura I, PT Pengembangan Pariwisata Bali, PT Wijaya Karya, PT Adhi Karya, dan PT Hutama Karya. Prestasi itu menunjukkan peran BUMN yang terus meningkat, terutama dalam membangun infrastruktur ekonomi dan menyediakan barang/jasa bermutu tinggi bagi masyarakat.

Mirip BUMN Tiongkok

Gerak dan peran BUMN kita sebenarnya mirip dengan dinamika BUMN Tiongkok. Yakni, sama-sama berevolusi dari budaya korporasi yang penuh regulasi dan intervensi kekuasaan (ala sosialis) menuju budaya korporasi modern serta profesional. Reformasi BUMN di Indonesia mulai terjadi seiring dengan berakhirnya rezim orde baru pada 1998 walaupun masih terus mengalami kendala gara-gara dominasi kepentingan politik yang terus menggerogoti BUMN. Sedangkan reformasi BUMN di Tiongkok dimulai kala runtuhnya komunisme dan terus menguat sejak Tiongkok menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 2001.

Sebelum reformasi, pemerintah Tiongkok menerapkan sistem ekonomi tertutup. BUMN-nya beroperasi dengan prosedur serta aturan (birokrasi) yang sangat ketat. Bahkan, BUMN merasa tidak perlu melihat faktor eksternalnya karena berfokus pada stabilitas ekonomi dan tuntutan produksi semata, bukan pada produktivitas atau daya saing ke luar.

Sejak 1993, institusi pemerintah dan BUMN di Tiongkok dipisah. Manajemen BUMN mulai didorong untuk menguasai pola manajemen modern lewat studi banding ke ragam perusahaan yang sudah sukses di Barat dalam rangka membangun korporasi yang mampu bersaing di pasar global. Budaya internal perusahaan yang merupakan warisan masa lalu (sosialis) mau tidak mau harus diubah. Pemerintah Tiongkok semakin menyadari pentingnya kemandirian BUMN dalam kegiatan operasionalnya.

Pascareformasi ekonomi, sistem reward dan kontrak kerja pun diterapkan pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kinerja pekerja plus efisiensi. Pekerja yang masih berbudaya pegawai negeri di masa lalu dinilai sudah tidak cocok untuk BUMN.

Hasilnya, suasana kerja di internal BUMN tidak lagi kaku, melainkan semakin dinamis dan mampu melihat peluang bisnis. BUMN Tiongkok juga semakin menyadari tantangan eksternalnya, terutama korporasi asing, setelah masuk keanggotaan WTO. Hukum perusahaan di Tiongkok juga diubah supaya BUMN bisa memakai profit sebagai ukuran efisiensi, menekankan disiplin anggaran, dan menghukum BUMN yang gagal.

Reformasi budaya BUMN itulah yang ikut berperan besar dalam membuat ekonomi Tiongkok tumbuh pesat. Lewat BUMN, sektor-sektor terpenting seperti energi, transportasi, dan farmasi dijadikan sebagai kunci ambisi Tiongkok untuk menggerakkan roda ekonomi.

Bagaimana Budaya BUMN Kita?

Saat ini BUMN kita sudah mulai nyata terbebas dari dominasi kekuasaan. BUMN tidak lagi sekadar ayam petelur yang telurnya (pendapatan) tidak pernah dieramkan untuk melahirkan ayam-ayam petelur baru (bisnis baru). Birokrasi, yang dulu sering mengabaikan profesionalitas BUMN, kini sudah banyak berubah dan tidak lagi menjadi penghambat bagi aksi-aksi bisnis BUMN. Sama dengan di Tiongkok, dominasi kekuasaan terhadap BUMN kita harus direduksi. Dengan begitu, BUMN lebih leluasa dalam membuat keputusan strategis yang terkait dengan kegiatan bisnisnya.

Karena itu, terobosan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendelegasikan puluhan wewenang kementerian kepada dewan direksi dan komisaris BUMN merupakan pemandirian sekaligus pemurnian BUMN dari intervensi politik. Aksi-aksi korporasi demi kemajuan BUMN tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan menteri atau pemerintah. Juga, 12 larangan (kode etik) bagi seluruh jajaran BUMN yang pernah dirilis Dahlan Iskan merupakan semangat baru untuk membuat BUMN semakin profesional.

Misalnya larangan menjadi pengurus/anggota partai politik, ikut atau diikutkan sebagai pelaksana kampanye pemilihan pejabat, menyalahgunakan jabatan, dan menggunakan fasilitas perusahaan untuk yang bukan kepentingan perusahaan, dan seterusnya.

Kuatnya intervensi politik terhadap BUMN bisa berujung pada politik dagang sapi dalam pemilihan direksi maupun komisaris BUMN. Atau, BUMN bisa menjadi sapi perah di saat menjelang pemilu. Akibatnya, tata kelola BUMN menjadi asal-asalan hingga keadaan BUMN menjadi tidak sehat.

Seperti peran dan pengembangan BUMN di Tiongkok, kemandirian dan budaya korporasi yang profesional merupakan conditio sine qua non bagi BUMN kita demi optimalisasi prestasi dan perannya di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar