Rabu, 28 Mei 2014

Isra Mikraj di Tahun Politik

Isra Mikraj di Tahun Politik

Ilham Kadir  ;   Pengurus KPPSI Pusat, Ketua Lembaga Penelitian MIUMI Sulsel
KORAN SINDO,  27 Mei 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Ditinjau dari segi bahasa, lafaz Isra berakar dari kata, asra’-yusri’- Isra , berarti perjalanan di malam hari. Dari sudut morfologi, Isra berakar dari kata ‘sara’, atau berjalan. Misalnya, Man sara ‘ala al-darbi washala .

Siapa yang berjalan pada jalannya, akan sampai tujuan. Namun, penggunaan diksi dalam bahasa Arab tidak bisa sembarangan, kata ‘berjalan’ memiliki banyak makna, tergantung setting waktunya. Kata, ghadara, untuk berangkat di pagi hari, raha , untuk sore hari, dan sara di malam hari. Dalam segala suasana, dapat dipakai kata masya, zahaba, dan inthalaqa. Dalam bahasa Indonesia, semua bermakna sama, bepergian atau perjalanan.

Perbedaan-perbedaan itu hanya dapat diketahui bagi mereka yang memiliki ‘dzauq‘ bahasa Arab yang dalam. Karena itu, siapa pun yang hendak memahami Alquran dan As-Sunnah secara sempurna harus memiliki dzauq . Itu semua dapat dimiliki dengan telaten mendalami ilmu-ilmu bahasa Arab yang meliputi, Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, Ma’ani (Balaghah), hingga ‘Arudh, wal-Qafiyah.

Dari segi istilah, Isra adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad dari Masjidilharam Mekkah ke Masjidilaqsha Yerusalem dilakukan pada malam hari yang diperkirakan jatuh pada tanggal 27 Rajab. Mikraj, dari segi bahasa, adalah tangga naik. Asal katanya, ‘araja-ya’ruju-mi’araja-ya’rujumiraj, disebut juga sebagai ismul-alah, atau nama alat yang dipakai untuk naik. Secara istilah, bermakna naiknya Rasulullah bersama Malaikat Jibril dari Baitul Maqdis Yerusalem ke langit teratas, Sidratul Muntaha , menerima langsung perintah salat dari Allah.  

Dalam perjalanan spiritual tersebut, baik Isra maupun Mikraj terdapat banyak kejadian yang disampaikan Nabi sendiri, layak menjadi pelajaran bagi umat Islam. Apa saja itu? Kita lihat. Ibnu Hisyam, sebagaimana dikutip oleh Haekal dalam Hayatu Muhammad (1972) menceritakan riwayat perjalanan Nabi dalam peristiwa Mikraj, di langit pertama, setelah berjumpa dengan Nabi Adam, Rasul berkisah; Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut merekahinggakeluarmelaluidubur.

Aku bertanya, siapa mereka itu, Jibril? Mereka yang memakanhartaanakyatimsecara tidak sah, jawab Jibril. Kemudian–lanjut Nabi–kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat, dengan cara keluarga Firaun menyeberangi mereka seperti unta terkena penyakit di kepalanya, tatkala dibawa ke dalam api.

Mereka diinjak-injak dan tak dapat beranjak dari tempat. Aku bertanya, siapa mereka itu, Jibril? Mereka itu tukang-tukang riba, jawabnya. Kemudian kulihat orangorang di hadapan mereka ada daging yang empuk dan baik, di sampingnya ada pula daging yang buruk dan busuk. Mereka makan yang buruk dan busuk dan meninggalkan yang empuk dan baik. Siapakah mereka itu, Jibril? Tanya Nabi.

Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan (istri) dan mencari wanita-wanita yang diharamkan, jawabnya. Kemudian, aku melihat wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya, siapakah mereka itu Jibril? Mereka itu wanita yang memasukkan bukan dari keluarga mereka (selingkuh). Lalu aku–lanjut Nabi–dibawa ke surga.

Di sana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia, kepunyaan siapakah Engkau? Nabi sangat tertarik melihatnya, Aku kepunyaan Zaid bin Haritsa, jawabnya. Nabi pun memberi selamat kepada Zaid. Setelah menerima perintah salat sambil menyaksikan peristiwa- peristiwa menakjubkan di atas, Nabi pun turun ke bumi, menyampaikan apa yang dialami, diperintahkan, dan disaksikan oleh dirinya sendiri, dalam durasi satu malam. 

Ketika peristiwa besar itu disampaikan pada kaumnya di Masjidilharam, ia pun dikerumuni segenap penduduk Mekkah. Semua yang hadir menyangsikan. Sederhana saja alasannya, perjalanan pulang-pergi Mekkah-Baitul Maqdis dengan normal adalah dua bulan. Bagaimana mungkin Muhammad menempuh dalam durasi satu malam? Tidak sedikit yang sudah memeluk Islam, lalu kembali murtad, dan mendatangi Abu Bakar, memberi keterangan tentang berita heboh yang dibawa Muhammad.

Kalian berdusta, kata Abu Bakar. Sungguh, dia sekarang di masjid sedang berbicara dengan orang banyak, jawab si pembawa berita. Kalaupun itu yang dikatakan, pasti dia bicara yang benar, dia mengatakan padaku, ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, di waktu siang atau malam. Aku percaya, ini lebih dari yang kamu herankan, kata Abu bakar.

Ia lalu mendatangi Nabi, mendengarkan mendeskripsikan suasana Baitul Maqdis. Abu Bakar, sudah pernah berkunjung ke kota itu dan tahu persis gambaran masjid tersebut. Selesai Nabi berbicara, Abu Bakar berkata, Rasulullah, saya percaya! Sejak saat itu Nabi memanggil Abu Bakar dengan gelar ‘Ash-Shiddiq’.

Paparan di atas mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan: bahaya riba, awas korupsi harta anak yatim, penyakit sosial meliputi selingkuh dan perzinaan, ketaatan pada Rasulullah dengan cara mencintai pada diri pribadi dan selalu terdepan dalam membenarkan sabda dan ajarannya. Lalu apa relasinya dengan tahun politik? Kita liat.

Melakukan kezaliman dengan menjarah hak anak yatim, piatu, fakir, miskin, dan anakanak terlantar adalah fenomena umum di negeri ini. Hakhak mereka terabaikan, keberpihakan pemerintah pada golongan mustad’afin belum terlihat serius. Sesekali disambangi jika ada udang di balik batu, terutama pada saat-saat pilkada atau pemilu.

Peristiwa Isra Mikraj mengajarkan agar tidak mengabaikan hak anak yatimpiatu, mendidik mereka sampai mampu berdikari. Ini adalah bagian dari tugas pemerintah dan orang-orang yang dikaruniai kelebihan rezeki dan ilmu. Dari sudut ekonomi, ribawi adalah sistem yang sedang dipraktikkan bangsa Ini. Keuangan syariah hanya mendapat sekitar 5% pangsa pasar dari total nasabah yang ada di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, selebihnya masih konvensional dan penuh unsur riba.

Itu artinya, riba telah menjadi denyut nadi perekonomian di Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah pada keuangan syariah menjadi salah satu penyebabnya, di samping rendahnya pemahaman masyarakat terkait bahaya riba. Kendati riba bertingkat-tingkat, namun setidaknya ada dua jenis riba yang harus dihindari, yaitu adanya unsur zhulm, atau kezaliman, dan adh’afan mudha’afan, bunga yang berlipat ganda.

Konsep zhulm dalam masalah utangpiutang kerap mendera nasabah bank pada umumnya, betapa tidak, orang yang mengagunkan rumahnya, jika telah jatuh tempo, tanpa tenggang rasa mengusir si pemilik rumah tanpa mau tahu alasannya, setali tiga uang dengan konsep ‘berlipat ganda’. Lihatlah mereka yang kredit rumah di bank, jika berjalan tahunan, maka nominal uang dikembalikan akan berlipat ganda.

Tidak jauh beda dengan rentenir. Sedangkan, problem lain, yang cukup rumit ialah mewabahnya penyakit selingkuh. Fenomena selingkuh telah menjadi kebiasaan umum. Bahkan seorang artis tenar, dengan bangganya menyatakan kehamilannya di depan umum akibat perbuatan zinanya dari lelaki yang bukan suaminya.

Demikian pula, seorang pengacara sekaligus selebritas dengan bangganya menggandeng istri orang lain di depan umum, tanpa merasa berdosa. Pesan Isra Mikraj, bahwa perbuatan selingkuh akan mendatangkan siksa di hari kemudian dapat menjadi renungan untuk segenap penghuni bumi, lebih khusus bangsa Indonesia, tak ada ajaran dan peraturan mana pun yang melegalkan perselingkuhan, hewan sejenis tarsius saja sangat setia pada pasangannya.

Problem kepemimpinan juga menjadi masalah besar umat Islam dan lebih khusus bangsa Indonesia. Tidak adanya hubungan harmonis antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin seakan dilepas bebas untuk melakukan kebijakan tanpa bijaksana, lalu bertentangan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat.

Isra Mikraj yang bertepatan dengan tahun politik kali ini, sebagai momentum memilih pemimpin yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa yang mandiri, bebas riba, jujur dalam perbuatan dan perkataan, mereduksi maksiat, dan memuliakan para anak yatim, fakir miskin, dan rakyat jelata dengan menyediakan penghidupan lebih layak. Itulah pemimpin Indonesia hebat dambaan umat harapan bangsa. Wallahu A’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar