Kamis, 27 Maret 2014

SJSN, untuk Apa dan Siapa?

SJSN, untuk Apa dan Siapa?

Sulastomo  ;   Ketua Tim SJSN 2001-2004
KOMPAS,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Setelah Jaminan Kesehatan Nasional berlaku mulai 1 Januari 2014, banyak pertanyaan tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan juga UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Meski informasi begitu gencar di berbagai media, ternyata masyarakat banyak yang masih belum paham SJSN.

Tujuan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah untuk memperluas kepesertaan, cakupan, dan peningkatan kualitas manfaat program jaminan sosial yang selama ini telah dinikmati oleh sebagian masyarakat agar semua tanpa kecuali memperoleh manfaat jaminan sosial dari lahir hingga meninggal.

UU SJSN melindungi masyarakat dari risiko ekonomi yang tidak terduga, misalnya sakit, kecelakaan kerja, atau memasuki masa pensiun.

Karena itu, jaminan sosial sesuai UU N0 40/2004 terdiri dari Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian.

Sebenarnya, masih ada satu program jaminan sosial yang perlu diberikan, yaitu Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK). Tetapi, JPHK telah termaktub dalam UU 13/2003 tentang Tenaga Kerja yang menjamin pekerja akan memperoleh pesangon.

Selain cakupan kepesertaan masih sedikit, tidak ada kelompok masyarakat yang memiliki semua manfaat jaminan sosial itu.

Pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri belum memiliki program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Sementara pekerja swasta, sebagian besar belum memiliki program jaminan pensiun meskipun sebagian kecil telah memiliki jaminan pensiun sukarela.

Dengan gambaran seperti di atas, ada urgensi untuk membangun sistem jaminan sosial yang komprehensif, yang mampu memberikan perlindungan sosial kepada setiap warga negara. Untuk itu, kepesertaannya bersifat wajib, menerapkan konsep asuransi sosial, sekaligus mengintegrasikan kelompok masyarakat yang mampu dan masyarakat yang tidak mampu.

Pendekatan sistem

SJSN diselenggarakan berdasar pendekatan sistem sehingga berbagai pihak terkait harus mematuhi sistem yang diberlakukan. Ini berarti segenap informasi yang diperlukan harus dipahami dan dilaksanakan bersama. Setiap warga negara/peserta, penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah, pemberi pelayanan kesehatan dan juga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus mengetahui hak dan kewajiban serta melaksanakan program jaminan sosial sesuai UU No 40/2004.

Misalnya, manfaat Jaminan Kesehatan (JK) yang selama ini diberikan oleh PT (Persero) Jamsostek, ketika dialihkan ke BPJS Kesehatan akan memperoleh manfaat JK sesuai UU No 40/2004. Demikian juga manfaat jaminan pensiun, ketika dimulai pada pertengahan 2015 oleh BPJS Ketenagakerjaan, juga harus mengintrodusir ”manfaat pasti” (defined benefit).

Demikian juga pensiunan pegawai negeri/anggota TNI/Polri selayaknya juga ikut mengiur atau membayar kontribusi bersama pemberi kerja (pemerintah) dan tidak dibebankan pada APBN semata. Dengan demikian, beban APBN akan lebih ringan.
Untuk kepesertaan yang bersifat wajib, kita dapat membayangkan potensi program jaminan pensiun sebagai mekanisme mobilisasi dana sangat besar sehingga mampu memupuk tabungan nasional. Dana inilah yang di banyak negara telah mampu menunjang pembangunan ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, dengan mekanisme asuransi sosial, hukum bilangan banyak (the law of large numbers) akan terpenuhi. Dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan, terbuka lebar iuran yang sekecil-kecilnya dengan manfaat sangat besar. Karena itu, cakupan program jaminan kesehatan sesuai SJSN sangat komprehensif, meliputi preventif, promotif, dan rehabilitatif.

Hal itu terlepas dari adanya syarat bahwa dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan harus diberlakukan sistem pemberian pelayanan (delivery system) dan pembiayaan (payment system) yang terintegrasi sesuai prinsip managed-healthcare concept, di mana diberlakukan sistem pelayanan berjenjang dan pembayaran pradana dengan menerapkan kendali mutu dan biaya. Dengan pendekatan seperti itu, orientasi pelayanan kesehatan cenderung ke arah pencegahan (preventive) dan bukan pengobatan (treatment).

Implementasi bertahap

Namun, semua itu harus diimplementasikan secara bertahap sehingga perlu kesabaran semua pihak. Implementasi UU No 40/2004 dan UU No 24/2011 itu memerlukan perencanaan yang matang agar tidak justru menjadi bumerang. Perumusan peraturan turunan UU No 40/2004 dan UU No 24/2011 akan lebih baik kalau dapat terbit lebih awal sehingga cukup waktu untuk sosialisasinya.

Dalam BPJS Kesehatan, tampaknya persiapan itu belum optimal. Berbagai peraturan turunan itu baru terbit pada Desember sehingga banyak persoalan di lapangan.
Selain Jaminan Kesehatan, kita juga menyongsong penyelenggaraan program Jaminan Pensiun (wajib) bagi pekerja pertengahan tahun 2015. Sekali lagi, kita juga harus bersabar. Sebab, tidak serta-merta seluruh pekerja akan memperoleh jaminan pensiun. Diperlukan semacam skenario makro, peta jalan, tahapan untuk mencakup seluruh pekerja, sebagaimana dalam implementasi jaminan kesehatan. Dengan demikian, program jaminan pensiun dapat berkelanjutan dan tidak menimbulkan keruwetan. Dengan program Jaminan Pensiun Wajib, terbuka peluang menyelenggarakan Jaminan Pensiun Sosial bagi kelompok masyarakat usia lanjut nonkerja.

Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, manfaat SJSN akan sangat luas, yakni meringankan beban negara dan dunia usaha, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing bangsa. SJSN juga mampu memobilisasi dana masyarakat sehingga kita mampu memupuk tabungan nasional yang sangat besar.

Karena itu, meski masih banyak kekurangan, kita tidak boleh mundur lagi dalam mengimplementasikan JKN/SJSN/BPJS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar