Minggu, 30 Maret 2014

Diskriminasi

Diskriminasi

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 30 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Saya bukan ahli ilmu politik, bukan politisi, bukan juga pengamat politik, apalagi ahli hukum tata negara. Tetapi, saya termasuk warga negara Indonesia yang melek undang-undang.

Entah di undang-undang nomor berapa, tahun berapa, dan ayat berapa, saya yakin bahwa kalau ada seorang kepala negara atau kepala daerah berhalangan, otomatis wakilnya yang menggantikan. Presiden Soeharto digantikan oleh Wapres Habibie, ketika beliau lengser. Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah SE digantikan oleh Wagub Rano Karno ketika beliau ditahan KPK dan ketika Wali Kota Solo Jokowi diangkat jadi gubernur DKI, yang menggantikan adalah Wawali FX Hadi Rudyatmo.

Karena itu, saya sungguh tercengang ketika saya lihat di media massa ada organisasi-organisasi sayap sebuah partai menyatakan tak ingin Ahok jadi gubernur jika Jokowi jadi presiden. Dari salah satu media web, saya baca bahwa alasannya mereka keberatan dipimpin oleh Ahok dengan kinerja dan gaya komunikasinya selama 1,5 tahun menjadi wakil gubernur DKI Jakarta.

Ketua organisasi sayap itu mengatakan, ”Ternyata 93% responden menyatakan tidak siap dipimpin oleh Ahok, 24% responden menilai Ahok sebagai pribadi yang belagu, sombong, dan merasa paling pintar.” Selain itu, Ahok juga dinilai tidak simpatik dan tidak berbudi pekerti, tidak berbudaya, dan tidak beretika sebagai orang beragama.

Dikatakan juga bahwa respondennya khawatir jika Ahok menjadi gubernur, akan ada program yang eksklusif dan sektarian serta akan ada ketidakharmonisan kerja di Pemprov DKI Jakarta. Mereka juga khawatir perjudian dan prostitusi akan semakin marak dan aktivitas keagamaan dikesampingkan. Astaghfirullahal’adzim. Kalau sinyalemen ketua organisasi sayap itu benar, Ahok adalah seburuk-buruknya manusia yang diciptakan Tuhan di dunia. Mungkin lebih buruk lagi dari Firaun. Wallahu a’lam bishawab. Hanya Allah Yang Mahatahu.

Saya bukan kerabat Ahok (walaupun nama saya Wirawan dan beberapa kali disangka keturunan Cina) dan saya bukan tim sukses Ahok (walaupun saya pernah membantu beliau dalam pengaturan rumah susun di DKI), bahkan bukan pengikut partai mana pun (termasuk Gerindra). Jadi, saya tidak punya interest apa pun dengan Ahok. Tetapi, ketika mendengar tuduhan yang seberat itu kepada seorang wagub, saya jadi bertanya-tanya mengapa seorang sejahat itu tidak dari dulu-dulu ditangkap polisi atau diciduk KPK?

Mengapa baru sekarang diserukan suatu gagasan yang inkonstitusional (tolak wagub untuk menggantikan gubernur)? Kalau benar 93% responden (konon mewakili masyarakat Jakarta) tidak siap dipimpin Ahok yang belagu, sombong, dan maksiat, mengapa dia dipilih jadi wagub? Pasti Jokowi pun gagal jadi gubernur kalau cawagubnya pada waktu itu sezalim Ahok.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini karena terjadi disonansi (istilah psikologi untuk dua pemikiran yang saling bertentangan) antara rakyat yang salah pilih atau ketua ormas yang salah bicara. Disonansi ini membuat saya mencoba mengkaji lebih teliti tentang kepribadian Ahok. Apa yang salah dengan Ahok? Dia memang pemarah. Tetapi, yang dimarahi adalah masyarakat yang mengancam petugas dengan golok.

Yang dimarahi, bahkan dipecat, adalah kepala dinas yang terbukti korupsi dan mbalelo sehingga merugikan rakyat. Boleh saja dia dibilang sombong oleh orang lain, tetapi program-programnya yang dilakukannya bersama Gubernur Jokowi untuk menata ulang permukiman, mengendalikan banjir, membuka taman-taman terbuka, menyediakan transportasi umum, sudah sejalan dengan harapan masyarakat.

Ketika PKL Tanah Abang dibersihkan dari jalan raya, Ahok langsung menelepon Lulung, wakil ketua DPRD yang konon pengaruhnya besar di lingkungan Tanah Abang. Ketika PKL Tanah Abang kembali memadati jalan raya dan sampah tetap memenuhi got, kali, serta kanal, itu karena ulah masyarakat sendiri yang perilakunya justru merusak lingkungannya sendiri. Jadi, apa dong, kekurangan Ahok sehingga sayap-sayap parpol itu menolak Ahok, kalau perlu dengan melanggar konstitusi?

Ternyata, secara kasatmata (tanpa perlu bantuan penyidik Polri), kita tahu bahwa Ahok punya ciri minoritas ganda yaitu Cina dan muslim. Saya kira sudah jadi rahasia umum (artinya: semua orang tahu, alias bukan rahasia lagi) bahwa dibalik alasan-alasan yang menyatakan bahwa seakan-akan Ahok adalah seburuk-buruknya manusia yang diciptakan Allah. Dua ciri minoritas itulah yang menjadi alasan yang sesungguhnya.

Dalam psikologi gejala ini tidak lain dan tidak bukan adalah prasangka. Prasangka adalah pandangan yang biasanya negatif kepada sebuah kelompok (biasanya minoritas) dan menganggap setiap anggota dari kelompok itu mempunyai ciri-ciri negatif. Selanjutnya prasangka itu bisa menimbulkan diskriminasi (perbedaan perlakuan pada kelompok yang bersangkutan) dan segregasi (pemisahan kelompok minoritas dari kelompok mayoritas).

Di Afrika Selatan zaman pra-Nelson Mandella, sarana dan prasarana untuk kulit hitam dipisahkan dari kulit putih. Akibat diskriminasi, Barack Obama adalah presiden AS pertama yang berkulit berwarna sesudah AS merdeka lebih dari 250 tahun. Karena diskriminasi juga, sampai hari ini AS belum pernah mempunyai presiden perempuan (kalah dari Indonesia).

Republik Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dan punya Pancasila sebagai nilai-nilai untuk mengikat persatuan dan kesatuan negara seharusnya jauh lebih maju dari Afsel atau AS. Tetapi, nyatanya, ketika di Afsel sudah tidak ada segregasi dan di AS seorang berkulit hitam sudah bisa jadi presiden, di Jakarta malah masih ada orang yang pikirannya masih primitif seperti itu.

Mudah-mudahan kata-kata ketua organisasi sayap itu tidak mencerminkan sikap organisasinya, apalagi partainya, karena kalau benar, parpol itu juga punya sikap diskriminatif dan segregatif seperti itu, dijamin partai itu tidak akan sukses dalam Pemilu 2014 karena bangsa ini lebih mendambakan pemimpin dan partai yang mempersatukan, yang tampil dengan pemecahan masalah, bukan yang memecah belah persatuan dan hanya bisa menampilkan masalah-masalah baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar