Kamis, 26 Juni 2014

Dilema Solusi Irak

Dilema Solusi Irak

Ibnu Burdah  ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen F Adab UIN Sunan Kalijaga
KOMPAS, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
AMBISI kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bersama milisi Sunni garis keras untuk menguasai Irak saat ini adalah bencana besar yang bisa membawa rentetan bencana lain yang jauh lebih besar lagi di seluruh kawasan dalam waktu lama. Patut disesalkan, di tengah beratnya persoalan itu, semua solusi yang tersedia di tangan Pemerintah Irak saat ini mengandung dilema yang rumit dan pelik. Itu pun tak mudah dilaksanakan di lapangan. Karena itu, Pemerintah Irak tampak sekali ragu dalam mengambil keputusan untuk menghadapi kelompok yang sebenarnya juga sedang berperang di Suriah tersebut.

Solusi nasional-kawasan

Sebagian pemimpin dan tokoh berpengaruh di negeri itu menyerukan, solusi apa pun yang diambil pemerintahan Maliki harus bertumpu pada ”kedaulatan Irak”. Konkretnya, Pemerintah Irak tidak perlu melibatkan kekuatan asing, baik AS, Iran, Turki, maupun negara-negara besar lain di kawasan ini, dalam penyelesaian masalah tersebut.

Lalu, langkah konkret apa dalam kerangka nasional yang bisa dilakukan untuk menghadapi kekuatan teroris yang membonceng milisi Sunni Irak, eks pasukan Saddam Hussein, dan para milisi suku anti Syiah yang sudah membelah Irak ini? Apakah jalan negosiasi di meja perundingan?

Tampaknya belum ada kondisi yang bisa memaksa kelompok- kelompok garis keras itu bersedia maju dalam perundingan. Ajakan berunding dari Pemerintah Irak bahkan bisa diartikan kelompok itu sebagai bukti kemenangan mereka. Kelompok garis keras ini akan berpandangan, Pemerintah Irak sudah tak berdaya menghadapi mereka.

Karena itu, negosiasi dalam waktu dekat ini kemungkinan sulit terwujud. Lalu solusi apa yang bisa dilakukan tanpa adanya keterlibatan pihak ”asing”?

Inilah yang terjadi sekarang. Tentara Irak yang loyal kepada pemerintahan Syiah bersatu dengan para milisi Syiah dan kekuatan suku untuk menghadapi teroris plus kelompok Sunni. Fatwa untuk berjihad dari tokoh Syiah Irak, Ali al-Sistani, telah dikumandangkan dan posko- posko perekrutan rakyat Irak telah didirikan. Rakyat Irak menyambut undangan jihad itu dengan berbondong-bondong mendaftarkan diri di pos sukarelawan. Akan tetapi, sambutan itu hanya datang dari warga Syiah, sementara warga Sunni menolak, bahkan cenderung mendukung para teroris itu.

Para pengikut Sunni, sebagaimana kebanyakan penduduk Mosul, berpihak kepada para pemberontak beserta para teroris tersebut. Mereka merasa mengalami nasib yang sama di bawah pemerintahan Syiah. Dalam situasi sekarang, sentimen yang ada di lapangan adalah sentimen sektarian, kelompok Sunni versus kelompok Syiah.

Inilah dilema solusi ”nasional” Irak itu. Solusi nasional itu tak lain adalah solusi perang sektarian antara warga Sunni Irak dan warga Syiah Irak. Padahal, inilah yang paling dikhawatirkan terjadi di Irak sejak hengkangnya tentara AS pada 2004.

Solusi lain adalah dengan melibatkan aktor kawasan atau internasional. Opsi ini mengandung dilema tak kalah besar. Pemerintah Irak telah menyatakan secara terbuka permohonannya kepada AS untuk membantu menghadapi kelompok garis keras-Sunni ini. AS sendiri sangat berkepentingan untuk menghentikan laju kelompok teroris terkuat dan terkaya dari sayap tandzim Al Qaeda itu. Mereka tak ingin kawasan Timur Tengah kacau yang ujungnya aliran minyak ke negeri mereka tersendat. Jelas, itu pertaruhan terlalu besar bagi kepentingan nasional AS dan negara-negara Barat lain.

Akan tetapi, AS tak ingin kembali ke Irak. Pengorbanan mereka sudah terlalu besar, sementara tingkat keberhasilannya kecil. Persoalan Irak sekarang, sebagaimana dikatakan Presiden AS Barack Obama, adalah perpecahan pemimpin sekte Syiah dan Sunni. Obama meminta syarat adanya kesepakatan dari para pemimpin Irak yang bertikai untuk mengabulkan permintaan bantuan serangan udara. Pemberian bantuan itu pun dilakukan secara terbatas.

AS tentu tak mau lagi dipandang sebagai biang dari kekacauan di Irak sebagaimana dituduhkan selama ini. Apalagi sentimen anti AS itu sangat kuat di Irak, baik di kalangan Sunni maupun Syiah. Keterlibatan AS dalam persoalan ini jelas begitu dilematis, baik bagi AS sendiri maupun Pemerintah Irak.

Solusi melibatkan kekuatan besar kawasan juga tak kalah dilematis. Iran telah menyatakan sanggup memberikan bantuan penuh kepada Irak untuk menghadapi ”teroris Sunni” ini. Pasukan Iran dikabarkan telah bergerak ke perbatasan Irak meski belum ada permintaan terbuka dari pemerintahan Maliki. Dan, di atas kertas, pasukan Iran diperkirakan mampu melibas kekuatan NIIS dan pendukungnya . Apalagi kesanggupan Iran itu biasanya juga langsung diamini Hizbullah yang memiliki pasukan tempur tak kalah mentereng.

Perang sektarian

Akan tetapi, keterlibatan Iran dan Hizbullah di Irak dipastikan akan mengundang aktor besar Timur Tengah lain untuk membela kelompok Sunni. Negara- negara superkaya, terutama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, selalu punya cara tersendiri yang khas untuk menghadapi lawan-lawannya sekalipun mereka tak mengirimkan tentara kerajaan secara langsung. Dan, itu bisa berarti, bara baru di Timur Tengah sebagaimana di Suriah kembali berkobar. Irak berpotensi menjadi panggung baru bagi perang sektarian yang sangat destruktif di  antara kekuatan-kekuatan besar kawasan sebagaimana Suriah. Apalagi, dari sisi kedalamannya, persoalan sektarian di Irak lebih dalam daripada Suriah.

Banyak opsi tersedia untuk menyelesaikan persoalan NIIS dan pemberontak di Irak, baik solusi nasional maupun kawasan dan internasional. Namun, implikasi yang ditimbulkan ketika opsi itu diambil sungguh besar dan dilematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar