Jumat, 30 Mei 2014

Menakar Jurnalisme Prasangka

Menakar Jurnalisme Prasangka

 Atmakusumah  ;   Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS);
Ketua Dewan Pers 2000-2003
KOMPAS,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PENDERITAAN subyek berita akibat ”jurnalisme prasangka” seperti diuraikan S Sinansari Ecip di harian Kompas, baru-baru ini, merisaukan setiap pakar jurnalisme dan pengamat kebebasan pers. Sebab, jurnalisme semacam itu tak memenuhi standar jurnalisme profesional yang berpedoman pada kode etik jurnalistik. ”Sebagian liputannya mengandung hasil yang kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada orang atau lembaga tertentu (obyek liputan) dengan publikasi yang dahsyat,” demikian digambarkan dalam tulisan Ecip berjudul ”Awas, Jurnalisme Prasangka” pada Kompas edisi 2 April 2014.

Laporan seperti itu dapat terjadi karena kelalaian dan kurang uletnya para wartawan pengelola media pers yang memberitakan persoalan yang dialami oleh subyek berita tersebut. Bisa jadi juga karena media pers itu tak independen, tetapi memiliki kepentingan politik atau ekonomi tertentu yang bukan merupakan kepentingan publik pada umumnya.

Kemungkinan lain, media itu memang bukan media pers arus utama yang profesional yang sudah memiliki kelengkapan persyaratan untuk dapat menjalankan program peliputan investigasi atau penyidikan. Media pers profesional lazimnya punya kemampuan mengerahkan sejumlah wartawan berpengalaman.

Peliputan investigasi butuh biaya cukup besar dan tak jarang menelan waktu lama karena laporan itu perlu disajikan secara obyektif: berimbang dan fair (adil), tidak diskriminatif, serta tidak berprasangka. Bekal lain dalam penyajian karya jurnalisme investigasi tentulah keberanian, tanggung jawab, dan soliditas redaksi karena sering harus menghadapi tanggapan yang sangat kritis, terutama dari pihak subyek laporan itu yang merasa dirugikan atau dicemarkan.

Dengan demikian, laporan investigasi pers profesional perlu memberikan gambaran peristiwa atau persoalan secara lengkap atau yang dalam istilah jurnalistik dikenal sebagai obyektif dan komprehensif. Jadi, upaya peliputan pers yang ideal tidak bertujuan ”pukul dulu, urusan belakang,” seperti yang dikhawatirkan oleh Sinansari Ecip.

Memang, media pers kita tidak lepas dari kemungkinan menyajikan karya jurnalistik yang tidak adil. Laporan seperti ini dapat muncul dalam berita-berita cepat atau seketika yang mungkin perlu segera diberitakan meski hanya berdasarkan sumber-sumber yang belum lengkap. Misalnya, informasi baru bersumber dari kepolisian, kejaksaan, atau sidang pengadilan yang masih berkelanjutan.

Hak jawab

Penggunaan hak jawab dengan langsung memberikan keterangan tertulis atau lisan kepada redaksi media pers ataupun pemanfaatan mediasi oleh Dewan Pers antara subyek berita dan media pers termasuk di antara empat cara penyelesaian konflik akibat pemberitaan. Keempat jalur ini dapat menjadi pilihan sejak awal, bukan seperti dikatakan oleh Sinansari Ecip bahwa ”pengaduan kepada polisi atau pengadilan tidak dilarang asal setelah diadukan kepada Dewan Pers.”

Akan tetapi, apabila kasus itu sudah berada di jalur hukum, Dewan Pers tidak akan dapat diminta sebagai mediator, kecuali jika pihak pengadu menarik kembali pengaduan itu dari lembaga penegak hukum. Paling-paling, jika diminta, Dewan Pers hanya dapat mengirimkan saksi ahli ke pengadilan. Majelis hakim, ketika mulai menyidangkan delik pers, kadang-kadang masih menawarkan kepada penggugat untuk berdamai dengan tergugat melalui penggunaan hak jawab atau mediasi oleh Dewan Pers.

Di manakah hak jawab dapat disajikan pada media pers cetak atau media massa lainnya? Sinansari Ecip menyindir pemuatan hak jawab yang pendek dalam rubrik ”Surat Pembaca” sehingga tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.

Sebenarnya hak jawab tidak selamanya dimuat di rubrik ”Surat Pembaca”. Ada kalanya klarifikasi subyek berita yang serupa dengan hak jawab disajikan sebagai berita baru dengan huruf-huruf judul dan kolom yang lebih mencolok daripada berita awal yang ditanggapi. Redaksi, memang, memiliki kewenangan untuk memilih cara penyajian dan melakukan penyuntingan bagi seluruh isi medianya, termasuk hak jawab.

Dewan Pers-Komisi I DPR

Empat jalur tempuh yang dapat dilalui oleh khalayak ketika bersengketa dengan media pers juga telah disepakati oleh Komisi I DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Dewan Pers pada 6 Juni 2000. Namun, penggunaan hak jawab tetap ditempatkan pada urutan jalur yang pertama.

Komisi I DPR sependapat dengan Dewan Pers agar ditempuh jalur yang lazim berlaku di negara-negara lain dan Indonesia selama ini jika terjadi konflik antara publik dan media pers.

Pertama, penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Upaya ini memberikan kesempatan kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi narasumber atau obyek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Ini adalah jalur yang paling singkat, paling praktis, serta tidak menelan energi dan biaya.

Kedua, penyelesaian melalui Dewan Pers sebagai mediator. Apabila kedua pihak tidak dapat dicapai penyelesaian, mereka dapat meminta Dewan Pers sebagai mediator. Penyelesaian melalui Dewan Pers biasanya memerlukan waktu lebih lama, mungkin selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan, bergantung pada sederhana atau peliknya persoalan yang dihadapi.

Ketiga, penyelesaian melalui jalur hukum. Cara penyelesaian terakhir—jika salah satu atau kedua pihak merasa tidak puas dengan rekomendasi dan putusan Dewan Pers atau salah satu pihak atau keduanya tidak berniat meminta bantuan Dewan Pers—dapat ditempuh jalur hukum melalui pengadilan. Seperti dikatakan oleh Komisi I DPR, ini adalah ”jalan paling panjang” yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa: bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini adalah upaya yang paling menelan energi dan biaya.

Keempat, boikot media pers. Selain menyepakati ketiga jalur di atas, Komisi I DPR juga menyarankan alternatif menggunakan social punishment dengan memboikot atau tidak menggubris media pers yang oleh Komisi I DPR disebut ”tidak jujur”. Dengan kata lain, masyarakat dapat melakukan tindakan: tidak membeli media pers cetak seperti surat kabar, tabloid, dan majalah; tidak mendengarkan siaran radio; atau tidak menonton siaran televisi yang ”tidak jujur” atau disengketakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar