Sabtu, 28 Juni 2014

Berpolitik di Hotel

Berpolitik di Hotel

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DEBAT calon presiden berlangsung di hotel di Jakarta, 15 Juni 2014. Sehari sebelum acara debat, Joko Widodo rapat dengan tim ahli di hotel di Solo. Deklarasi dukungan kaum politik dari DPR untuk Prabowo Subianto berlangsung di hotel di Jakarta, 16 Juni 2014. Berpolitik di hotel telah menjadi kelaziman. Hotel tak cuma berfungsi untuk penginapan, rapat bisnis, konser musik, atau acara pernikahan.

Kini di hotel, kaum politik menjalankan peristiwa-peristiwa heboh. Hotel makin ”memengaruhi” siasat politisasi ruang. Ingat, hari-hari menjelang dan sesudah pemilu legislatif, 9 April 2014, sekian partai politik mengadakan pelbagai acara besar di hotel: muskernas, rapimnas, atau rakornas. Hotel menjadi ruang berpolitik dengan pelbagai fasilitas dan permainan simbol untuk dikomunikasikan ke publik.

Kita mulai mendapat kumpulan imajinasi tentang hotel sebagai ruang berpolitik bagi kaum berpakaian rapi, perlente, berduit, dan terkenal. Pengertian politik bergerak ke ruang elitis. Hotel tentu memiliki pelbagai fasilitas untuk memudahkan agenda-agenda politik. Di hotel, orang-orang datang berpredikat ”tamu” atau ”pengunjung”. Peristiwa politik di hotel berlangsung dengan seleksi dan undangan. Hotel megah dan besar memberi pengaruh atas pembentukan imajinasi politik bereferensi ruangan mewah, makanan mahal, pesona tata suara, dan lampu terang.

Di Indonesia, berpolitik di hotel sudah berlangsung sejak awal abad XIX.  Semula, hotel adalah tempat bagi pelancong atau musafir untuk menginap dalam agenda pelesiran dan pengembaraan. Di hotel, orang istirahat, tidur, dan makan. Peristiwa-peristiwa di hotel bertambah sesuai perubahan zaman. Hotel perlahan menjadi ruang politik. Agenda-agenda kolonial digerakkan dengan pertemuan atau rapat di hotel.

Alkisah, R Goenawan mengelola Hotel Medan Prijaji (Batavia) sebagai bukti kemauan mengembuskan gerakan politik Islam dan resistansi terhadap kolonialisme. Hotel adalah ruang propaganda dan semaian gagasan-gagasan politik berbarengan pembesaran Sarekat Islam (Takashi Shiraishi, 1997). Politik kolonial ditandingi gerakan politik melalui pemaknaan hotel.

Pengertian Modern

Makna politis hotel muncul akibat para pedagang bumiputera beragama Islam dari pelbagai daerah sering menginap saat menjalankan bisnis dan pertemuan politik di Batavia.  Hotel sanggup menggerakkan pengertian-pengertian modern tentang kota, politik, agama, ekonomi, nasionalisme.

Sejarah politik di Batavia tentu tak bisa melupakan keberadaan Hotel Des Indies. Konon, Des Indies adalah hotel terbaik di Batavia, sejak abad XIX. Jean Rocher dan Iwan Santosa (2013) mencatat bahwa pelbagai peristiwa penting pernah terjadi di Des Indies, mulai urusan makan sampai politik. Ingat, masa 1940-an, Des Indies menjadi saksi sejarah, tempat pemahkotaan Sultan Hamengku Buwono IX, raja dari Kesultanan Yogyakarta. Kaum politik Indonesia pun menginap dan mengadakan rapat-rapat politik di Des Indies menjelang 17 Agustus 1945. Pemaknaan politik makin menjadikan hotel tersebut sebagai referensi memori Indonesia.

Kisah Hotel Des Indies perlahan surut, sejak berganti nama menjadi Duta Indonesia. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia dan situasi politik-ekonomi menghendaki ada hotel-hotel besar dan berfasilitas komplet. Legenda Hotel Des Indies mulai kehilangan pikat dan pamor, tak menjadi rujukan utama mulai masa 1950-an. Memori makin hilang akibat ”penghancuran” Hotel Des Indies, berganti menjadi pusat perbelanjaan bernama Duta Merlin.

Soekarno justru membuat legenda baru dengan pendirian Hotel Indonesia, 1962. Soekarno ingin mengisahkan Indonesia sebagai negeri bermartabat. Ambisi dibuktikan melalui pembangunan hotel sebagai simbol modernitas dan politik. Arifin Pasaribu (2014) mencatat bahwa pembangunan Hotel Indonesia adalah realisasi dari impian Soekarno agar Indonesia memiliki hotel bertaraf internasional: tempat untuk konferensi, jamuan makan, penginapan, dan pertemuan politik.

Keberadaan hotel menjadi representasi dari kesanggupan Indonesia membuat agenda-agenda besar, dari pariwisata sampai politik. Pembangunan Hotel Indonesia menggunakan dana pampasan perang dari Jepang, pembuktian dari narasi Indonesia di zaman revolusi. Hotel Indonesia diresmikan oleh Soekarno pada 5 Agustus 1962 dengan mengucap pidato berjudul ‘’Tundjukkanlah Kepribadian Indonesia’’. Hotel turut menentukan pengisahan Indonesia di mata dunia.

Di Hotel Indonesia, Soekarno mengumumkan pandangan seni sebagai representasi keindonesiaan. Soekarno meminta ada prasasti mencantumkan puisi gubahan Ramadhan KH. Puisi untuk merangsang imajinasi tentang kepribadian Indonesia dengan buaian kata dan makna: Mega-mega jang disentuh, pudar karena keagungan kerdja/ Badai-badai jang ditentang njisih karena keagungan djiwa/ Tiadalah kebahagiaan sebesar kebahagiaan selesai kerdja/ Tiadalah kelapangan sebesar kelapangan kemenangan djiwa. Hotel mirip halaman-halaman imajinasi, ruang pembentukan Indonesia.

Memori politik Indonesia mulai berpusat di hotel, mengimbuhi peran rumah, sekolah, asrama, gedung pertemuan, atau lapangan. Sejak awal abad XX, agenda-agenda kaum pergerakan nasionalisme sering berlangsung di ruang-ruang populis dan sederhana sebelum memusat ke hotel. Kesadaran ruang menentukan bahasa dan sikap berpolitik, menerangkan posisi kaum politik di mata publik. Sekarang, sejarah baru tentang politik Indonesia tercipta di hotel. Berpolitik di hotel memendarkan imajinasi elitis untuk Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar