Rabu, 28 Mei 2014

Revolusi Mental Menuju Peradaban Baru

Revolusi Mental Menuju Peradaban Baru

 Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
REVOLUSI mental belakangan ini menjadi topik yang hangat dan menarik dalam diskursus publik. Menarik karena topik tersebut dilantunkan capres Jokowi. Topik itu tidak saja dikemukakan Jokowi secara lisan dalam sejumlah dialog dan komunikasi politiknya, tetapi juga lewat tulisan. Harian Kompas 10 Mei lalu, misalnya, memuat tulisan Jokowi berjudul Revolusi Mental.

Dalam tulisan tersebut, revolusi mental diartikan sebagai sebuah terobosan budaya politik baru untuk membasmi segala kebobrokan yang ada di Republik. Korupsi dan suap yang merajalela, politik uang yang semakin mencolok, dan berbagai kebobrokan lainnya ialah cermin dari mentalitas bangsa yang tidak berubah dan terus terpuruk itu.

Bahwasanya, revolusi mental menjadi sebuah keharusan supaya dapat terbangun bangsa Indonesia yang terhormat, disegani, dan beradab, serta memiliki harga diri, sebagaimana pernah digelorakan Bung Karno dengan Trisakti-nya, Indonesia berdaulat secara politik, Indonesia berdikari secara ekonomi, dan Indonesia berkepribadian secara sosial-budaya. Bagaimana mengelaborasinya secara lebih luas?

Reformasi kehilangan makna

Revolusi mental yang digemakan Jokowi tidak lain disebabkan suatu kondisi faktual yang menunjukkan reformasi telah kehilangan makna. Reformasi yang diharapkan sebagai instrumen dasar untuk terciptanya perubahan di berbagai bidang kehidupan yang mati pada masa Orde Baru ternyata jauh dari harapan. Visi NKRI seperti ditegaskan UUD ’45 untuk menjaga kesatuan wilayah tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan sosial terus tergerus.

Secara kasatmata, kekuatan reformasi dalam perjalanannya semakin terpecah-pecah dalam egoisme kekuasaan. Kehidupan politik pasca reformasi yang diharapkan memberikan pendidikan yang mencerahkan kehidupan bangsa ternyata terus menjauh dari rel politik yang beretika. Pembunuhan politik santun terjadi di setiap pergelaran demokrasi, pemilu kada, pemilihan legislatif, dan pemilu presiden dan wakil presiden. Politik menghalalkan cara ala Machiavelli dipertontonkan secara telanjang. Suap, korupsi, dan politik uang sudah dianggap begitu lumrah di mana-mana.

Kemudian, yang terlihat ialah pembusukan sistemis yang terpusat pada birokrasi kekuasaan dari pusat hingga daerah. Akibatnya, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilu harus langsung menghadapi pembusukan sistemis, yang membuat mereka tidak berdaya, bahkan ikut menjadi busuk. Niat dan keinginan baik para pemimpin dikalahkan lingkungan dan cara kerja yang buruk dalam birokrasi. Bahkan, siapa pun yang masuk birokrasi yang busuk ikut menjadi busuk karena diharuskan ikut mempraktikkan kebusukan.

Bangsa ini menjadi sulit keluar dari perangkap kebobrokan. Itu diperparah dengan pemimpin yang lahir pascareformasi yang tidak memiliki program kerja berjangka yang terencana dengan baik untuk diimplementasikan. Pemimpin hanya sibuk mengumbar janji, tetapi rakyat tidak tahu bangsa ini keluar dari jeratan pembusukan dan ke arah mana hendak dituju. Perjalanan Indonesia menjadi kehilangan arah, kehilangan wawasan kebangsaan, dan pudarnya nasionalisme.

Hilangnya wawasan dan semangat kebangsaan itulah kemudian menggiring kepribadian bangsa Indonesia jauh dari cita-cita Trisakti yang digelorakan Bung Karno. Yang kita lihat kini, Indonesia tidak lagi berdikari secara ekonomi. Kita hanya bangga menjadi negara kaya akan sumber daya alamnya, tetapi semua itu umumnya dikuasai perusahaan-perusahaan milik asing.

Melalui Pendidikan

Kebobrokan yang dipaparkan tersebut ialah cermin dari buruknya mental bangsa ini. Karena itu, perlu dicatat bahwa bangsa ini bisa maju di berbagai bidang kehidupan; ekonomi, sosial, politik, budaya, jika lebih dulu dibenahi mental dus kehidupan moralnya, karena semua kebusukan berawal dari situ. Hanya, masalahnya ialah bagaimana hal itu diubah, direstorasi, atau dihilangkan secara lebih radikal, atau dalam istilah Jokowi, yaitu secara revolusioner (baca: jalan revolusi?)

Sulit dibayangkan jika perubahan mendasar dilakukan dengan jalan revolusi, dalam hal ini revolusi mental. Namun, menjadi jelas jika revolusi mental yang dimaksudkan di sini sebagai sebuah terobosan budaya politik baru yang akurat untuk menciptakan perubahan-perubahan mendasar terhadap bangsa Indonesia yang dilakukan secara radikal.

Perubahan mental dan perilaku hidup manusia itu, selain tumbuh dari dalam diri manusia sendiri, juga harus didukung faktor dari luar, lingkungan sekitar, keluarga, masyarakat, sekolah, dan seterusnya. Karena itu, faktor pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk menciptakan pembaruan-pembaruan mental masyarakat, terutama generasi muda, demi lenyapnya regenerasi koruptor dan suap.

Pendidikan budi pekerti, karakter, spiritualitas, dan estetika perlu dikembangkan secara serius. Dengan pendidikan tersebut, diharapkan manusia Indonesia dapat mentransformasi diri dan masa depan bangsa. Transformasi diri dan bangsa diawali dengan pendidikan yang menggali kearifan-kearifan tradisional bangsa yang bersumber dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas.

Dalam hal ini, pendidikan estetika menjadi penting karena ia merupakan sarana yang sangat efektif untuk menanamkan karakter dan moralitas untuk menggapai mentalitas yang bersahaja. Pendidikan estetika dapat menolak kejahatan dan melahirkan kelembutan hati, ketenangan jiwa, melalui apresiasi terhadap keindahan.

Jika sudah demikian, bangsa ini ke depan diharapkan dapat lahir dan terpatri sebuah keadaban baru yang menjanjikan Indonesia yang lebih baik, lebih adil dan sejahtera, serta terhormat dan beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar