Rabu, 25 Juni 2014

Beragama Minus Toleransi

Beragama Minus Toleransi

Joko Riyanto  ;   Koordinator Riset
Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
SINAR HARAPAN, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan tampaknya masih hanya sebatas teks dalam konstitusi, tanpa ada implementasi yang sebenarnya.

Buktinya, Kamis (29/5) malam, jemaat kristiani Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, yang beribadat Rosario dalam rangka penghormatan terhadap Bunda Maria, diserang sekelompok orang. Sejumlah jemaat dan seorang wartawan terluka akibat dipukuli secara membabi buta.

Kemudian pada Minggu (1/6) siang, puluhan orang merusak sebuah rumah yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah umat Kristen di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY.

Senin, (2/6), 16 perwakilan dari Badan Kerja Sama Antar-Gereja Cianjur, Jawa Barat (Jabar), mengadukan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan Pemkab Cianjur ke Komnas HAM. Bahkan, penyerangan rumah ibadah di Dusun Pangukan, DIY pada 1 Juni berbuntut pahit. Pendeta Nico Lomboan, pemilik rumah ibadah tersebut, ditersangkakan polisi atas tudingan penyalahgunaan izin bangunan (Tajuk Rencana Sinar Harapan, 19/6/2014).

Peristiwa tersebut jelas menjadi ancaman serius bagi intoleransi atas nama agama. Kita tentu heran, kenapa bangsa yang dikenal religius dan plural masih terjadi kekerasan bernuansa agama? Padahal, sudah sekian lama kita hidup bersama dalam bingkai kerukunan dan gotong-royong yang menjadi budaya bangsa.

Namun, kenyataannya masih ada saja orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya dan melakukan kekerasan bernuansa agama atas orang atau kelompok lain. Kondisi ini menyiratkan keberagamaan minus toleransi.

Kekerasan bernunasa agama memberi bukti bahwa persoalan keagamaan di negeri kita masih rapuh. Sikap toleransi hanya sebatas wacana dan sepi implementasi kerukunan hidup bergama.

Kelompok mayoritas masih menganggap dirinya paling benar sehingga sering terjadi penindasan, pengekangan, dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok minoritas. Belum lagi, pelarangan terhadap pembangunan rumah ibadah dan menjalankan keyakinan beragama. Negara juga belum hadir dalam memberikan jaminan keamanan dan keselamatan.

Posisi dan sikap negara sering ambigu terhadap persoalan kekerasan bernuansa agama. Satu sisi negara menjamin kebebasan berkeyakinan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, Pasal 28 E ayat (2). Namun, di sisi lain, agama tidak sekadar mengabaikan konstitusi tersebut.

Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, negara justru gagal dalam melindungi warganya bahkan terkesan membiarkan hak-hak beragama dan berkeyakinan dilanggar tanpa ada tindakan. Nafsu negara untuk “bersekongkol” dengan dimensi agama sangat besar potensinya. Akibatnya, hubungan negara dan agama menjadi sirna dan berkelit-kelindang.

Sebenarnya, setiap agama tidak menganjurkan dan mengajarkan tentang kekerasan. Sikap saling menghormati, menghargai, kerja sama, dan cinta kasih adalah pesan sebenarnya yang bisa merekatkan agama-agama tersebut dalam kerukunan yang dilandasi sikap toleransi.

Dalam kenyataan tidak seperti itu. Pesan itu seolah hanya menjadi dogma agama yang dikeramatkan tanpa diimplementasikan dalam kehidupan yang dapat dijalankan dalam perbuatan dan sikap keberagamaan.

Kita juga paham semua agama mengakui kemajemukan (pluralitas). Pluralisme adalah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri atas satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya (Ahmad Fuad Fanani, 2010).

Perlu ditegaskan, setiap individu di negeri ini memiliki hak kemerdekaan untuk beragama dan beribadah. Negeri ini memang harus bebas dari aksi dan tindakan intolernasi beragama. Jangan ada lagi satu atau kelompok mana pun yang memaksakan kehendak dan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain.

Hal ini selaras dengan sikap toleransi dan nasionalisme yang sudah terikat sejak bangsa ini berdiri. Semangat kebangsaan juga berarti mengedepankan saling toleransi yang di dalamnya dilandasi kekuatan agama dan budaya yang menjadi ruh para pendiri bangsa.

Penggabungan Motif

M Dawam Rahardjo, dalam pengantar buku Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama karya Irwan Masduqi (2011), mengatakan ketidaktoleranan dalam agama bisa timbul karena terjadinya penggabungan antara motif iman dan kekuasaan. Karena itu, sekularisme sebenarnya memberi pintu keluar ke arah toleransi.

Sebaliknya, persekutuan agama dan politik cenderung membawa kepada absolutisme dan kekerasan atas nama agama.

Paradoksnya: bukan keprofanan yang memicu kekerasan, melainkan justru kesakralan yang memicu kekerasan. Dari wacana ini, rakyat Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa, teks-teks keagamaan sangat berpotensi disalahtafsirkan guna menjustifikasi kepentingan politis dan ideologis.

Peristiwa kekerasan dan intoleransi umat beragama sangat bertentangan dengan pluralitas dan toleransi agama. Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya.

Namun, rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan perusakan dan penganiayaan terhadap penganut keyakinan lain. Kebedaan (yang menjadi fitrah umat manusia) itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dengan cara itu, kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu tiap orang.

Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan), suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka.

Inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik, yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Mungkin sudah saatnya kita mengangkat masalah pelik keagamaan kita yang mempromosikan nilai-nilai pluralisme tanpa mendikte, sehingga masyarakat terdidik untuk semakin matang melihat perbedaan.

Kita juga berharap pemerintah bersama kekuatan masyarakat sipil bekerja keras memperpendek jarak ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat. Tak jarang konflik sosial yang memanfaatkan identitas keagamaan muncul sebagai akibat tidak terdistribusikannya sumber daya ekonomi, sosial, dan politik secara adil.

Ketimpangan tersebut diperparah dengan pembelahan berbasis agama. Kita juga berharap presiden dan aparat hukum bersikap tegas dan sungguh-sungguh menindak para pelaku kekerasan bernuansa agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar