Rabu, 25 Juni 2014

Agenda Pembangunan Pendidikan

SUMBANGAN PEMIKIRAN PILPRES 2014

Agenda Pembangunan Pendidikan

Amich Alhumami ;  Antropolog; Meraih PhD dari The University of Sussex, Inggris
MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
PENDIDIKAN berperan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberi kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Tak diragukan, pendidikan sangat penting bagi ikhtiar membangun manusia Indonesia berkualitas, yang ditandai peningkatan kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan penduduk Indonesia. Pendidikan merupakan medium yang baik untuk membangun karakter dan memperkuat jati diri bangsa, yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan, moralitas publik, dan etika sosial sebagai basis untuk membangun peradaban bangsa yang unggul. Pendidikan merupakan wahana strategis untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, tecermin pada membaiknya tingkat kesejahteraan, menurunnya kemiskinan, dan terbukanya berbagai pilihan dan kesempatan bagi setiap warga negara untuk dapat mengembangkan segenap potensi diri.

Di dalam UUD 1945, pemerintah diberi mandat untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas yang dapat diakses segenap warga negara sebagai wujud pemenuhan hak-hak dasar bagi seluruh penduduk. Selain itu, pendidikan dipandang sangat penting karena memiliki eksternalitas ekonomi sangat tinggi, berdampak pada proses transformasi sosial-budayapolitik, dan berkontribusi signifi kan pada upaya membangun bangsa yang maju, modern, dan bermartabat.

Mengingat sedemikian strategis masalah pendidikan, sudah semestinya pendidikan menjadi prioritas dalam agenda pembangunan yang akan dijalankan pemerintahan mendatang. Sekadar menyebut sebagian saja, berikut ialah lima agenda pembangunan pendidikan yang perlu mendapat perhatian serius.

Agenda 1: pemerataan pendidikan

Pembangunan pendidikan yang dijalankan selama ini telah berhasil memperbaiki tingkat pendidikan penduduk usia sekolah, yang tecermin pada sejumlah indikator. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat signifikan dari 7,2 tahun (2004) menjadi 8,1 tahun (2012). Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga mengalami peningkatan dari 92,6% (2009) peningkatan dari 92,6% (2009) menjadi 93,3% (2012). Pembangunan pendidikan juga telah berhasil meningkatkan akses anak-anak usia sekolah untuk memperoleh layanan pendidikan, yang tecermin pada tingkat partisipasi pendidikan.

Dalam kurun waktu 2004-2012, angka partisipasi murni (APM) SD/MI/Paket A meningkat dari 94,1% (2004) menjadi 95,8% (2012). Pada periode yang sama, APM SMP/MTs/Paket B meningkat dari 65,2% menjadi 78,8%, APK SMA/MA/SMK/ Paket C meningkat dari 48,3% menjadi 78,7%, dan APK PT meningkat dari 14,6% menjadi 27,9%. Partisipasi pendidikan yang secara konstan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menunjukkan pemerintah telah berhasil memenuhi hak dasar setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan.

Meskipun berbagai indikator pembangunan pendidikan menunjukkan hasil yang baik, masih dijumpai masalah kesenjangan partisipasi pendidikan terutama antarkelompok sosial-ekonomi dan antarwilayah. Layanan pendidikan belum sepenuhnya dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat miskin jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya dalam memperoleh layanan pendidikan. Kesenjangan partisipasi pendidikan terutama terjadi pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, yang tecermin pada angka partisipasi sekolah (APS).

Data Susenas (2012) menunjukkan ada perbedaan APS pada kelompok umur 7-12 tahun (setara SD/MI) yang berasal dari keluarga kaya dan miskin meskipun tidak cukup berarti. Perbedaan APS yang sangat signifikan di antara kedua kelompok masyarakat tersebut mulai terlihat pada kelompok umur 13-15 tahun (setara SMP/MTs) dan semakin mencolok--bahkan mencengangkan--pada kelompok umur 16-18 tahun (setara SMA/SMK/MA). APS pada kelompok umur 16-18 tahun dari kuantil 1 (20% kelompok masyarakat paling miskin) baru mencapai 42,9%, sedangkan pada kuantil 5 (20% kelompok masyarakat paling kaya) sudah mencapai 75,3%. Kesenjangan partisipasi pendidikan dengan angka yang sangat fantastis terlihat pada kelompok umur 19-24 tahun (setara perguruan tinggi), masing-masing 4,8% dan 33,1%.

Kesenjangan partisipasi pendidikan antarwilayah juga terlihat sangat nyata, bahkan antarkabupaten di dalam satu provinsi. Kesenjangan partisipasi pendidikan antarwilayah yang paling mencolok terutama di provinsi dan kabupaten di wilayah timur Indonesia. Rata-rata APM SMP/sederajat di Yogyakarta sudah mencapai sekitar 85%, tetapi di Papua, Papua Barat, dan NTT baru sekitar 60%, 62%, dan 63% saja. Bahkan kesenjangan antarkabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sangat tajam; ada kabupaten dengan capaian APM SMP/ sederajat sudah di atas 95%, tetapi di kabupaten lain baru sekitar 42% dan 59% saja.

Untuk mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut, upaya penting yang harus dilakukan ialah meningkatkan perluasan akses dan peme rataan pendidikan yang berkualitas. Merujuk pada amanat konstitusi, pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang wajib dipenuhi pemerintah. Untuk itu, pendidikan harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan sehingga semua warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan tanpa diskriminasi.

Dalam konteks itu, tantangan paling berat ialah menyediakan layanan pendidikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, terdepan, termiskin, dan perbatasan. Meningkatkan pemerataan layanan pendidikan harus diletakkan baik dalam konteks keterjangkauan kewilayahan (geographic affordability) maupun keterjangkauan keuangan (financial, economic affordability). Maka, kebijakan pembangunan pendidikan harus diarahkan untuk mengatasi masalah tersebut agar layanan pendidikan dapat dinikmati semua warga negara tanpa membedakan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan geografi.

Agenda 2: pendidikan menengah

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dinilai berhasil dengan lulusan SMP/MTs yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yang mengharuskan pemerintah untuk dapat menyediakan layanan pendidikan pada jenjang menengah. Untuk itu, pada 2013 pendidikan menengah universal (PMU) --kedua pasangan capres/cawapres: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta mengusung program Wajib Belajar 12 Tahun--mulai dikenalkan dan semestinya terus  dilanjutkan sebagai bagian dari agenda pembangunan pendidikan, yang bertujuan memperluas pemerataan layanan pendidikan menengah (SMA, SMK, MA). PMU sangat strategis untuk memenuhi dua hal: 1) menciptakan lapisan critical mass dalam cakupan yang lebih luas dan 2) mempersiapkan penduduk usia produktif memasuki masa transisi antara meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi atau langsung masuk pasar kerja.

Menurut data Sakernas (Mei 2013), komposisi tenaga kerja Indonesia menurut pendidikan ialah SD/kurang 44,01%, SMP 17,31%, SMA 15,09%, SMK 8,45%, diploma 2,47%, dan universitas 6,40%. Mengingat mayoritas tenaga kerja masih berpendidikan tingkat dasar (SD/SMP), tentu saja mereka tidak punya keterampilan. Sementara itu, porsi yang tidak terlalu besar tergolong semiterampil dan terampil, yang berpendidikan tingkat menengah dan tinggi. Namun, patut dicermati, masih terdapat lebih dari 50% lulusan SMA/MA/ SMK bekerja dengan kategori unskilled job dan lebih dari 30% berkategori semi-skilled job. Tak mengherankan, persepsi para pemberi kerja terhadap kualitas lulusan sekolah menengah sebagian besar buruk dan cukup, dan sedikit saja yang mengatakan sangat baik.

Dalam konteks demikian, pendidikan menengah diperlukan untuk mempersiapkan anak-anak usia sekolah dengan landasan keilmuan yang baik agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan menengah berkualitas dapat memberi kontribusi pada upaya meningkatkan daya saing dan membangun kualitas bangsa. Bagi penduduk usia muda yang memilih untuk memasuki pasar kerja, pendidikan menengah akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik sehingga diharapkan lebih produktif di dunia kerja. 

Penduduk usia muda merupakan aset ekonomi sangat potensial untuk menopang produktivitas nasional, terutama terkait dengan pemanfaatan bonus demografi. Sangat jelas, pendidikan menengah merupakan landasan sosial yang kuat bagi keberhasilan pembangunan sosial-ekonomi. Untuk itu, kebijakan strategis diperlukan dalam upaya mengembangkan pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar