Jumat, 27 Juni 2014

Ilusi Pemimpin Besar

Ilusi Pemimpin Besar

Hamdi Muluk  ;   Guru Besar Psikologi Politik;
Ketua Laboratorium Psikologi Politik, Fakultas Psikologi UI
KOMPAS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”Pemimpin itu ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.”
(Peribahasa Minangkabau)

WALAUPUN dibesarkan dengan tradisi nilai-nilai agama Islam dan filsafat Minangkabau selama puluhan tahun, baru akhir-akhir ini saya menyadari makna filosofis peribahasa di atas.

Bertahun-tahun—ratusan, bahkan ribuan—yang lalu orang beranggapan bahwa pemimpin itu adalah semacam satrio piningit, raja agung, atau semacam Ratu Adil (Mesias) yang sengaja diutus Tuhan menyelesaikan masalah keseharian kita di dunia ini. Harapan akan lahirnya pemimpin besar selalu disematkan dalam kesadaran kolektif kita. Alhasil, di setiap kemunculan pemimpin besar pada umumnya selalu disertai dengan pengultusan dan mitologisasi terhadap pemimpin tersebut dalam pelbagai macam atribut: baik fisik, ucapan, maupun tindak tanduk. Namun, anehnya, sejarah pula yang memperlihatkan kepada kita bahwa orang yang digadang-gadang sebagai pemimpin besar itu pula yang membawa kita pada kehancuran peradaban.

Tokoh seperti Hitler, Napoleon, Mussolini,  Saddam Hussein, Joseph Stalin, dan Kim Jong Il hanyalah beberapa contoh kecil di antara sederet pemimpin yang pernah ditahbiskan sebagai pemimpin besar. Mereka pada awalnya dirindukan untuk memperbaiki keadaan, tetapi berakhir dengan kekecewaan. Peribahasa Minangkabau tadi sepertinya bisa dimaknai sebagai kearifan untuk tak terjebak dalam kesalahan sejarah yang sama: sebuah kerinduan atau mungkin lebih tepatnya ilusi terhadap pemimpin besar.

Siapa pemimpin besar?

Studi ilmiah dalam bidang kepemimpinan dalam 100 tahun terakhir menunjukkan pergeseran signifikan dalam konsepsi mengenai pemimpin, leader, dan kepemimpinan, leadership. Studi awal tentang kepemimpinan memang coba mempelajari sifat-sifat yang dianggap dimiliki orang-orang besar atau pemimpin besar, Traits of the great leader, dalam sejarah. Sejarawan Thomas Carlyle (1840) adalah tokoh pertama yang melontarkan pendapat ”pemimpin besar itu dilahirkan, tidak bisa dibentuk”. Teori orang besar memasukkan juga dalam kelompok ini pemimpin karismatik, yaitu orang-orang dengan kualitas khusus yang berbeda dari orang kebanyakan. Namun, sosiolog Herbert Spencer pada 1896 membantahnya; pemimpin dibentuk masyarakatnya.

Teori psikologi kepemimpinan terhadap tokoh-tokoh besar ternyata gagal menemukan sifat yang konsisten yang ada pada pemimpin yang sukses ataupun yang gagal. Baik pemimpin yang sukses maupun gagal bisa sama-sama pintar, tegas, ramah, otoriter, agresif, introver, ekstrover, keras, dan seterusnya. Jadi, apa yang membedakan pemimpin yang sesungguhnya dengan yang bukan pemimpin sesungguhnya?

Teori kepemimpinan modern belakangan ini (di antaranya situational, contingency, transactional, transformational, dan authentic leader), terutama setelah runtuhnya kerajaan dan berkembangnya negara demokrasi modern, memperlihatkan bahwa orang yang bisa disebut sebagai pemimpin besar itu tidak ditentukan atribut fisik, ucapan besar, tindak tanduk yang besar, tapi oleh kemampuannya membumikan gagasan (visi) menjadi realitas dengan menggerakkan semua sumber daya dan potensi pengikutnya untuk mewujudkan visi tersebut.

Dengan kata lain, sebenarnya kita bicara tentang pemimpin yang efektif dengan ukuran yang jelas: rekam jejak, visi, dan kualitas pribadi. Ukuran pemimpin besar setelah dia tidak lagi menjabat juga jelas: warisan bagi publik. Dengan kata lain, keefektifan kepemimpinan seorang pemimpin di area publik (atau politik) sangat jelas: kiprah dan kerja nyata buat publik.

Berpegang pada jejak-jejak kepemimpinan dalam dunia publik ini pulalah sebenarnya kita bisa memaknai kebesaran Soekarno dan deretan pemimpin besar lain dalam arti yang positif, seperti Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, dan Umar bin Abdul Aziz.  Soekarno menjadi besar karena berangkat dari keseharian, penderitaan, cita-cita, dan aspirasi rakyat banyak yang ditangkapnya serta dirumuskan menjadi visi kenegaraan yang kuat dan mampu menggerakkan pengikutnya untuk mencapai visi itu. Visi kenegaraan itu menjadi jelas karena dilandasi nilai-nilai ideologis yang kuat (berdaulat, mandiri, dan berkepribadian), yang kita kenal sebagai Trisakti, untuk menyebut sebagian saja dari visi kenegaraan Soekarno.

Soekarno tidak menjadi besar hanya karena atribut fisik, gestur, dan tindak tanduk yang lebih banyak bersifat mitologisasi dan pengultusan. Tidak juga sebenarnya hanya bersandar pada retorika-retorika besar ”kosong” yang tidak realistis dilaksanakan. Label karismatik hanyalah produk akhir dari proses di atas. Ini yang harus kita pahami. Dalam konteks ini saya baru paham peribahasa orang Minangkabau di atas: pemimpin adalah bagian dari kita, berangkat dari seharian kita; kita naikkan, kita kontrol, dan kita turunkan pula.

Pemimpin efektif

Mari kita elaborasi secara singkat konsep orang Minangkabau tentang kepemimpinan: ”ditinggikan seranting, didahulukan selangkah”. Orang Minangkabau sejak lama secara sosiologis adalah masyarakat demokratis, egaliter, dan terbuka. Selama ratusan tahun sebelum menjadi bagian dari Republik Indonesia, mereka sudah hidup dalam bentuk nagari yang dikepalai pemimpin yang dipilih secara demokratis. Oleh karena itu, pemimpin tidak pernah dipahami sebagai sosok besar yang absolut, otoriter, dan tidak bisa dikontrol.

Pemimpin akan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah manakala dia mempunyai kualifikasi sebagai pemimpin, punya visi yang jelas, punya kompetensi memimpin, dan—yang terpenting—bisa dimintakan akuntabilitas-nya. Oleh karena itu, dia jangan dikultus dan dimitoskan sebab itu akan membuat dia  tak lagi tinggi seranting, tapi menjadi sosok yang jauh di atas pohon atau  di atas gunung; dia sudah berlari terlalu jauh, tidak lagi didahulukan selangkah.

Lama kelamaan dia akan menjadi sosok  yang angker, absolut, penuh mitos, dan otoriter (diktator). Pengalaman kita dengan dua presiden terdahulu (Soekarno dan Soeharto) menjadi bukti pada kekeliruan kita  untuk terlalu berharap pada sosok pemimpin besar yang justru menggiring kita pada pengultusan dan mitologisasi.

Dalam konteks negara demokrasi modern sekarang, sebenarnya pengertian pemimpin negara (presiden) bukan lagi dipahami sebagai pemimpin dalam pengertian omnipotent leader, ”pemimpin segala-galanya”, tapi ia hanyalah seorang pemegang otoritas eksekutif yang, bersama-sama dengan lembaga legislatif, berwenang menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan. Pada diri mereka melekat hak dan kewajiban yang sudah diatur secara jelas oleh konstitusi kita. Kita tidak mencari pemimpin omnipotent,  sosok sempurna yang tak ada kelemahannya, tapi kita mencari otoritas eksekutif yang mengerti persoalan konkret masyarakat, merumuskannya (dalam bentuk visi, misi, dan program), serta bersungguh-sungguh mengerjakannya tanpa dibebani macam-macam kepentingan selain kepentingan publik.

Berpijak pada filosofi kepemimpinan Minangkabau ”ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”, harus dipahami sebagai sebuah rasionalitas berdemokrasi bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu harus melewati suatu jalur kepemimpinan yang jelas, seranting demi seranting. Visi harus besar, tapi rekam jejak, kualitas pribadi, dan jalur kepemimpinan yang ia pernah lewati harus bisa ditelusuri untuk meyakinkan kepada kita bahwa ia tak sedang bermimpi dengan visi-visi besar. Di luar itu kita juga harus membangun sistem yang kuat supaya tak bergantung pada figur (pemimpin) semata.

Ilusi pemimpin besar

Menyimak diskursus publik akhir-akhir ini, di tengah gegap gempitanya kampanye calon presiden dan wakil presiden, kita melihat mulai munculnya wacana mencari pemimpin besar. Wacana itu dilandasi asumsi bahwa negara kita sedang terpuruk dengan pelbagai macam indikator: korupsi merajalela, ketimpangan ekonomi melebar, kemandirian negara berkurang, daya saing rendah, tingkat kemakmuran tak kunjung membaik, dan segudang persoalan bangsa lain. Jadi, untuk menyelesaikan krisis itu, kita memerlukan pemimpin besar.

Semangat ini bisa kita pahami, tetapi kita juga harus waspada, kemunculan pemimpin besar yang despotik, seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin, pada awalnya disambut dengan gegap gempita karena mereka membawa janji besar dengan retorika besar, tetapi sejarah lupa mendiagnosis patologi kepribadian (dan juga rekam jejak) di balik tokoh besar tersebut. Studi yang dilakukan psikolog politik (Jerrold M Post, Seth Rosenthal, dan Todd Pittinsky) menemukan bukti bahwa retorika besar, tampilan besar, dan karisma di publik ternyata dilatarbelakangi gangguan kepribadian seperti grandiosity (merasa orang besar), narsisistik, over-ambitious, arogan, kurang empati sosial, dan kontrol emosional yang rendah. Beberapa tokoh malah dilengkapi juga dengan kecenderungan psikotik lain, seperti paranoid dan gangguan emosi bipolar (manis-depressif).

Tampaknya kita perlu lebih cermat menyikapi kecenderungan ini. Saya beruntung menemukan kearifan lokal dari peribahasa Minangkabau tadi bahwa pemimpin besar itu (kalaupun kita sepakat dia harus hadir di tengah kita) berproses seranting demi seranting, selangkah demi selangkah, lewat jalur kepemimpinan yang terukur. Ia sejatinya berasal dari kita-kita juga, ia tidak berjarak dari kita-kita, ia tidak perlu menempatkan diri lebih hebat, dan grandiour dari kita-kita.

Ia tidak perlu membombardir kita dengan retorika-retorika besar tetapi tidak realistik. Pemimpin sejati itu ternyata orang yang rendah hati: ia paham bahwa ia hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar