Sabtu, 31 Mei 2014

Tidak Ada Proyek, Tidak Ada Kegiatan

Tidak Ada Proyek, Tidak Ada Kegiatan

Marzuki Usman  ;   Mantan Ketua Umum ISEI
SINAR HARAPAN,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                                                                          
Sejumlah birokrat bersemangat mengerjakan proyek hanya jika mendapat bagian. Peristiwanya baru terjadi pada Maret 2014. Penulis diundang sahabat karib untuk menghadiri resepsi pembukaan hotel barunya di salah satu pulau yang eksotis di bumi Indonesia. Tidak kepalang tanggung, sahabat karib ini mengundang para orang kaya alias konglomerat Indonesia untuk ikut mensyukuri dibukanya hotel baru berkelas internasional di tanah kelahiran si pemilik hotel itu. Ternyata, di antara teman-teman itu, terdapat enam orang kaya Indonesia, menurut majalah Forbes Indonesia.

Acara pembukaan ini lengkap dihadiri menteri, bapak gubernur, bapak bupati, dan bapak-bapak pejabat-pejabat lain dari provinsi di mana hotel baru itu berada. Bahkan, acara ini dihadiri pula seorang wakil gubernur dari provinsi lain, yang beliau ini juga sehabat dari pemilik hotel itu. Alhasil pestanya meriah, memuaskan, dan berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan pesta ini, semua sumber daya ekonomi yang berada di pulau itu dikerahkan.

Bapak gubernur menaruh harapan besar dengan mulai dibangun hotel berbintang di pulau ini akan menarik para investor domestik dan mancanegara berlomba berinvestasi di sektor pariwisata. Diharapkan pada gilirannya akan menambah jumlah turis domestik dan turis mancanegara berkunjung ke pulau ini.

Kenapa demikian? Karena pulau ini banyak memiliki keunikan-keunikan yang bersifat endemik. Artinya, objek itu, seperti batu-batuan, tanam-tanaman, bahan tambang, dan keindahan lainnya hanya ada di situ di dunia ini. Bahkan, di pulau ini turis-turis bisa menyaksikan pelangi lebih dari satu. Kalau turis lagi bernasib baik, mereka bisa menyaksikan pelangi kembar tiga di atas langit di pulau ini?

Keesokan harinya, oleh si empunya hotel para tamu diajak naik kapal bertamasya menikmati keindahan lautnya yang bening, jernih dan membiru, yang dihiasi batu-batuan meteorit yang tersebar di mana-mana. Ditambah lagi dengan pemandangan ikan-ikan yang berloncat-loncatan dan disertai angin laut yang sepoi-sepoi basah.

Para tamu kemudian diajak mendarat di pulau kecil, tempat berdiri mercusuar yang juga tempat penyu-penyu menitipkan telur-telurnya. Menarik untuk dicatat, ternyata mercusuar itu dibangun 130 tahun yang lalu oleh pemerintah kolonial Belanda.

Penulis membatin andaikata Indonesia tidak dijajah Belanda, apakah mungkin kita memiliki mercusuar di mana-mana di Nusantara ini? Ketika penulis bertanya kepada si penunggu mercusuar itu, kira-kira ada berapa jumlah mercusuar yang dibangun republik setelah merdeka. Dia jawab sekitar 20 persen saja?

Lebih menarik lagi, menurut kepala SKPD Pariwisata dari kabupaten itu, beliau mengeluh sebagai berikut. Dari pihak penguasa pusat, mungkin Kementerian Perhubungan, atau Kementerian Kehutanan, perahu motor dan kapal-kapal dilarang berlabuh ataupun lego jangkar di dekat pulau itu. Inilah hambatan kenapa turis-turis tidak berdatangan ke pulau ini karena tidak boleh dibangun pelabuhan. Di depan pulau ini, ada lagi pulau kecil yang jaraknya sekitar 100 meter saja dari pulau mercusuar.

Penulis lalu mengusulkan bagaimana kalau di dekat pulau kecil itu ditaruh tongkang dan lego jangkar. Dengan demikian, tidak dibangun pelabuhan, tetapi kapal-kapal dan perahu motor dapat menurunkan turis di tongkang itu. Turis dapat memakai perahu rakyat yang didayung ke pulau kecil dan setelah itu memakai perahu dayung lagi ke pulau mercusuar. Jadi, pulau-pulaunya tetap lestari, demikian dengan lautnya.

Aneh tetapi nyata, di kepala SKPD ini tidak menyambut ide ini dengan antusias. Padahal, dia tidak akan mengeluarkan biaya apa-apa, tetapi tujuan untuk meramaikan pulau mercusuar dengan para turis-turis dapat tercapai. Keheranan penulis ini lalu dapat dijawab seorang aktivis LSM yang peduli pada kelestarian alam. Dia berkata, “Iya bapak, ide bapak bagus sekali”. Namun, si kepala SKPD Pariwisata itu tidak berbahagia. Kenapa? Karena dia tidak bisa memiliki proyek. Hal ini berarti kalau tidak ada proyek berarti tidak akan ada kegiatan. Lalu, dia akan mendapat apa? Atau bahasa terangnya dengan usul bapak itu, si SKPD bertanya, gua dapat apa alias GDA?

Kesimpulannya, kalau perilaku para birokrat Indonesia kebanyakan seperti ini, pertanyaannya, kapanlah Indonesia ekonominya bisa menyusul Tiongkok? Jawabnya seperti di pesantren-pesantren, “Wallahuaklan bissawab!” Artinya, Allah yang lebih tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar