Jumat, 30 Mei 2014

Kebangkitan Ekonomi II

Kebangkitan Ekonomi II

 FX Sugiyanto  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SIAPA pun yang terpilih sebagai presiden periode 2014-2019 seharusnya mengawali dengan kembali membangun fondasi kebangkitan nasional ekonomi, yakni merumuskan dan memulai arah baru ekonomi Indonesia ke depan. 

Semangat memerdekakan diri Boedi Oetomo 1908 layak direaktualisasi.
Bukan hanya dengan membangun ekonomi pertumbuhan tinggi, melainkan juga membangun fondasi kokoh berbasis kekuatan ekonomi yang merata dan potensi domestik sebagai sumber utamanya. Mungkin tak tepat mengatakan fondasi ekonomi Indonesia saat ini rapuh, tetapi tidak benar pula bila mengatakan kita sudah punya fondasi ekonomi kuat dan mandiri. Saat ini makroekonomi Indonesia relatif baik tapi mikroekonomi kita masih rawan. Indikator makroekonomi menunjukkan kondisi stabil. Tingkat inflasi cenderung menurun dan saat ini pada tingkat 7,25 %.

Kurs rupiah sudah mulai menemukan keseimbangan barunya pada sekitar Rp 11.500 per dolar AS walaupun belum stabil. Cadangan devisa cukup besar dalam posisi sekitar 102,6 miliar dolar AS, cukup untuk 5,7 bulan kebutuhanan impor dan pembayaran utang luar negeri. Defisit transaksi berjalan cenderung menurun dan dalam posisi 2,1 % terhadap PDB. Rasio utang luar negeri terhadap PDB relatif aman walau cenderung meningkat dalam 3 tahun terakhir, yakni 30,35 %, masih di bawah ambang batas aman 60% menurut UU Nomor 17/2003.

Sebaliknya pada sisi mikroekonomi ada fenomena yang dapat mengancam stabilitas makroekonomi. Hal yang paling rawan adalah memburuknya distribusi pendapatan antarkelompok masyarakat, dan ini terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota. Indeks gini cenderung meningkat, dari 0,308 tahun 1999 menjadi 0,413 tahun 2013.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih sangat tinggi, yakni 5,70 %. Untuk batasan menganggur Indonesia, yaitu bekerja hanya 1 jam atau lebih dalam seminggu, dan tingkat pengangguran tersebut masih terlalu tinggi. Kesenjangan pendapatan yang makin melebar ini merupakan cermin dari makin lemahnya akses kelompok-kelompok miskin dan marginal terhadap sumber-sumber ekonomi, baik kepemilikan aset, pendidikan, lapangan usaha dan pekerjaan, maupun pelayanan dan prasarana publik.

Itulah arti pentingnya kebangkitan nasional ekonomi II, setelah kebangkitan nasional ekonomi I tahun 1970-1990-an. Orientasi strategi pembangunan ekonomi Indonesia mendatang harus berubah, dari pertumbuhan terpusat menjadi pertumbuhan tersebar (broad based economic growth) atau sering disebut pertumbuhan inklusif (inclusive economic growth), walaupun sesungguhnya makna itu tidak persis sama.

Era pertumbuhan tinggi, 1970-1997, terbukti tidak cukup menjadi fondasi yang kokoh. Pada periode tersebut, ekonomi Indonesia tumbuh dengan rata-rata 6,9% dan pendapatan per kapita rata-rata meningkat 4,9% sehingga banyak negara dan lembaga internasional yang kagum kepada Indonesia (Kwik Kian Gie, 1997). Namun, faktanya ekonomi kita kelimpungan dihantam krisis.

Berbasis Luas

Mengakhiri millennium I ekonomi Indonesia tumbuh negatif, tahun 1997 minus 13,1% dan tahun 1998: 0,3%. Industri perbankan ambruk, banyak bank terpaksa ditutup, termasuk bank-bank pemerintah yang kemudian merger menjadi Bank Mandiri. Tidak kurang dari Rp 600 triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank yang kolaps. Kurs rupiah anjlok menjadi hanya sekitar 33%, inflasi melambung hingga 77,53% tahun 1998 jauh di atas angka satu digit yang selalu dijaga semasa Orde Baru.

Mengapa semua itu terjadi? Karena kita seperti membangun rumah megah di atas pasir. Pertumbuhan ekonomi tinggi periode 1970-1997 tersebut disokong tumbuhnya industri yang tidak mempunyai keterkaitan kuat atau footloose industry, seperti tekstil, industri alas kaki, elektronik, dan industri primer. Sektor industri tumbuh dengan ratarata 10,4% pada 1970-an dan 7,1% tahun 1980-an (Tambunan, 2006).

Peran sektor industri dalam struktur pendapatan nasional meningkat dari 8,5% di awal 1970-an menjadi 25,5% pada akhir 1990-an (Kwik Kian Gie, 1997). Pertumbuhan industri tersebut cenderung terjadi pada industri besar, bergerak pada komoditas primer seperti tambang dan hasil hutan, padat modal bersumber dari modal asing dan pinjaman, dan umumnya berskala besar (Thee, 1988).

Aglomerasi dan konsentrasi industri terjadi bukan hanya dalam bentuk pengelompokan industri yang cenderung berlokasi di Indonesia barat, khususnya Jawa dan Sumatera melainkan juga dalam bentuk pengelompokan kepemilikan yang kemudian menumbuhkan konglemarasi industri berbau kroni. Di samping itu, industri yang terbangun mempunyai kandungan impor tinggi. Bahkan hingga saat ini (Tabel I-O 2000, BI 2006), kandungan tersebut masih rata-rata 23%. Tingginya kandungan impor ini menjadikan industri di Indonesia rawan terhadap gejolak harga, baik kurs mata uang maupun inflasi di luar negeri.

Muara dari semua itu, ekonomi Indonesia berdaya saing rendah dan cenderung sensitif terhadap perekonomian dunia yang makin terbuka. Posisi daya saing kita saat ini pada urutan ke-38 dari 188 negara (World Economic Forum, 2014). Kita tidak mungkin menghindari persaingan tersebut, bahkan menjelang dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN persaingan itu semakin ketat. Hanya dengan membangun ekonomi berbasis luas dan tersebar dengan penekanan pada dimensi spasial dan kewilayahan, daya tahan ekonomi Indonesia makin kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar