Kamis, 29 Mei 2014

Membangun Visi Kemaritiman Capres 2014

Membangun Visi Kemaritiman Capres 2014

 Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Berdasarkan dokumen visi dan misi para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlihat bahwa kedua pasangan capres dan cawapres kita memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap pembangunan sektor kemaritiman Indonesia ke depan.

Pemerintah RI memang tidak boleh mengabaikan sektor kemaritiman kita. Dilihat dari sudut pandang manapun, sektor kelautan kita memiliki posisi yang strategis. Wilayah perairan laut Indonesia mencapai sekitar dua per tiga dari seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dilihat dari kepentingan strategis pertahanan dan keamanan, wilayah kelautan kita memiliki peran penting untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Kelalaian kita dalam menjaga batas-batas wilayah laut bisa menyebabkan hilangnya wilayah kedaulatan kita.

Secara ekonomi, perairan laut juga memiliki potensi yang besar. Di bidang energi, laut kita (offshore, khususnya kawasan timur Indonesia) memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas) yang besar di tengah semakin berkurangnya cadangan migas di darat (onshore). Sayangnya, potensi migas di wilayah offshore ini belum dieksploitasi maksimal karena mahalnya biaya dan tingginya risiko investasi akibat buruknya in frastruktur.

Subsektor perikanan kelautan kita juga memiliki potensi yang besar dalam menyumbang produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan data dari McKinsey (2013), Indonesia merupakan negara penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina. Pada 2009, produksi ikan kita mencapai sekitar 9,8 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 91 persen digunakan untuk memenuhi konsumsi ikan di dalam negeri sedangkan sisanya, sekitar sembilan persen, diekspor.

Dengan wilayah laut yang begitu luas, sekitar 5,8 juta kilometer persegi, angka ekspor sebesar sembilan persen tersebut menunjukkan bahwa pem berdayaan perikanan kelautan kita masih jauh dari maksimal. Padahal, potensi permintaan ikan dunia saat ini sangat tinggi seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi protein hewani yang tidak sepenuhnya dapat dipenuhi dari daging.

Salah satu problem utama yang menyebabkan kurang optimalnya produksi ikan laut adalah rendahnya produktivitas. Rata-rata produktivitas kapal dalam menangkap ikan hanya sekitar 8,8 ribu ton ikan per kapal, dengan produktivitas tertinggi terjadi di wilayah Maluku dan Papua sebesar 13,1 ribu ton ikan per kapal dan terendah di wilayah Jawa bagian selatan yang hanya 4,4 ribu ton ikan per kapal. Rendahnya produktivitas ini menunjukkan bahwa kapal-kapal penangkapan kita umumnya masih kurang dalam penggunaan teknologi penangkapan ikan.

Wilayah kelautan kita juga memiliki potensi lainnya yang tak kalah besar. Indonesia sebenarnya memiliki potensi sebagai tempat transit kapal-kapal dari berbagai negara. Sayangnya, akibat buruknya kondisi infrastruktur kita, kapal-kapal tersebut tidak melabuhkan diri ke pelabuhan di Indonesia dan lebih memilih ke Singapura. Bahkan, kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dari dan ke Indonesia pun memilih pelabuhan milik negara tetangga sebagai transit (transit port). Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan nilai tambah yang berasal dari sektor kemaritiman kita menjadi sangat kecil.

Rendahnya nilai yang dihasilkan dari sektor kemaritiman kita sesungguhnya tidak lepas dari berbagai kendala yang dimilikinya. Meskipun sektor kemaritiman kita memiliki prospek bagus, orientasi pembangunan kita masih onshore oriented. Orientasi pembangunan infrastruktur yang dikembangkan pemerintah masih lebih berpihak kepada infrastruktur darat, bukan infrastruktur laut.

Rendahnya komitmen pemerintah dalam membangun infrastruktur kemaritiman juga tercermin dalam kinerja neraca jasa (balance of services) dalam neraca pembayaran Indonesia (balance of payment, NPI). Setiap tahun, neraca jasa kita selalu defisit. Pada 2012, neraca jasa kita mengalami defisit 10,3 miliar dolar AS. 
Pada 2013, defisit tersebut meningkat menjadi 12,1 miliar dolar AS. Defisit neraca jasa ini terutama disebabkan oleh tingginya pembayaran biaya pengangkutan (freight) terkait dengan kegiatan ekspor dan impor kita. Faktanya, kapal-kapal yang digunakan dalam kegiatan ekspor impor kita sebagian besar berbendera asing.

Pada era Orde Baru, Indonesia sesungguhnya telah memiliki visi yang cukup maju dalam pengembangan sektor kemaritiman ini. Menyadari bahwa wilayah kita sebagian besar laut, pemerintah pun banyak mengembangkan industri penunjang sektor kemaritiman, seperti industri perkapalan dengan banyak membangun pabrik pembuatan kapal serta industri kemaritiman lainnya.

Sayangnya, krisis ekonomi 1997/98 merontohkan semua rencana tersebut. Pada 1999, pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk kementerian yang khusus mengurusi sektor kelautan ini. Sayangnya, desain kebijakan fiskal tidak mendukung sektor kemaritiman kita. Orientasi kebijakan fiskal kita masih onshore oriented. Bahkan, selama lima tahun terakhir ini, pemerintah rela menghabiskan tidak kurang Rp100 triliun setiap tahun untuk subsidi BBM.

Saya kira, para capres dan cawapres kita harus memiliki paradigma baru. Dari visi misi mereka setidaknya telah memperlihatkan keberpihakannya kepada pembangunan sektor kemaritiman. Nah, tinggal penguatannya harus diperlihatkan antara lain dengan menunjukkan fiscal policy yang akan diusung. Saya berharap mereka tidak kembali "setengah-setengah" merealisasikan pembangunan sektor kemaritiman, bila telah terpilih menjadi presiden dan wakil presiden 2014-2019. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar