Selasa, 27 Mei 2014

Menguji Netralitas Politik Muhammadiyah

Menguji Netralitas Politik Muhammadiyah

Abdul Mu’ti  ;   Sekretaris PP Muhammadiyah,
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
KORAN SINDO,  26 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Sidang Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung 22– 25 Mei di Samarinda, Kalimantan Timur telah ditutup. Dalam acara yang dihadiri pimpinan wilayah Muhammadiyah se-Indonesia tersebut ditetapkan empat keputusan: akselerasi program, tata tertib pemilihan pimpinan untuk Muktamar ke- 47, visi Indonesia Berkemajuan, dan maklumat kebangsaan untuk pemilihan presiden 2014.

Terkait dengan pemilihan presiden 2014, Muhammadiyah menegaskan dua hal penting. Pertama, bersikap netral dengan tidak memberikan dukungan formal kepada salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden. Kedua, menganjurkan kepada anggotanya untuk tidak golput. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada anggota untuk menentukan pilihan dengan cerdas dan bijaksana berdasarkan pertimbangan rasional dan spiritual.

Tujuh Kriteria Capres

Walaupun bersikap sikap netral, Muhammadiyah memberikan guideline agar dalam menentukan pilihan hendaknya mempertimbangkan terpenuhinya tujuh kriteria. Pertama, berjiwa religius, taat beribadah, dan berintegritas tinggi, sejalan antara kata dan perilaku. Kedua, memiliki visi dan karakter kuat sebagai negarawan, mampu membangun solidaritas kebangsaan, dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni.

Ketiga, berani mengambil keputusan strategis dan memecahkan masalah-masalah krusial bangsa dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara. Kelima, menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman dari dalam dan luar negeri.

Keenam, memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa. Ketujuh, berkomitmen terhadap aspirasi politik umat Islam dan mewujudkan Indonesia yang berkemajuan. Tujuh kriteria tersebut di atas merupakan gambaran kepemimpinan profetik yang menunjukkan komitmen kebangsaan dan keislaman Muhammadiyah.

Dalam dua tahun terakhir, Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi dengan menggugat beberapa undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan bangsa. Mahkamah Konstitusi mengabulkan dua gugatan Muhammadiyah: UU Migas dan UU Rumah Sakit. Dua gugatan lainnya, UU Ormas dan UU Sumber Daya Air, masih menunggu keputusan.

Ujian Netralitas

Sikap netral Muhammadiyah menunjukkan konsistensinya terhadap khittah sebagai gerakan Islam, dakwah amarma’ruf nahi munkar, dan kebudayaan. Di atas kertas, netralitas politik Muhammadiyah sangat jelas. Namun, dalam realitasnya tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk menjaga netralitasnya. Dalam pemilihan presiden 2014, Muhammadiyah menghadapi tiga ujian.

Pertama, faktor Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden Joko Widodo.

Meskipun berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), Jusuf Kalla memiliki kedekatan personal dan politik dengan warga dan elite Muhammadiyah. Pada pemilihan presiden 2009, mayoritas suara Muhammadiyah jelas terkonsentrasi kepada Jusuf Kalla. “Pemihakan” Muhammadiyah kepada Jusuf Kalla berakibat pada dinginnya hubungan Muhammadiyah dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama lima tahun pemerintahannya, Presiden SBY tidak pernah sekalipun menghadiri acara-acara Muhammadiyah.

Kedua, faktor politik partai pendukung pasangan Prabowo Subianto. Selama ini aspirasi politik terbesar warga Muhammadiyah terdistribusi di Partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Secara pribadi, Hatta Rajasa tidak cukup dekat dengan pucuk pimpinan Muhammadiyah. Namun, figur utama PAN seperti Amien Rais dan Zulkifli Hasan memiliki tempat khusus di kalangan warga Muhammadiyah. Pada sisi yang lain, kedekatan Buya Syafii Maarif dengan Megawati juga merupakan faktor tersendiri. Dalam lima tahun terakhir, banyak kader Muhammadiyah yang bergabung dengan PDI Perjuangan dan Baitul Muslimin.

Ketiga, interest pribadi di antara para kader dan sebagian pimpinan Muhammadiyah. Di kedua kubu tim sukses pasangan calon presiden terdapat kader-kader Muhammadiyah. Imam Ad-Daruquthni, ketua umum Pemuda Muhammadiyah 1998–2002, dan beberapa kader lainnya berada di pihak Jokowi-JK. Di lain pihak, Saleh P Daulay, ketua umum Pemuda Muhammadiyah 2011–2014, sangat dekat dengan Hatta Rajasa. Di samping itu, keinginan sebagian elit Muhammadiyah untuk duduk di kursi kabinet meniscayakan kedekatan dengan masing-masing calon.

Muhammadiyah tentu tidak bisa mengasingkan diri dari hiruk-pikuk pesta demokrasi. Muhammadiyah harus ikut menentukan masa depan Indonesia dengan menentukan pilihan. Sampai saat ini Muhammadiyah memang masih solid dan konsisten menjadi jati dirinya sebagai organisasi masyarakat madani yang teguh memainkan politik adiluhung.

Muhammadiyah masih mampu menjaga diri dari godaan dan tarikan politik kekuasaan. Sampai kapan Muhammadiyah bisa bertahan? Semua bergantung pada sikap dewasa dan kearifan pimpinan dan para anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar