Sabtu, 28 Juni 2014

Damai dalam Perbedaan

Damai dalam Perbedaan

Yulius Aris Widiantoro  ;   Dosen Universitas Multimedia Nusantara
KOMPAS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PREMIS yang menyatakan tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan tampaknya menjadi tidak relevan bila kita hadapkan dengan situasi kehidupan beragama di Indonesia. Persentase kekerasan terbesar justru dipromotori oleh orang atau kelompok yang mengatasnamakan agama. Kekerasan berbasis agama menjadi bahaya laten di negeri ini, apalagi bila pemerintah membiarkan ini terus terjadi.

Organisasi kemasyarakatan dan kekerasan sepertinya menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual keagamaan masa kini. Ironis memang, agama yang diharapkan mampu mewujudkan peradaban justru melegalkan pembiadaban.
Audifax dalam bukunya, Semiotika Tuhan (2007: 102), menyatakan bahwa pesan yang berasal dari Tuhan adalah pesan kehidupan dan bukan kematian atau perang. Kalau ada sejarah perang, maka perlu digarisbawahi bahwa perang pada masa itu harus diletakkan secara kontekstual dan bukan dipahami secara tekstual.

Kegagalan kita selama ini adalah kita hanya memahami kitab suci secara tekstual, sehingga situasi dan kondisi masyarakat pada era kini disamaratakan dengan masa lalu dengan rentang waktu yang cukup jauh.

Penafsiran yang simetris sering membuat kita seolah hidup dalam masa lalu. Agama telah gagal dalam menghadirkan kedamaian dan kententeraman antarsesama. Agama dipahami secara parsial karena agama lupa menyampaikan persoalan humanitas kepada umatnya.

Divinitas dan humanitas dimengerti sebagai entitas yang berbeda dan terpisah. Tuhan sebagai realitas tertinggi, apabila tidak disertai penghayatan hanya memberikan ilusi keimanan (Audifax, 2007:103).

Tuhan harus dilepaskan dari kerangka dogmatis, sehingga wajah Tuhan menjadi lebih humanis dan bersahabat.

Bernalar

Bertanya dan mempertanyakan suatu keyakinan dianggap tabu dalam beragama, sehingga nalar kita kerap dilucuti dan umat hanya menjadi mesin produksi dominasi kebenaran.

Pendek kata dalam beragama tidak ada tempat bagi akal. Akal dituduh mereduksi otentisitas keimanan. Legalisme iman semacam inilah yang pada akhirnya membuat evolusi kesadaran umat menjadi terlambat dan stagnan.

Sungguh ironis, pengetahuan tentang agama yang tidak diimbangi dengan pemahaman diri dan pencerahan budi (iluminasi) akan mudah dipolitisasi. Akibatnya, dunia penghayatan kita (lebenswelt) menjadi harapan kosong.
Kita tidak boleh tinggal diam terhadap fenomena buruk ini, karena akan menjadi wabah mematikan bagi masyarakat kita. Aparat/penegak hukum kita terkesan gagap menangani anarkisme atas nama agama, padahal secara kasatmata tindakan itu inkonstitusional.

Seharusnya aparat bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang identik dengan kekerasan, apalagi mengatasnamakan agama dan Tuhan. Jangan terlampau banyak membangun opini, tetapi minim kinerja.

Masyarakat khususnya korban menggaransikan keamanan pada aparat, dan oleh karena itu kita menunggu hasil kerja penegak hukum untuk memberi rasa aman dan nyaman.

Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kaum intelektual perlu bekerja sama dan bertanggung jawab menginternalisasikan prinsip-prinsip hidup yang humanis demi terciptanya suatu keteraturan (kosmos).

Tumbuhkan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk monopluralis, di satu pihak adalah individu dengan kekhasannya yang unik, tetapi di lain pihak ia adalah pribadi yang tidak bisa memungkiri kodratnya sebagai makhluk yang memerlukan kehadiran sesamanya. Dengan kata lain manusia secara hakiki bukanlah individu yang bisa mencukupi dirinya sendiri (James Garvey: 2012, 7).

Kesimpulan

Fenomena kekerasan atas nama agama mengindikasikan bahwa kehidupan sosial dan penegakan hukum di negeri kita ini masih sangat rapuh.

Masyarakat menjadi tidak nyaman hidup dalam lingkungannya, merasa gelisah, dan waswas, apalagi aparat kita lamban dalam menangani masalah sampai level bawah. Kita perlu mengakui juga bahwa naluri kita hampir tidak pernah diimbangi dengan penghayatan akan kehidupan bersama.

Sebagian besar masyarakat kita gugup dan gagap menerima kemajuan zaman sebagai suatu keniscayaan.

Akibatnya, cara bertindak yang rasional tergerus oleh sikap emosional. Padahal, keberadaan Tuhan bukan untuk dibela, karena Tuhan yang butuh pembelaan adalah Tuhan yang absurd.

Semua elemen masyarakat yang cinta damai sebaiknya memang berkonsolidasi untuk memperkuat persatuan dan menegakkan kebinekaan kita.

Malu rasanya sudah merdeka hampir 69 tahun, tetapi sesama anak bangsa masih hidup saling curiga. Sulit bagi bangsa kita untuk maju apabila kita tidak belajar menghargai perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar