Selasa, 27 Mei 2014

Peta Kuasa Capres Kita

Peta Kuasa Capres Kita

Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen komunikasi politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PERSAINGAN kubu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta menuju istana memasuki titik kulminasi. Pascadeklarasi pasangan masing-masing, mereka berebut dukungan di berbagai kantong pemilih. Ekspresi subjektif dan simbolis dukungan terhadap mereka, tumbuh bak cendawan di musim hujan mulai panggung media hingga ruang-ruang keluarga. Pilpres sejatinya adalah sirkulasi elite dan pertarungannya hanya akan menyisakan satu pemenang, yakni pasangan yang paling bisa memaksimalkan diri sebagai `capres kita' dalam persepsi dan tindakan pemilih.

Perspektif koalisi

Koalisi yang akhirnya menem patkan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta dalam kongsi masing-masing merupakan pilihan paling realistis yang dapat mereka capai di antara banyak opsi sebelumnya. Realitas politik memang mengharuskan koalisi berlangsung dalam dua skema, yakni koalisi prapilpres dan pascapilpres.

Prapilpres semua kekuatan potensial berlomba mencari kawan seperjalanan. `Ijab qobul' sebagai mitra dilakukan prapilpres agar menjadi pasangan sah melampaui ambang batas pencapresan (presidential threshold) 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR. Dukungan resmi PDI Per juangan (18,95%), NasDem (6,72%), PKB (9,04%), dan Hanura (5,26%) memastikan Jokowi-JK menjadi petarung sungguhan (the real candidate). Pun demikian dengan Prabowo. Dengan mengantongi dukungan resmi Gerindra (11,81%), Golkar (14,75%), PAN (7,57%), PPP (6,53%), PKS (6,79%), dan PBB (1,46%), Prabowo-Hatta bisa berlaga pada 9 Juli mendatang.

Skema koalisi pascapilpres biasanya terkait dengan pembentukan pemerintahan. Konfigurasi kekuatan kelompok yang memerintah bisa sama dengan prapilpres, tapi bisa juga berubah dinamis. Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), menyebutkan masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Anatomi kekuasaan tetap mengacu ke akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam koalisi politik yang ada.

Saat membangun koalisi, partai politik harusnya ja ngan terlalu asyik dengan perspektif elite, tetapi wajib mempertimbangkan perspektif rakyat. Dalam utak-atik koalisi perspektif elite, yang menjadi pertim bangan prospek biasanya ialah strategic entry yang lazim dikenal dengan istilah struktur peluang (opportunity structure). Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya, Making Vote Count, soal strategic entry menghitung tiga pertimbangan penting kalkulasi politik. 

Pertama, biaya memasuki arena (cost of entry), hal itu terkait dengan siapa pemodal dan berapa yang harus dikeluarkan selama pilpres berlangsung. Kedua, keuntungan-keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Hal itu terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan, seperti jatah menteri dan sejumlah jabatan penting lainnya. Ketiga, adanya kemungkinan-kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Itu terkait dengan paket figur yang dibuat apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak.

Dalam perspektif rakyat, koalisi bukan semata-mata politik dagang sapi, melainkan harus menumbuhkembangkan harapan rakyat. Koalisi semestinya mengusung nilai, keajegan orientasi kekuasaan prorakyat yang tecermin dari platform dan kesungguhan berkoalisi tanpa syarat. Koalisi yang sedari awal sudah terbebani oleh janji bagi-bagi kekuasaan kepada mitra koalisi hanya akan menyandera kandidat dalam utang politik berbiaya tinggi. Kekhawatiran itu mulai terkonfirmasi. Belum juga pertarungan dimulai, sudah menyeruak polemik soal jatah menteri senior atau menteri koordinator utama yang akan diberikan ke elite salah satu partai pendukung.

Para petarung

Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta menarik ditelaah dari segi komposi si kekuatan. Jokowi memiliki nilai plus daya tarik elektoral karena ia merupakan sosok yang saat ini paling tinggi elektabilitasnya. Kelebihan Jokowi didukung partai besar pemenang pemilu legislatif, yakni PDIP, yang secara kelembagaan sedang kondusif setelah partai pimpinan Megawati itu dua periode di luar kekuasaan.

Jokowi juga representasi khalayak kunci dalam konfigurasi politik nasional, yakni Jawa. Kekuatan utama yang memberi bobot tinggi pada sosok jokowi ialah kejujuran, kesederhanaan, dan egalitarianisme. Tentu, Jokowi juga punya pengalaman memimpin birokrasi sebagai Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI.
Bisa dikatakan, Jokowi merupakan elected leader yang teruji dalam sebuah pemilu demokratis sehingga beberapa kali mengantongi legitimate power
Transformasi vertikal kepemimpinan Jokowi dari bawah hingga posisinya sebagai capres memang ideal. Di beberapa negara maju, banyak presiden yang terpilih setelah mereka berpengalaman menjadi gubernur atau wali kota.

Kelemahannya Jokowi secara faktual belum menuntaskan jabatan di DKI. Tentu, akan dijadikan pintu masuk oleh kubu Prabowo-Hatta untuk menyerangnya sebagai sosok tak amanah menjalankan mandat kekuasaan lima tahun. Jokowi juga masih dianggap sebagian kalangan sebagai petarung `setengah matang' dalam pergulatan politik nasional dan internasional karena selama ini ia lebih banyak berurusan dengan persoalan-persoalan di level lokal. Namun, di antara be berapa kelemahan yang ada, pola relasi Jokowi-PDIP yang paling banyak mendapatkan sorotan tajam. Yakni, soal otoritas Jokowi di tengah kebijakan Megawati. Akankah Jokowi mampu memain kan peran mandiri di tengah batasan afiliatif yang kuat di internal PDIP terhadap sosok Megawati?

Posisi JK tentu diharapkan menjadi insentif elektoral bagi Jokowi. JK memiliki pengalaman di birokrasi, terutama saat dia menjadi wapres era SBY periode pertama. Ia bisa diterima di kalangan dunia usaha, memiliki hubungan luas di berbagai organisasi sosial, politik, dan kemasyarakatan. Antara lain ia memiliki basis dukungan di kalangan Golkar, dan sejumlah khalayak kunci ormas Islam. Punya rekam jejak sebagai pengambil risiko, serta cocok dengan Jokowi karena memiliki prototipe sebagai pemimpin sederhana. Dalam konteks geopolitik, JK juga diprediksi bisa menyolidkan dukungan di beberapa kantong pemilih wilayah Indonesia bagian timur.

Prabowo punya nilai lebih dalam citra ketegasan saat memimpin. Bahkan poin itu yang kerap menjadi jualan utama ke pemilih. Ia memiliki jejaring memadai dalam menyinergikan kekuatan politik, ekonomi, militer, dan kemasyarakatan. Prabowo memiliki otoritas penuh dalam mengendalikan partai Gerindra sehingga bisa lebih taktis dan cepat dalam membuat keputusan yang harus diambil dan melibatkan pihak lain.

Kelemahannya, ia masih lekat dengan stigma kasus HAM, terutama kasus 1998. Masih diidentifikasi sebagai capres dengan karakter temperamental sehingga komunikasinya dianggap berjarak. Tercitrakan sebagai calon pemimpin yang dominan menuntut kepastian dan mengurangi dialektika, terlihat dari proses dialog-dialog yang dibangunnya.

Posisi Hatta di beberapa hal dianggap bisa melengkapi Prabowo. Hatta merupakan sosok teknokratik yang punya pengalaman dalam kerja-kerja birokrasi. Ia merupakan sosok yang bisa diterima banyak kalangan, terutama khalayak kunci kekuatan politik Islam. Hatta dianggap punya hubungan baik dan intens dengan negara-negara dan komunitas internasional. Kelemahan Hatta elektabilitas dia rendah dan kerap diidentikkan dengan rezim kekuasaan SBY.

Konvergensi simbolis

Jika kita perhatikan sejak deklarasi tiap kandidat, pola berbeda diperlihatkan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Meskipun mereka sama-sama memakai baju putih sebagai identitas politik, kesan yang ingin mereka bangun berbeda. Jokowi-JK lebih menekankan konsep pure publicity dengan menonjolkan latar alamiah dari konstruksi reputasi kandidat. Hampir keseluruhan identitas pemasaran politik dan gaya Jokowi-JK menekankan unsur kesederhanaan yang me reka lakukan dalam keseharian.

Kesederhanaan itu pula yang dicoba ditonjolkan Jokowi-JK dalam mencitrakan bangunan koalisi mereka dengan PKB, NasDem, dan Hanura. Koalisi tanpa syarat yang didengungkan di panggung depan (front stage) menjadi penguat positioning berbeda dari pola-pola koalisi yang lazimnya dilakukan para elite. Hal lain yang menarik dari Jokwi ialah konsep pemasaran politik yang mencoba mengidentifikasi Jokowi dalam semangat kekitaan. Itu tecermin dari tagline `Jokowi adalah Kita'.

Sebaliknya, Prabowo-Hatta mencoba mengidentikkan semangat bertarung mereka dengan dwitunggal Soekarno-Hatta. Pakaian mereka di tautkan dengan identitas Bung Karno. Bahkan pernak-pernik Soekarno kerap kali mewarnai manajemen kesan Prabowo sejak kampanye terbuka pemilu legislatif. Konsep umum Prabowo-Hatta dapat kita kategorikan sebagai free ride publicity dan menautkan konstruksi citra politiknya dengan kekuatan rujukan (referent power), dalam hal ini Soekarno.

Pemolaan yang dilakukan kedua pasang kandidat itu yang dikenal sebagai konvergensi simbolis. Jhon F Cragan dalam Understanding Communication Theories (1998) mendefinisikan, konvergensi simbolis menjelaskan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Biasanya melalui tiga tahapan, yakni bagaimana seseorang datang berbagi realitas simbolis, dilanjutkan dengan penyediaan makna, emosi serta motivasi bertindak di antara mereka, terakhir pembentukan kesadaran bersama. Siapa petarung yang berpotensi menang? 

Keduanya tentu masih memiliki peluang. Namun, siapa pun kandidat yang memiliki semangat, gaya, dan kesederhanaan dalam membangun kekitaan lebih kuat, akan memiliki peluang menang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar