Rabu, 25 Juni 2014

Menakar Masa Depan Laut China Selatan

Menakar Masa Depan Laut China Selatan

Inggar Saputra  ;   Mahasiswa Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
OKEZONENEWS, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Carlyle A Thayer (Profesor emeritus Australian Defence Force Academy) pernah mengingatkan adanya tiga faktor yang akan mempengaruhi dinamika politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Pertama, bertambahnya ketegangan dalam hubungan China-AS. Kedua, meningkatnya kembali keterlibatan AS di Asia Timur. ketiga, adanya peningkatan agresifitas China di Laut China Selatan. Ketiga faktor ini merupakan ujian yang serius bagi ketahanan regional ASEAN yang telah memproklamasikan diri sebagai kekuatan pendorong utama (primary driving force) dalam penyelesaian isu-isu regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.

Analisis Carlyle terbukti tepat, sebab persoalan Laut China Selatan sampai sekarang masih menjadi salah satu flash point yang berdampak kepada ketahanan regional di kawasan Asia Tenggara. Ini disebabkan perairan tersebut menjadi titik tolak yang diperebutkan beberapa negara seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia. Sengketa bertolak belakang dari adanya klaim wilayah, perebutan sumber daya alam dan kebebasan bernavigasi. Repotnya, konflik juga melibatkan negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang yang ingin menanamkan dan memperkuat pengaruhnya dalam menguasai wilayah strategis ini.

Gesekan kepentingan antarnegara dalam perkara Laut China Selatan memang tidak dapat diremehkan. Filipina misalnya mengajukan sengketa ke Pengadilan Internasional PBB untuk Hukum Kelautan untuk menghentikan kapal China yang memasuki Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina. Kondisi semakin panas akibat provokasi China membentuk Zona Identifikasi Ketahanan Udara (ADIZ/Air Defense Identification Zone) yang berlaku sejak 1 Januari 2014. Dengan diberlakukan ADIZ, China mengharuskan setiap pesawat yang akan melintas di ADIZ melaporkan rencana penerbangan, menyebutkan asal negara dan mempertahankan komunikasi udara. Jika melanggar, China mengancam akan mengambil langkah defensif darurat Adanya ADIZ China dikecam keras Filipina dan membuat Jepang memperketat pengamanan wilayahnya dengan bersiap membangun pangkalan Angkatan Darat pada 2016 di Senkaku.

Akar Masalah

Dalam perkembangan terakhir, sengketa Laut China Selatan mengusik Amerika Serikat dan negara-negara di ASEAN khususnya yang masuk negara pengklaim. Mereka menilai China berusaha merusak stabilitas kawasan dengan membuat manuver politik dan militer. Sikap Amerika Serikat terlihat pada Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012. Dalam penjelasannya, Obama menekankan prioritas utama pertahanan Amerika Serikat adalah mulai adanya pemusatan kembali sumberdaya nasionalnya ke Laut China Selatan. Beberapa implementasi kebijakan yakni tidak adanya pemotongan anggaran pertahanan yang berkaitan dengan kawasan Pasifik dan peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia. Ini dilakukan untuk mencegah kebangkitan militer China yang berpotensi mengganggu dominasi Amerika Serikat di kawasan tersebut.

Dalam analisisnya Budi Susilo Supandji (2012) mengingatkan secara umum sengketa Laut China Selatan disebabkan tiga persoalan fudamental yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, perbedaan kepentingan politik di mana setiap negara memiliki kepentingan nasional dalam menjaga keamanan dan stabilitas Laut China Selatan. Negara yang tergabung dalam ASEAN memandang manuver China terkait pemberlakuan ADIZ berdampak buruk sebab dapat memancing “keributan baru” di tengah upaya mendorong kondusifitas di wilayah sengketa. Secara politik, sikap China akan menjepit negara ASEAN dalam pertarungan kepentingan kekuatan besar di Laut China Selatan seperti China dan Amerika Serikat. Apalagi belakangan muncul reaksi penolakan kebijakan ADIZ dari Korea Selatan dan Jepang sehingga  memperburuk situasi yang ada.

Kedua, munculnya perebutan potensi sumber daya ekonomi yang terkandung di Laut China Selatan. Seperti diketahui, Laut China Selatan mengandung 25 meter kubik gas alam dan potensi nilai perdagangan yang besar di mana mencapai USD5,3 triliun Perebutan sumber daya ekonomi itu mendorong setiap negara mempertahankan kepulauan dan wilayah lautnya. Misalnya Kabupaten Natuna, salah satu kawasan Indonesia yang berdekatan dengan Laut China Selatan ini menyimpan gas bumi yang berdampak kepada devisa negara. Jika sengketa berujung perang antarnegara, pendapatan negara ASEAN termasuk Indonesia dari ladang gas bumi akan terganggu. Selain itu. peningkatan eskalasi juga akan menambah beban biaya kapal akibat perubahan rute navigasi dalam pelayaran menuju Asia Timur.

Ketiga, perang psikologis akibat perlombaan persenjataan dan kekuatan militer. Dalam merespons sengketa ini, setiap negara ASEAN dituntut memperkuat postur pertahanan dan keamanan sehingga kepentingan nasionalnya dapat terjamin. Saat ini Vietnam terus meningkatkan pertahanannya dengan membeli senjata dari Israel, Republik Ceko dan Kanada serta enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Sementara Angkatan Laut Filipina mendapatkan bantuan dua fregat eks cutter US Coast Guard kelas Hamilton dari Amerika Serikat, dua helikopter anti kapal selam, tiga kapal cepat patroli pantai dan delapan kendaraan serbu amfibi hingga 2017. Modernisasi kekuatan pertahanan menjadi titik perhatian strategis masing-masing negara dalam  upaya mengamankan kepentingannya masing-masing di perairan tersebut.

Ketahanan regional ASEAN adalah kunci strategis dalam menyelesaikan persoalan pelik yang terjadi di Laut China Selatan. Kondisi ini selayaknya dimanfaatkan ASEAN untuk mendesak China menghentikan manuver militernya sehingga tidak menimbulkan gejolak terhadap negara di sekitarnya. Selain itu, negara ASEAN dapat terus mendorong dan menekankan bahwa dialog yang intensif harus terus dijalankan sehingga arogansi negara besar seperti China dan Amerika Serikat dapat diturunkan. Sebab arogansi yang dijiwai semangat saling curiga dan persaingan tidak sehat hanya menimbulkan benih konfrontasi yang mengancam stabilitas kawasan dan mengganggu perdamaian dunia.

Adapun perbedaan pandangan mengenai kedaulatan yang berdampak kepada keamanan maritim sepantasnya diselesaikan secara damai dan menghindarkan eskalasi sengketa menjadi konflik. Untuk itu, setiap negara pengklaim maupun negara ASEAN lainnya jangan terus menebarkan provokasi yang berujung kepada ketegangan yang mendalam. Jika masalah maritim tak dapat diselesaikan, setiap negara harus mengupayakan upaya bilateral untuk mencapai titik temu. Jika gagal maka berhak mengajukan sengketanya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai solusi akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar