Selasa, 24 Juni 2014

Ketika Pendidikan Jadi Isu Pilpres

Ketika Pendidikan Jadi Isu Pilpres

Sudaryanto ;   Dosen FKIP UAD;
Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, Nanning, Tiongkok
                                                          HALUAN, 23 Juni 2014     
                                                
                                                                                         
                                                      
Dua pasangan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, menjadikan bidang pendidikan sebagai isu dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini.  Dua isu pendidikan yang mereka janjikan apabila terpilih nanti, yaitu (1) isu mewajibkan sarjana untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal, dan (2) isu penghapusan sistem pendidikan, salah satunya ialah pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pertanyaannya kini, seberapa penting isu-isu tersebut bagi kita?

Pertama, isu mewajibkan sarjana untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal. Isu ini, hemat saya, sejalan dengan program Kemdikbud saat ini, yaitu Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Hingga 2014 ini, program SM-3T telah berjalan selama dua periode, dan dinilai cukup mendapat respons yang baik dari para lulusan LPTK, kendati pun perlu diberikan sejumlah catatan penting di dalamnya.

Pertama, program SM-3T hanya mewajibkan para lulusan LPTK mengajar dalam setahun, padahal kebutuhan guru di daerah-daerah yang tergolong “3T” (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) sangat mendesak. Kedua, program SM-3T perlu disinergikan dengan pemerintah daerah, terutama dalam mengatasi masalah ketidakmerataan jumlah guru di daerah “3T”. Tak ada salahnya jika pemerintah daerah mem-PNS-kan para peserta SM-3T untuk daerahnya masing-masing.

SM-3T vs Budaya Mutasi

Program SM-3T, hemat saya, perlu dilanjutkan oleh pemerintahan mendatang. Pasalnya, program tersebut menjadi “antitesis” dari budaya mutasi yang selama ini ada. Saya mengenal beberapa teman yang kebetulan menjadi PNS di luar Pulau Jawa. Usai lima tahun mengabdi di daerah, lantas mereka mengajukan mutasi untuk kembali ke daerahnya. Fenomena ini, jujur saja, cukup membikin saya geleng-geleng kepala.

“Aneh bin heran”. Dikatakan “aneh”, karena pemerintah daerah ternyata mengizinkan terjadinya mutasi ke Pulau Jawa, padahal kebutuhan guru di daerahnya tentu akan minus. Dan dikatakan “heran”, karena teman-teman saya yang kebetulan menjadi PNS tidak mempertimbangkan persoalan minus jumlah guru di daerah. Mereka hanya berprinsip “saya datang, saya menang, saya pulang”. Sayangnya, pemerintah pusat tidak menghiraukan persoalan itu.

Untuk itu, ada beberapa saran yang disampaikan di sini. Pertama, pemerintah pusat yang membuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2014 ini harus meninjau ulang syarat penugasan di daerah (perlu bermaterai Rp 6.000). Apabila ada seseorang yang diterima dan ditugaskan sebagai PNS di daerah luar Pulau Jawa, dirinya harus mengabdi hingga masa pensiun tiba. Jika tidak, dirinya wajib dikenai sanksi berupa pemecatan dan denda.

Tak seperti saat ini, seo­rang PNS guru atau peneliti bahasa, setelah ia bekerja lima tahun di daerah, tiba-tiba ia minta mutasi ke daerah asalnya. Lebih aneh lagi, pemerintah pusat (kementerian) dan daerah mengabulkan permintaannya itu. Bukan apa-apa, jika fenomena ini dibiarkan begitu saja, lantas kapan bisa terwujud distribusi jumlah guru yang merata? Kemudian, kapan pula bisa tercipta pendidikan di daerah yang berkualitas sama seperti di Pulau Jawa?

Kedua, pemerintah pusat dan daerah dapat memper­timbangkan usulan mutasi apabila pemohon (baca: PNS guru atau peneliti bahasa) memiliki kinerja dan prestasi yang baik, selain juga masa pengabdian yang “memadai”. Lima tahun bekerja di daerah, saya kira, belum pantas disebut masa pengabdian yang memadai. Paling tidak, masa pengabdian selama 20-30 tahun barulah layak mengajukan usulan mutasi ke daerah, atau mendekati usia pensiun.

Pengalaman sahabat saya, Pak Sutrisno, layak dituangkan di sini. Dia bekerja sebagai guru PNS di SMPN 1 Tepus, Gunungkidul, sejak 1988. Rumahnya terletak di daerah Kaliurang, Sleman. Jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh; naik dan turun gunung dijala­ninya setiap hari. Baru 2012, usulan mutasinya disetujui, mengingat usianya yang memasuki usia kepala lima. Dia pun memiliki prestasi yang gemilang, antara lain, Guru Berprestasi Nasional 2011.

Menghapus UN?

Di lembar kolom ini (Haluan, 25/1/2014) saya pernah mengemukakan, 2014 merupakan era berakhirnya kebijakan UN. Buktinya, tahun ini UN tingkat SD/MI ditiadakan atau dihapus. Tapi, UN tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA tetap dilaksanakan. Hemat saya, di tangan pemerintah mendatang, entah akan dipimpin oleh Prabowo atau Jokowi, UN tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA perlu dihapus atau ditinjau ulang keberada­annya karena beberapa hal.

Pertama, UN mengacaukan orientasi dan gaya mengajar guru di kelas. Guru yang semestinya mengajar dengan penuh inovasi dan kreativitas di kelas, akhirnya pada kelas penghujung (baca: kelas IX SMP/MTs dan XII SMA/SMK/MA) hanya berperan sebagai pembuat dan penjawab soal-soal UN. Akibatnya pula, gaya mengajar guru tidak lagi kreatif, tapi “kereatif” alias miskin kreativitas. Coba Anda bandingkan antara guru kelas X dan kelas XII, pasti ada perbedaan besar.

Kedua, UN mengajarkan budaya instan kepada para siswa, khususnya dalam hal belajar dan beribadah. Sebelum pelaksanaan UN, para siswa begitu sering belajar, membaca buku, bertanya kepada guru, dan pergi ke perpustakaan. Pun mereka pergi ke masjid untuk salat Dhuha, berdoa, dll. Usai UN, usai pula semangat belajar dan beribadah mereka. Ada atau tiada ujian, semestinya para siswa tetap belajar, membaca buku, bertanya kepada guru, salat Dhuha, dst.

Ketiga, melalui UN, pemerintah telah merampas hak evaluasi yang dimiliki oleh para guru. Pemerintah membuat soal UN Bahasa Indonesia yang berjumlah 50 butir, dengan 20 tipe (A, B, C, dst). Siswa harus menjawab kesemua soal itu, terlepas dari ia mampu atau tidak dalam hal kompetensi bahasa dan sastra Indonesia. Sementara itu, seorang guru Bahasa Indonesia justru lebih memahami siswanya yang betul-betul mampu atau tidak sama sekali.

Untuk itu, sekali lagi, tak ada salahnya jika kebijakan UN di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA dihapus atau ditinjau ulang oleh pemerintah mendatang. Apabila ujian tetap ada, maka pemerintah perlu meminta masukan dari seluruh pihak. Mulai dari ahli evaluasi pendidikan, psikologi pendidikan, guru, orangtua, sampai tokoh masyarakat. Yang terpenting ialah, ujian itu memiliki kredibilitas dan tetap sejalan dengan visi-misi pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar