Sabtu, 31 Mei 2014

Pembenahan Birokrasi

Pembenahan Birokrasi

 Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEMENTARA mengikuti dua kelompok partai politik mengampanyekan program masing-masing menuju RI-1, belum lama ini pernah disinggung salah satu permasalahan nasional yang mengakibatkan ketidaklancaran pemerintahan kita, yakni masalah birokrasi. Kalau kita mendengar kata itu, yang muncul dalam pikiran suatu organisasi besar, dingin, dengan rutinitas kaku, resmi, dan tertutup. Itulah kesimpulan dalam buku Society Today (1971), yang memuat deretan esai para ahli sosiologi Amerika. Jika ditinjau dari pernyataan itu, bukan birokrasi di Indonesia saja yang memiliki permasalahan.

Tentu semula konsep birokrasi tidak dimaksudkan demikian. Birokrasi modern tumbuh berbarengan dengan bangkitnya sikap modern masyarakat industri yang ingin membentuk pola organisasi resmi untuk kegiatan baik ke dalam maupun ke luar, agar semua tertib dan lancar, tidak amburadul seperti yang sering kita alami. Birokrasi modern membentuk staf administrasi khusus yang terampil dan menguasai bidangnya. Karena itu, latihan berkala bagi anggota-anggotanya menjadi keniscayaan.

Sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920) yang menemukan konsep tentang tipe ideal situasi-situasi sosial, berpendapat bahwa berkembangnya birokrasi modern ialah sebab dan akibat pemikiran formal yang menjadi ciri masyarakat Barat, dan bahwa birokrasi modern ialah cara paling efisien untuk mengorganisasi sejumlah besar orang untuk tugas-tugas yang kompleks.

Weber mengakui ada birokrasi sistem lama. Rupanya ini yang masih sering kita jumpai dalam pemerintahan kita. Sifatnya tentu tidak ideal. Menurut Weber, struktur lama ada di sistem yang bersifat feodal, seperti di zaman kerajaan atau pramodern. Tugas dinomorduakan. Yang dipentingkan orang atau pejabatnya.

Perlu pimpinan tegas dan disiplin

Menurut Weber, agar birokrasi tidak mengarah kepada struktur atau sistem lama, diperlukan aturan tegas, tertulis, dan terjamin dipatuhi semua. Selain aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah teknis, yang diperlukan demi kelancaran dan efisiensi kerja, Weber mensyaratkan agar untuk posisi-posisi tertentu ada ijazah atau diadakan ujian. Pejabat-pejabat hendaknya menjalankan tugas dengan disiplin tanpa mempertimbangkan kepentingan sendiri. Di kita, jelas cara ini akan membantu membasmi penyakit yang selama ini merongrong birokrasi kita, yakni masalah korupsi yang marak di mana-mana di sepanjang jenjang.

Max Weber mungkin terlalu ideal. Dalam perjalanan waktu sejak awal pertumbuhannya konsep birokrasi modern telah mewarisi sejumlah unsur dan konsep lama. Semakin tradisional sifat kepemimpinannya, semakin nyata pergeseran konsepnya. Belum lagi kalau itu menyangkut budaya atau adat istiadat. Misalnya pernah diasumsikan oleh Prof Dr Asim Gunarwan (UI) bahwa orang Jawa tidak transparan dan menghindari konflik terbuka. Kalau yang memegang tampuk pimpinan kebetulan orang-orang Jawa, tentu akan ada asumsi bahwa sikap mereka tidak sesuai dengan dinamika masyarakat modern. Namun, tiap mata uang memiliki dua sisi. Maka Weber menyarankan agar pejabat-pejabat hendaknya menjalankan fungsi dengan disiplin tanpa mempertimbangkan perasaan dan kepentingan pribadi, dan tidak emosional.

Debat yang tak kunjung padam

Belum lama ini ada kekhawatiran tentang keinginan untuk mengadakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Keinginan seperti ini akan membuat bumi bisnis gonjang-ganjing, tetapi keinginan seperti itu akan selalu ada; ibaratnya lilin yang tak pernah berkedip. Khususnya bila kita bicara tentang manfaatnya bagi rakyat banyak. Asumsinya, nasionalisasi serta-merta akan membawa kemaslahatan bersama. Asumsi itu tidak salah, bila konsep pengelolaannya benar dan bukan birokratis.

Kegagalan banyak badan usaha yang dijalankan banyak negara membuktikan bahwa urusan usaha atau bisnis seyogianya jangan dibebankan pada birokrat. Ini terjadi di mana-mana. seperti di negara-negeri sosialis RRC dan Hongaria, maupun di negara-negara maju: Jerman dan Inggris; dan Indonesia sendiri. Pertanyaannya, apakah nasionalisasi yang bisa mengarah ke swastanisasi akan selalu bisa jalan? Siapa yang akan membeli perusahaan yang kemudian terus merugi? Apa akibat perusahaan yang terus merugi?

Pengkajian dan debat mengenai masalah ini tak kunjung selesai. Nasionalisasi yang kemudian menciptakan BUMN di mana pun malahan terbukti menghambat usaha bisnis yang sehat; itu kalau kita belum siap dan cukup terampil untuk menjalankan nasionalisasi. Bila yang disebut nasionalisasi idem dito dengan mengambil alih untuk menjadikannya badan usaha negara, memang harus dikaji ulang. Masalahnya, berbagai pengkajian selama ini membuktikan bahwa usaha bisnis oleh negara, yang ditangani birokrasi, menghambat dinamika bisnis yang sehat.

Belajar dari perjalanan sejarah bangsa ini, kita mulai bisa meraba mengapa masih banyak permasalahan yang harus kita selesaikan seiring dengan datangnya pemerintahan yang baru. Padahal, kita memiliki segudang orang pintar, alam yang bermurah hati, belum lagi kedamaian yang selalu melindungi. Itu bekal luar biasa bagi pemerintahan baru kita.

Maka sungguh melegakan bahwa paling tidak publik diberi gambaran apa-apa yang akan dijalankan dalam platform masing-masing dengan program-program mereka. Namun, walaupun sering dikatakan publik cukup cerdas, jangan tergesa-gesa diharapkan mampu serta-merta menanggulanginya. Justru badan legislatif yang harus didorong menghela kereta negara, dan badan yudikatif diharapkan selalu mengawal. Bila ada kegagalan lagi, bukan salah lembaga eksekutif semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar