Selasa, 27 Mei 2014

Pembetonan Jalan Pantura

Pembetonan Jalan Pantura

Tasroh  ;   Pegiat Banyumas Policy Watch,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
SUARA MERDEKA,  26 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Kementerian PU memutuskan mulai tahun anggaran 2014-2015, pembuatan jalan atau proyek infrastruktur di pantura Jawa diubah dengan pembetonan, bukan lagi pengaspalan. Kementerian itu meyakini cara itu bisa mengakhiri kemelut berkepanjangan berkait kerusakan jalan kendati anggaran untuk memperbaiki terus meningkat (SM, 4/5/14).

Upaya Kementerian PU yang didukung Pemprov Jateng patut diapresiasi. Namun pemangku kepentingan juga perlu memahami bahwa kerusakan jalan di pantura Jateng sebenarnya disebabkan oleh banyak faktor. Tidak saja karena materialnya jelek atau tidak sesuai dengan spesifikasi tapi teknologi yang digunakan pun masih tergolong ’’primitif’’.

Ironisnya, pejabat Kementerian PU dan Pemprov Jateng masih terus menyalahkan tonase berlebih angkutan barang sebagai penyebab utama. Bahkan pemerintah provinsi kemudian memutuskan memanfatkan jembatan timbang untuk mengendalikan muatan angkutan barang. Persoalannya, keberadaan 16 jembatan timbang di Jateng melahirkan beragam ekses ketika dibebani target sebagai sumber PAD.

Sebenarnya, berapa pun berat muatan dan padatnya kendaraan yang melewati jalur pantura Jateng, jika konstruksi dan struktur jalan dibuat dengan teknologi terkini dan dengan memanfaatkan anggaran secara maksimal, jalan itu mustahil cepat rusak. Saya membandingkan dengan jalan-jalan di Jepang yang semuanya dibangun dengan teknologi tinggi.

Semua jalan di Jepang bisa dan boleh dilalui oleh truk besar, berapa pun berat muatan yang diangkut. Pemerintah Jepang meyakini bahwa memanfaatkan jalan merupakan hak asasi warga negara dalam berkendara mengingat mereka sudah membayar pajak. Hasil dari pembayaran pajak itu kemudian digunakan antara lain untuk membangun dan memperbaiki jalan.

Paradigma jalan ’’dikaveling-kaveling’’ menjadi kewenangan desa, kecamatan, kabupaten/kota/provinsi atau negara seperti dianut Indonesia, mendasarkan amanat UU, harus direformasi. Pemerintah hendaknya menyadari sudah jadi kewajibannya untuk membangun dan merawat jalan tanpa diskriminasi sebagai konsekuensi hak rakyat yang membayar pajak.

Pengawasan Bersama

Mendasarkan alasan itu, meskipun kementerian dan pemprov sudah menyiapkan anggaran dan desain, pengerjaan proyek tetap memerlukan pengawasan ekstraketat. Peringatan itu mendasarkan pada beberapa alasan. Pertama; dana proyek infrastruktur kurang dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu proyek tapi justru banyak diselewengkan.

Kedua; sebagian dana proyek merupakan utang luar negeri. Sebanyak 55% dari dana proyek infrastruktur 2013 sebesar Rp 399 triliun (lebih tinggi dari target investasi 2013 sebesar Rp 390,01 triliun) merupakan talangan berbagai pihak, termasuk OCDC yang dikendalikan pemerintah Jepang dan pinjaman Bank Dunia yang dikendalikan Eropa dan AS. Tragisnya, pemanfaatan dana itu belum memenuhi kualifikasi negara donor, khususnya terkait mutu proyek.

Data laporan BPKP (2013) bidang infrastruktur menyebutkan hanya 25% dari 9.235 proyek infrastruktur di Jawa-Sumatra yang memenuhi spesifikasi standar mutu. Itu artinya mutu proyek tidak sesuai dengan harga dan dana yang dikeluarkan pemerintah. Ketiga; banyak proyek tak melibatkan teknologi terkini. Akibatnya, jalan dan jembatan cepat rusak. Selain perbaikan tidak maksimal, 80% bahu jalan tak memiliki saluran/drainase sehingga selalu tergenang pada musim hujan.

Hal itu ikut mempercepat kerusakan jalan ( Dr Sartono, Biang Kerok Kerusakan Jalan, 2007:231). Perlu kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan keberlanjutan eksekusi pembangunan infrastruktur, serta harus diawasi sejak perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi proyek. Upaya itu untuk menghindari praktik busuk kolusi dana infrastruktur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar