Sabtu, 31 Mei 2014

Cukai Rokok v Biaya Kesehatan

Memperingati Hari Bebas Tembakau Sedunia, 31 Mei 2014

Cukai Rokok v Biaya Kesehatan

Sugiharto  ;   Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
JAWA POS,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
’’Rokok itu menguntungkan, bisa membuat awet muda,’’ ucap teman sejawat saya.

Saya mengernyitkan dahi. Mulut ini sudah ingin cepat-cepat membantah yang dia katakan itu.

‘’Banyak perokok aktif maupun pasif yang meninggal di usia muda, kan?’’ sambungnya.

Duer….

Menurut Global Adult Tobacco Survey Report (2011), Indonesia menempati urutan pertama di dunia yang memiliki persentase tertinggi laki-laki perokok, 67 persen. Sedangkan dari jumlahnya, Indonesia masuk peringkat ketiga setelah Tiongkok dan India.

Data profil tembakau Indonesia 2008 menunjukkan, belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor dua (10,4 persen) setelah makanan pokok padi-padian (11,3 persen). Sementara itu, pengeluaran untuk daging, telur, dan susu rata-rata 2 persen. Pengeluaran untuk rokok adalah lebih dari lima kali (!!!) pengeluaran untuk makanan bergizi. Dilihat dari proporsi total pengeluaran bulanan, belanja rokok lebih dari tiga kali (!) pengeluaran untuk pendidikan (3,2 persen) dan hampir empat kali (!!) pengeluaran untuk kesehatan (2,7 persen).

Diperkirakan, rakyat Indonesia setiap tahun membakar uang Rp 120 triliun untuk rokok dan pemerintah bisa meraup penghasilan cukai dari rokok sekitar Rp 44 triliun (Thabrany, 2008).

Penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan pada 2010 menyebutkan, kerugian makroekonomi total terkait dengan konsumsi rokok Rp 245,4 triliun, sedangkan pemerintah mendapat penghasilan cukai dari rokok Rp 56 triliun.

Masalah cukai itulah yang diangkat dalam peringatan Hari tanpa Tembakau Dunia’’ tahun ini. Diharapkan, tingginya pajak rokok akan dapat mengurangi konsumsi tembakau –selain pendapatan negara bertambah. Menurut World Health Organization (WHO), kenaikan cukai yang akan menaikkan harga rokok 10 persen bakal menurunkan konsumsi rokok sekitar 4 persen di negara berpenghasilan tinggi dan sampai 8 persen di banyak negara berpenghasilan rendah dan sedang.

Saya teringat, ekonom Faisal Bahri pernah mengungkapkan bahwa sejatinya tidak ada lagi perdebatan mengenai manfaat dan mudaratnya rokok. Sudah sangat jelas merugikan. Hampir semua orang meyakini buruknya dampak rokok. Dari berbagai aspek, rokok sudah diketahui sebagai kenikmatan yang membawa sengsara, terutama bagi kesehatan dan ketahanan tubuh perokok itu sendiri dan orang di sekitarnya. Rata-rata diperlukan sekitar 15 tahun untuk melihat hasil nyata ’’investasi’’ rokok itu: berbagai penyakit mematikan.

Menurut World Cancer Research Fund International (2012), dari semua kanker yang ada, kanker paru adalah yang terbanyak di dunia dan merokok merupakan penyebab mendasar dari kanker paru. Diperkirakan, hingga 85 persen semua jenis kanker paru ada hubungannya dengan merokok (aktif/pasif).

Biaya Kesehatan

Pemerintah seharusnya lebih lagi memahami, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi berbagai penyakit akibat rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan dari cukai rokok. Apalagi, di era Jaminan Kesehatan Nasional ini, beban biaya kesehatan akan semakin terasa berat akibat kondisi kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, baik langsung maupun tidak langsung, yang berkontribusi bagi 10 persen kematian orang dewasa di dunia.

Dampak buruk yang memprihatinkan adalah pengalihan alokasi uang untuk membeli rokok dari yang seharusnya untuk pengeluaran lain yang lebih penting. Misalnya, peningkatan gizi/ kesehatan dan pendidikan. Hal itu terbukti dari salah satu hasil penelitian saya bersama empat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di suatu daerah Sidoarjo pada 2012. Sebanyak 73,68 persen anak balita yang menderita gizi buruk hidup dengan orang tua yang perokok. Dari hasil uji analisis, didapat adanya hubungan bermakna antara status gizi buruk anak balita dan kebiasaan merokok orang tuanya –selain beberapa faktor lain yang memengaruhi status gizi tersebut. Anak balita yang orang tuanya perokok mengalami gizi buruk, tersering disebabkan kurangnya bahkan tidak adanya biaya yang cukup untuk membeli makanan bergizi bagi anak balita tersebut karena uang yang ada diprioritaskan untuk membeli rokok. Sangat memprihatinkan!

Tampaknya, sebagian masyarakat kita harus dicuci otak agar generasi mendatang dapat terselamatkan dari bahaya rokok ini! Namun, upayanya tidaklah mudah. Lihat saja perubahan iklan rokok terbaru sejak awal 2014 (atau akhir 2013) yang sangat mencolok! Saya mengamati, ada pesan tersembunyi yang sangat menyesatkan, terutama bagi anak muda, yakni dengan kehadiran gambar yang diletakkan di bawah iklan tersebut: seorang laki-laki gagah memegang sebatang rokok sedang mengembuskan asap. Meskipun ada gambar tengkorak yang membayangi dan tulisan ’’Merokok Membunuhmu’’, sangat sulit menghapus kesan gagah saat merokok –pesan tersembunyi yang memang diinginkan pihak tertentu. Sebenarnya masyarakat kita tidak bodoh dengan hidden agenda itu. Tapi, seberapa banyak yang peduli dan berani mempermasalahkan itu?

Pemerintah kita bahkan hingga kini tidak ’’berani’’ meratifikasi –sekarang disebut mengaksesi– Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control –FCTC) yang dibuat WHO pada 2003. Padahal, Indonesia ikut merancang FCTC. Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC meski sudah ditandatangani 168 negara dan resmi mengikat total 178 di antara 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

FCTC yang terdiri atas sebelas bagian itu, antara lain, mengatur kebijakan harga dan pajak rokok, perlindungan terhadap paparan asap rokok, kandungan rokok, kemasan rokok, edukasi, komunikasi, pelatihan dan perhatian publik, promosi atau iklan rokok, serta perlindungan bagi lingkungan. Tujuannya, melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Mencari Solusi

Banyak pendekatan yang bisa digunakan dalam mencari solusi tentang rokok ini. Salah satu yang cukup ampuh dalam bidang kesehatan/ kedokteran adalah ’’five levels of prevention – lima tingkatan pencegahan’’. Yakni, (1) health promotion (promosi kesehatan), (2) specific protection (perlindungan khusus), (3) early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan yang tepat), (4) disability limitation (pembatasan kecacatan), dan (5) rehabilitation (rehabilitasi/pemulihan).

FCTC sudah memasukkan edukasi yang merupakan bagian health promotion. Kita harus lebih gencar lagi melaksanakan itu. Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi untuk melindungi masyarakat sebagai bagian specific protection. Tinggal bagaimana mengawasi pelaksanaannya di lingkungan kita.

Tiga bagian terakhir merupakan upaya kita bagi mereka yang sudah terperangkap jeratan rokok. Bila perlu, bawalah ke dokter karena sekarang ini telah ada obat yang bisa membantu untuk berhenti merokok –selain tekad kuat si perokok itu sendiri. Diharapkan, tidak terjadi (banyak) kecacatan dalam organ tubuh perokok itu dan bisa sesegera mungkin dipulihkan secara holistik.

Mari bertindak aktif agar tidak dijumpai lagi banyak asap rokok di sekitar kita sehingga negeri kita terselamatkan dari penyebab kematian yang dapat dicegah ini! Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar