Senin, 31 Maret 2014

Politik Transaksional

Politik Transaksional

Iksan Basoeky  ;   Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Politik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
REPUBLIKA, 27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kontestasi politik kian mendekat, gelombang persaingan semakin memanas. Peserta pemilu legislatif (pileg) ramai-ramai turun jalan mendekati konstituen dengan menawarkan gagasan mereka masing-masing, dibumbui dengan segudang janji politik yang serbamelangit. Intinya ingin mendapatkan suara rakyat sebagai bekal untuk mendapatkan kursi jabatan (kekuasaan).

Fenomena pesaingan politik kiranya menjadi hal lumrah dalam proses dialektika demokrasi di repulbik ini. Desain gagasan dan janji politik tak ubahnya bumbu kampanye politik agar "wajah buram" para politisi tidak terkesan kentara pada publik bahwa mereka hanya ingin memperoleh suara. Selebihnya adalah kekuasaan milik pribadi dan kroni, sehingga sangat tampak gagasan yang ditawarkan hanya sebatas ucapan yang jauh dari tindakan, apalagi untuk perbaikan kualitas hidup jangka panjang.

Dialektika demokrasi hanya dijadikan momentum transisi kekuasaan dan transaksi politik, tetapi dorongan melaksanakan demokrasi berbasis kesejahteraan semakin jauh panggang api. Pesta demokrasi lima tahunan hanya dijadikan momentum penantian untuk memperebutkan kekuasaan yang miskin nilai.

Mereka turun jalan bukan dalam arti memperjuangkan hak-hak rakyat dan perbaikan hidup yang hakiki demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruhnya rakyat, tetapi hanya sebuah impian pragmatisme memperoleh tahta kekuasaan.

Perjuangan hanya berhenti pada wilayah bentuk dan janji, bukan substansi dan eksekusi. Sejatinya, kedatangan mereka pada rakyat hanya bersifat prosedural mengampanyekan diri dan sepi dan ideologi. Sehingga, semuanya samar-samar dan terkesan hanya sebatas melaksanakan proyek pragmatisme politik, seakan dekat tetapi sebenarnya jauh meminjam bahasa Fahruddin Faiz (2011), lebih jauh daripada luasnya langit dan bumi. Mereka mendekati rakyat hanya sebagai media untuk memperoleh imbalan jasa berupa suara dengan cara-cara "haram" transaksi politik berupa pembelian suara.

Bahkan, pada saat kampanye seperti sekarang, para politisi kian berani obral janji palsu dengan bungkusan harapan yang berlebihan. Rakyat didekati dengan halus agar mereka tulus memberikan suarnya untuk kelanggengan kursi. Padahal, di balik semua itu tersimpan segudang kebohongan dan pengkhianatan yang nantinya akan melahirkan penyesalan dan kepedihan yang mendalam di hati rakyat.

Kebohongan mereka cipta dengan para pendukungnya melalui kampanye kata-kata tetapi sepi dari tindakan. Dusta politik dianggap jalan alternatif yang sah untuk dilakukan, walaupun sejatinya ia ingkar terhadap orientasi ideologi partai dan sifat mulia dari demokrasi. Dusta politik ini, menurut Marcur Olson dalam Power dan Prosperty (2000) disebabkan oleh sindrom politisi yang sudah dikelilingi para bandit dan pekulat. Sehingga, keduanya menyebar dan akhirnya menjadi petaka warisan budaya politik yang senantiasa selalu dipertahankan.

Saatnya melawan

Tentunya kita masih yakin bahwa pesta demokrasi 2014 ini akan berjalan sesuai dengan harapan dan tidak akan berjalan mulus yang namanya politik transaksional bilamana kita berani melawannya. Aksi politik (political action) demikian harus kita tolak bersama sebab ia bermuara pada kemunafikan dan korupsi. Politik transaksional sejatinya sangat mencederai orientasi agung dari proses demokrasi di mana gagasan demokrasi berlangsung sejatinya ingin menghindari praktik jual belik suara konstituen.

Tradisi praktik politik demikian men jadikan hak suara rakyat sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Padahal, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) yang tak dapat diperjualbelikan dengan harga sebesar apa pun karena ia sangat berarti bagi penunjang perbaikan masa depan republik tercinta ini. 

Cita-cita perbaikan bangsa ini harus terselamatkan dari praktik-praktik politik yang berorientasi provite oriented sebab ia hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin berideologi pragmatis yang senantiasa selalu ingin mengejar uang dan kekuasaan sementara program bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat tergadaikan.

Sifat dari ideologi pemimpin seperti ini biasanya selalu menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsu pragmatisme individu dan kelompoknya. Bahkan, ia berani mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan kekuasaan dengan membeli suara rakyat dalam bentuk sedekah uang agar tidak terlalu terkesan melakukan praktik money politics. Walhasil, jika ia tepilih maka yang akan didahulukan adalah berburu harta dan korupsi demi mengembalikan biaya kampanye politik yang cukup mahal.

Perjuangan mewujudkan kesejahteraan hanya nyaring kedengarnya. Ia bagaikan nyanyian kata-kata tanpa laku (tindakan). Berbondong-bondong mendekati rakyat sejatinya bukan berangkat dari hati yang tulus demi sebuah upaya dan usaha memperbaiki kualitas hidup bangsa. Tetapi, semata-mata ingin berkomunikasi prihal kepentingan pragmatisme dan kekuasaan mereka masing- masing. Lebih ironisnya lagi, visi dan misi yang dibangun sebatas hitam di atas putih dan sepi dari implementasi.

Praktik-pratik transaksi politik demikian yang akan berakibat pada kefatalan dalam dimensi proses demokrasi, yang sejatinya "wajib" kita perangi bersama karena ia telah mencederai nilai-nilai demokrasi dan secara tidak langsung telah menggadaikan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Oleh sebab itu, keterlibatan dan kesadaran dari semua elemen untuk melawan praktik haram ini adalah inti dari suksesi proses berlangsungnya pesta demokrasi. Merasakan pesta demokrasi bukan dalam arti harus menghamburhamburkan uang dan membagi-bagikannya kepada khalayak publik sebab tindakan tersebut sama halnya dengan melukai hati nurani rakyat. Memberi dan menjual suara adalah dua tindakan yang sama akan melahirkan kesengsaraan yang bersifat jangka panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar