Selasa, 27 Mei 2014

Menanti Gagasan Cerdas Jokowi dan JK

Menanti Gagasan Cerdas Jokowi dan JK

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PARA pegiat dan praktisi pendidikan yang kritis sedang menanti gagasan cerdas dari para calon presiden dan wakil presiden tentang kebijakan pendidikan lima tahun ke depan. Sejauh ini statement soal pendidikan lebih banyak datang dari Jokowi-JK, tetapi sayangnya tanpa argumen dan data yang valid sehingga terkesan asal populer. Misalnya, gagasan Jokowi tentang perlunya penambahan jumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) sebagai cara untuk mengurangi pengangguran ialah jelas tanpa data yang memadai. Argumen yang tanpa data dan fakta jelas akan sangat kontraproduktif dengan gagasan Jokowi sendiri tentang revolusi mental.

Saya memperhatikan dengan saksama pembentukan tim sukses dari kedua calon pasangan capres-cawapres. Namun sayangnya, isu pendidikan tidak dipandang sebagai prioritas utama para calon. Struktur tim sukses lebih dekat dengan isu-isu di sekitar ranah politik, keamanan, hukum, sosial, ekonomi, dan agama, tetapi kering dalam mengajak masyarakat untuk ikut terlibat memikirkan nasib dunia pendidikan dalam lima tahun ke depan. Padahal, ada begitu ba nyak masalah serius di bidang pendidikan yang perlu diberi perhatian lebih dan sungguhsungguh oleh kedua pasang capres/cawapres.

Sudah lebih dari 10 tahun pembangunan bidang pendidikan selalu terbelenggu oleh kepentingan politik praktis yang banyak membuang anggaran, tenaga, dan pikiran. Kebijakan pembangunan bidang pendidikan sejauh ini memang cukup membingungkan para guru dan siswa di tingkat sekolah. Contohnya kebijakan ujian nasional yang selalu membawa masalah bagi struktur mental masyarakat yang ternyata tak siap menerima kegagalan. Efek dari kebijakan ujian nasional ternyata sangat dahsyat dari aspek pelemahan karakter siswa karena orientasi belajar-mengajar siswa dan guru terfokus pada kelulusan semata. Bangsa ini seperti enggan belajar tentang nikmatnya kegagalan.

Saya membayangkan menteri pendidikan dan kebudayaan yang akan dipilih oleh pemenang pilpres nanti akan mengevaluasi secara ketat kebijakan soal ujian nasional. Bahkan jika Jokowi dan Jusuf Kalla secara bijaksana mau membuat statement yang cerdas tentang ujian nasional, sangat boleh jadi para guru di Indonesia serta-merta akan memilihnya pada pilpres nanti. Belum lagi siswa kelas 3 SMA yang sudah memiliki hak pilih dan jumlahnya juga jutaan pasti akan memilih pasangan yang bisa menyikapi kebijakan soal ujian secara cerdas.

Selain itu, Jokowi dan JK juga menjadi pusat kampanye hitam karena statement mereka soal program sertifikasi guru. Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa tim sukses kedua pasangan tidak sensitif dalam memberikan informasi yang cerdas tentang, misalnya, hendak dibawa ke mana sesungguhnya kebijakan sertifikasi yang memang sudah terlihat kegagalannya. Kemasan informasi tim sukses kedua calon presiden ini ternyata tidak punya cukup data mengenai program sertifikasi yang sebenarnya. Adapun isu lainnya yang juga jarang disikapi secara cerdas ialah tentang mekanisme penyaluran dan penggunaan dana operasional sekolah dan madrasah yang memiliki banyak sekali kelemahan akut, yang berpotensi menjadi sumber korupsi secara massal para pengelola pendidikan di tingkat sekolah.

Jika pasangan Jokowi-JK serius dengan kata `revolusi mental' yang mengesankan akan ada usaha yang sungguhsungguh dan sangat serius untuk mengubah cara pandang dan perilaku masyara kat, kemasan isu-isu di bidang pendidikan harus disampaikan secara cerdas dan bertanggung jawab. Pasalnya, pendidikan bukan hanya sebatas membentuk karakter melalui jargon revolusi mental, tetapi lebih jauh dari itu ialah bagaimana tim sukses pemenangan yang telah ditunjuk harus memiliki cara pandang yang sama dengan Jokowi, terutama dalam mengevaluasi sekaligus mengkritisi setiap kebijakan pendidikan yang antisosial dan antiperubahan.

Pendidikan harus memiliki roadmap yang jelas dan komprehensif, mulai dari desain perencanaan yang detail hingga proses implementasi yang bisa diukur. Selain itu, mentalitas budaya birokrasi pengelola pendidikan jelas harus menjadi sasaran utama perubahan. Dalam lanskap perubahan budaya, target utama pemerintahan ke depan ialah bagaimana seluruh potensi difokuskan untuk mengubah perilaku masyarakat, bukan hanya sekadar ingin mengubah cara pandang (mindset). Mengubah perilaku akan lebih riil jika dilakukan melalui proses pendidikan yang mencerahkan dan meringankan kondisi kejiwaan guru, anak dan orang tua. Mengapa?

Karena sepanjang sejarah kemanusiaan, pendidikan selalu menjadi domain penting untuk ditelaah dan dikemukakan sebagai dasar terciptanya tatanan sosial yang beradab. Bahkan hampir semua agama menitahkan para penganutnya untuk memiliki keadaban dalam perilaku dan memperlakukan sesama, serta didasari oleh pandangan dan nilai-nilai yang positif. Semua nilai positif pasti berasal dari sikap jiwa atau karakter yang positif. Karena itu, ada benarnya jika Jokowi bilang kita perlu revolusi mental.

Jokowi memang punya kecerdasan yang istimewa dalam merangkai problem yang menerpa birokrasinya. Solusinya juga cerdas dan sangat membumi, seperti beberapa waktu lalu melantik Wali Kota Jakarta Timur di lapangan terbuka, me mutasi pejabat keperpustakaan, menghampiri rakyatnya dengan aura keikhlasan yang tak kenal lelah, serta menjaga determinasi kejujuran dengan sikap yang bersahaja tanpa keinginan untuk memikirkan kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Mungkin tim sukses Jokowi-JK harus terus berkaca pada karakter Jokowi sehingga kepiawaian dalam mengemas informasi tentang pendidikan dapat disampaikan secara cerdas dan bertanggung jawab.

Jika ditilik dari latar belakang pendidikan terakhirnya yang lulusan sarjana kehutanan, tampaknya dia memang ditakdirkan untuk mengurus `hutan' rimba manusia di Indonesia yang kerasukan kerakusan untuk saling memangsa dan menghina. Saya justru membaca dengan jelas maksud tersurat dan tersirat dari Jokowi yang menempatkan Anas Effendi, misalnya, sebagai Kepala Perpustakaan Daerah sebagai pesan pendidikan bagi aparatur lainnya untuk tetap terus belajar, baik sendiri maupun bersama-sama rakyatnya. A governs that learns pantas disandang Jokowi yang mempertontonkan karakter leadership yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kesahajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar