Jumat, 27 Juni 2014

Kultur Sportivitas dan “Gladiator” Politik

Kultur Sportivitas dan “Gladiator” Politik

Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BETAPA terpukulnya para pemain Kroasia saat harus dihukum penalti dalam pertandingan melawan Brasil. Kemenangan yang ada dalam genggaman pun terampas. Namun, tim Krosia tidak mengamuk meski penalti itu kontroversial.
Dalam Piala Dunia kali ini, Kroasia memang akhirnya kalah. Namun, dunia mencatat sportivitas tinggi mereka. Kroasia meraih kemenangan moral, kemenangan tertinggi dalam persaingan!

Sportivitas memang pahit karena ia mengharuskan kita untuk lebih menjunjung etika dan moral daripada hasil kemenangan. Muara sportivitas adalah keluhuran nilai. Etika dan moral mengorientasikan manusia pada proses menemukan kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kepantasan. Dalam persaingan, etika dan moral menuntut kita untuk mengutamakan martabat dalam meraih kemenangan. Karena itu, orangtua kita mengatakan, ”Untuk apa menang, sukses, dan kaya raya jika kamu tidak terhormat?” Orang Jawa punya wisdom ”menang tanpa ngasorake” (menang tanpa harus merendahkan kemanusiaan, baik pribadi maupun orang lain/kompetitor).

Demokrasi meniscayakan kompetisi yang didasarkan pada etika, moral, dan etos demi melahirkan pemimpin yang bermartabat, bukan sekadar memiliki kemampuan teknis memimpin dan mengelola negara. Kekuasaan (power) itu buas seperti harimau. Karena itu, para penunggangnya harus mampu menjinakkan dengan kecerdasan akal budi atau kearifan.

Musuh dan lawan

Benarkah persaingan dalam pilpres dijiwai sportivitas? Jargon ”siap menang, siap kalah” memang telah bergema. Namun, kampanye kelam toh tetap saja merebak. Terkesan kompetitor adalah musuh yang harus dihancurkan, bukan lawan yang harus dihormati.

Pilpres pun menjelma semacam arena bagi para ”gladiator” politik untuk bertarung, lengkap dengan para bebotoh dan para penggembiranya. Lihatlah, misalnya, ”perang komentar” antarpendukung capres-cawapres di media sosial yang saling menjatuhkan. Tanpa beban para pengguna media sosial partisan melontarkan komentar apa saja demi kepuasan atau katarsis politik. Hal itu sangat jauh dari demokrasi yang bermartabat: mengutamakan nilai kebenaran, akal budi, kesantunan, keadilan, dan keindahan.

Dalam ”perang komentar” di media sosial yang dominan adalah psikologisme, sebuah cara pandang yang mereduksi realitas sosiologis menjadi realitas psikologis subyektif. Emosi lebih dominan daripada rasionalitas. Penilaian lebih didasarkan pada rasa suka dan tidak suka. Serba hitam-putih. Pihak yang tidak suka menempatkan orang lain sebagai ”musuh”.

Goenawan Mohamad, dalam sebuah Catatan Pinggir-nya, pernah menyatakan pentingnya sportivitas dalam persaingan di mana orang lain diposisikan sebagai lawan dan bukan musuh.

Pilpres yang damai dapat dimulai dari pemahaman secara semantik (maknawi) atas kata kunci dalam persaingan, yakni musuh dan lawan. Publik pemakai bahasa sering kacau dalam menggunakan istilah ini. Kata musuh lebih tepat digunakan dalam dunia peperangan.

Kata musuh bermakna pihak yang mengancam jiwa/menghancurkan pihak lain. Konotasinya sangat destruktif: merusak, menghancurkan, melenyapkan, dan membunuh.

Kata lawan bermakna imbangan; bandingan; tandingan. Konotasi kata lawan positif, misalnya lawan tanding, lawan bicara, dan lawan bermain. Di sini tak ada nuansa permusuhan. Dalam pertandingan, satu pihak melawan pihak diartikan sebagai persaingan. Di sini masing-masing pihak saling menaruh hormat (respect).

Kontestasi pilpres bukan sebuah pemusuhan. Kata kunci yang tepat dipakai adalah lawan (pesaing, kompetitor). Karena itu, tidak sepantasnya pilpres disikapi dengan semangat konflik.

Filsuf peraih hadiah Nobel, Albert Camus, menyebut sportivitas sebagai nilai yang membangun karakter manusia, tak ada hubungan secara langsung dengan kekalahan dan kemenangan. Kekalahan dan kemenangan adalah akibat dari perjuangan. Sportivitas yang mengutamakan proses mengajarkan manusia untuk menemukan nilai-nilai ideal berupa kejujuran dan keadilan yang bermuara pada martabat.       

Kampanye hitam

Kekuasaan memang sangat menggoda, termasuk para politisi yang kini bersaing untuk memperebutkan RI 1 dan RI 2. Karena itu, nilai-nilai etik pun kadang dilabrak. Orang menempuh
berbagai cara, termasuk kampanye hitam yang sarat isu  suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

Kompetisi dalam pilpres perlu dikembalikan pada kultur sportivitas, bukan kultur gladiator yang penuh kekerasan. Saling menghormati lawan menjadi keniscayaan dalam membangun demokrasi yang bermartabat. Basis persaingan harus dikembalikan pada visi, misi, dan program, bukan kebencian dan permusuhan. Visi bicara tentang cita-cita ideal perjuangan. Misi bicara tentang cara/tindakan mewujudkan cita-cita. Adapun program merupakan praksis dari visi dan misi.

Pilpres harus dipahami sebagai bagian dari kultur demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan kolektif. Kultur demokrasi selalu berbasis pada etika, moral, dan etos sehingga memberikan inspirasi dan pencerahan kepada publik. Inilah demokrasi yang bijak dan cerdas/visioner. Elite politik mestinya menjadi agen kebudayaan, bukan sekadar menjadi pemburu kekuasaan yang mengorbankan peradaban dan keselamatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar