Kamis, 29 Mei 2014

Demokrasi Kospolitan

Demokrasi Kospolitan

 Fathorrahman  ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
KOMPAS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SALAH satu persoalan mendasar dalam pemilihan umum kali ini adalah masifnya berbagai pandangan negatif dan kampanye hitam pada calon presiden, terutama terhadap Joko Widodo yang diusung empat partai, yakni PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura. Ia secara berkala dan sangat intens diserang dengan nuansa rasial dan takfiri.

Padahal, di era reformasi, di mana demokrasi menjadi penanda semangat keterbukaan, pola komunikasi yang dibangun tidak patut bila merujuk kepada apa yang diistilahkan Karl R Popper sebagai gaya pejorative, yaitu memosisikan diri sendiri sebagai pihak yang paling benar dan tepat, ataupun gaya falsifikatif, yaitu memosisikan orang lain sebagai pihak yang salah dan keliru. Setiap kebenaran yang dikonteskan dengan kebenaran lainnya, baik dalam lingkup pejorative maupun falsifikatif, hanya akan berujung pada defisit kebenaran—meminjam istilah Leven Boeve.

Justru yang perlu dibangun adalah rasa pengakuan diri secara asertif untuk menerima kelemahan yang kita miliki dan mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, demikian pula sebaliknya melalui semangat untuk saling berbagi dan menerima. Dengan demikian, berbagai upaya untuk mendiskreditkan seorang capres sudah bukan kelaziman yang perlu dipelihara. Apalagi masyarakat saat ini sudah mulai cerdas untuk menengarai mana ungkapan yang bernuansa fitnah dan mana yang jujur menyatakan rekam jejak seorang capres.

Maka, tidak aneh bila tebar fitnah yang diekspresikan secara verbal ataupun non-verbal tidak pernah menemukan kedigdayaannya untuk memengaruhi masyarakat. Patut difahami bahwa kelompok yang suka menjelekkan kelompok lain sebenarnya cenderung berbohong kepada orang lain ataupun kepada dirinya.

Ciri kosmopolitan

Dalam buku The sociology of cosmopolitanism, Gavin Kendal mengungkapkan bahwa ada empat dimensi yang menopang terbentuknya peradaban kosmopolit.
Pertama, menumbuhkan cara berpikir positif dalam menyikapi era globalisasi—termasuk demokrasi—yang sarat kompetisi. Kedua, menggunakan simbol identitas diri ataupun kelompok secara proporsional ketika berhadapan dengan keberagaman. Ketiga, bersifat inklusif dan mau menerima kebudayaan pihak lain. Keempat, memiliki perilaku terbuka kepada orang lain dan mau berbaur dalam komunitas yang berbeda.

Pandangan Gavin Kendal menegaskan bahwa keterbukaan adalah kunci dalam peradaban yang kosmopolit. Untuk itu, ada tiga nilai yang patut diinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, ataupun beragama.

Pertama, nilai-nilai keikhlasan atau ketulusan dalam menerima keadaan psikologis ataupun sosiologis. Sikap tulus ini ditunjukkan melalui kesediaan dan keberanian mengendalikan emosi ketika di posisi beruntung ataupun buntung. Filosofi Jawa, yen kalah ora ngamuk, yen menang ora umuk, adalah pelajaran berharga bagi siapa pun yang terlibat dalam pemilu.

Kedua, nilai-nilai kesabaran menjadi mekanisme untuk menjalankan roda kepemimpinan dengan tanggung jawab. Merujuk Sindhunata dalam ”Awas, Politik Genderuwo” (Kompas, 18/3/2014), kesabaran harus dilandasi dengan sikap saling menghargai dan bersedia menangani setiap persoalan dengan cara adil dan arif bijaksana (das politische).

Keutamaan demokrasi dapat menggerakkan attitude kepemimpinan yang peduli terhadap kepentingan bangsa tanpa dibatasi sekat-sekat sektoral, baik agama, etnis, maupun emosional kelompok yang bisa menafikan keberadaan yang lain (die politik).

Ketiga, nilai-nilai keyakinan terkait ketegasan dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan umum. Merujuk pada pandangan Davil Held dalam buku Democracy and the Global Order, keyakinan harus berhubungan dengan kebaikan demokratis untuk membuat kebijakan publik yang sinergis dengan kepentingan rakyat. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi yang diterapkan akan bersifat terbuka dan accessible bagi siapa pun dalam merumuskan kaidah ataupun aturan yang menunjang terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Semangat toleransi

Dalam buku Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa toleransi merupakan bagian inheren dari kehidupan manusia.

Toleransi menegaskan adanya keterbukaan mencairkan sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.

Dengan demikian, tidak patut bila atas nama etnis mayoritas men-subordinasi etnis minoritas. Misalnya, menghendaki capres yang sesuai dengan agama ataupun tradisi tertentu, atau atas nama politik dominan mencari capres yang disukai oleh partai-partai berbasis agama.

Demokrasi kosmopolitan mengajarkan kita untuk tidak terjebak kepada paham keagamaan dan kebangsaan yang hanya dikemas dalam praktik kesusilaan belaka. Toh, pada kenyataannya, kita justru banyak berpaling dari nilai-nilai dasar: kepedulian kepada keutamaan manusia, yaitu menghargai dan menerima manusia lain apa adanya.

Kepedulian di sini berhubungan dengan kearifan mengelola egoisme sentris baik yang berkaitan dengan etnisitas, ideologi keagamaan, maupun politik.

Dengan demikian, setiap kekalahan dan kemenangan tidak dimaknai sebagai ancaman ataupun peluang untuk balas dendam, tetapi sebagai kesadaran transendental yang menggerakkan hati si pemenang untuk merangkul yang kalah, dan yang kalah menghormati yang menang. Dengan cara ini, proses berdemokrasi bisa menghantarkan kita ke kehidupan bernegara, beragama, berbangsa, dan bermasyarakat yang beradab kosmopolit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar