Senin, 26 Mei 2014

Korupsi Kaum Beragama

Korupsi Kaum Beragama

Imam S Arizal  ;  Peneliti CTSD UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
JAWA POS,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di tengah kian panasnya suhu politik menjelang Pilpres 2014 dan pro-kontra rencana penutupan pusat lokalisasi terbesar di Surabaya, Dolly, kaum beragama dikejutkan kabar penetapan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menteri agama yang seharusnya memberikan teladan serta mengamalkan ajaran agama yang luhur, indah, dan berbudaya justru terjebak dalam lingkaran setan korupsi. Yang lebih parah, yang dikorupsi adalah dana haji.

Sinyalemen maraknya tindak pidana korupsi di Kementerian Agama memang sudah lama tercium. Masih segar dalam ingatan kita ketika kasus korupsi proyek pengadaan kitab suci Alquran tahun anggaran 2011-2012 dan proyek pengadaan komputer madrasah tsanawiyah di Kementerian Agama dibongkar KPK. Bahkan, hingga hari ini, Kementerian Agama ditempatkan di urutan pertama sebagai kementerian terkorup di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, mengapa Kementerian Agama yang dihuni kaum beragama bisa melakukan korupsi, padahal tidak ada satu pun agama di dunia ini yang menghalalkan kejahatan kerah putih tersebut? Secara berseloroh, kita pun bisa menjawab, pertama, orang-orang beragama, termasuk menteri agama, tahu bagaimana menghapus dosa sehingga mereka tidak takut melakukan korupsi.

Cendekiawan Muhammadiyah Abdul Munir Mulkan (2004) mengemukakan, selama ini korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang bisa diampuni. Apalagi jika sebagian hasil korupsi itu disisihkan untuk ibadah atau sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Nanti di akhirat timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat daripada sanksi dosanya. Logika dari rakyat dan untuk rakyat pun dipakai sebagai dalih korupsi. Dengan demikian, para koruptor dan pejabat publik bisa diampuni dan masuk surga.

Kedua, hari ini mulai berkembang anggapan bahwa dosa publik bisa dihapus dengan amal publik. Adalah Jusuf Kalla yang memopulerkan istilah itu pada satu acara diskusi publik di Jakarta (3/4/2014). Bagi dia, neraca amal publik yang lebih besar dari dosa publiknya membuat seorang politikus dielu-elukan masyarakat. Meminjam istilah Radhar Pancha Dahana (2014), wajah para pejabat publik kita mirip tragedi Dewa Janus, yakni kebaikan selalu menyimpan keburukan. Seperti Dewa Janus dalam mitologi Romawi, dunia politik senantiasa menghasilkan produk berwajah dua, yakni amal publik dan dosa publik. Ironisnya, rakyat hanya diperlihatkan pada sisi positif amal publik dalam bentuk pencitraan yang dikelola.

Ketiga, maraknya korupsi di Kementerian Agama harus dibaca dengan logika birokrasi konvensional. Artinya, rakyat hendaknya tidak boleh membedakan antara Kementerian Agama dan lembaga lain. Sebagai institusi pemerintah, tentu saja beberapa partai dan politikusnya memiliki kepentingan di institusi itu melalui oknum-oknum tertentu. Apalagi SDA yang menjabat ketua umum PPP, tentu saja dia memiliki kepentingan tersembunyi di balik semua proyek di Kementerian Agama.

Wajar jika orang mengatakan bahwa Kementerian Agama sudah tidak menerapkan nilai-nilai agama. Keberagamaan dipakai hanya sebagai tabir untuk menutupi keburukan seseorang. Pada saat yang sama, ajaran agama menjadi sesuatu yang asing dari hidup dan dunia keseharian. Beragama hanya dijadikan rutinitas dan formalisme semata.

Membumikan Living Religion

Pada titik ini, perlu direnungkan dan dikoreksi kembali tentang hakikat keberagamaan kita. Azyumardi Azra (2004) menegaskan, sudah sangat sering kita mendengar kritik tentang kehidupan dan pengalaman keagamaan masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada formalisme dan simbolisme daripada substansi. Kalaupun ada penekanan pada substansi, itu lebih cenderung pada inward oriented, pada kesalehan personal-individu, sekaligus outward oriented menjadi kesalehan yang terejawantah dalam kehidupan sosial secara luas.

Sungguh tidak diragukan kesalehan sosial yang sebagian sudah terwujud dalam pemberian zakat, infak, sedekah, dan bentuk-bentuk religius alms atau charities lainnya yang terus meningkat di Indonesia. Tetapi, pada saat bersamaan, tindak pidana korupsi juga terus berkecambah. Di sini terjadi disparitas tajam antara kesalehan personal dan kesalehan sosial. Bahkan, yang lebih parah, terjadi pemisahan antara sikap keberagamaan di masjid atau rumah-rumah ibadah dan tingkah laku di kantor, di jalan raya, dan sebagainya.

Tak pelak, meski pada satu segi terlihat peningkatan semangat keagamaan dan kesalehan personal, masyarakat dan negara kita tetap merupakan soft state, negara lembek. Yakni, tidak ada batas-batas hukum yang jelas, apalagi penegakan hukum yang konsisten untuk memberantas korupsi.

Banyaknya tindak pidana korupsi di Kementerian Agama sesungguhnya tidak disebabkan gagalnya agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.

Esensi beragama tidak mengenal ruang dan waktu. Ekspresi keberagamaan seseorang semestinya tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk ritual-simbolis, tetapi membumi dalam kehidupan sehari-hari (living religion), baik di kantor, jalan raya, pasar, dan lain-lain. Artinya, tidaklah patut disebut masyarakat religius manakala dalam kehidupan sosial dia menentang norma-norma agama.

Pada titik inilah diperlukan ekspresi keberagamaan yang holistis, yang mengintegrasikan kehidupan ibadah dan ritual lain dengan praktik kehidupan sehari-hari, bukan hanya di rumah-rumah ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar