Rabu, 25 Juni 2014

Philadelphia : Kota Cinta

Philadelphia : Kota Cinta

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN, 24 Juni 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Aneh atau justru mungkin sangat kreatif. Di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat (AS), saya belajar tentang kerelawanan dari prasasti yang dipasang di trotoar. Di Philadelphia, kota tempat Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) AS diproklamasikan pada 4 Juli 1776 oleh Thomas Jefferson, saya belajar tentang cinta dari tulisan yang dipasang di dinding dan karpet lobi sebuah hotel.

Bukan cinta sembarang cinta, apalagi sekadar “esek-esek”, melainkan brotherly love, cinta persaudaraan. Bacalah sendiri yang berikut ini;

But still there has been no greater love, no other love. I have loved you like no brother could love, should love, true love, absolute love: support, sacrifice, adoration, your pain, my envy always your understanding, praise, criticism.

Begitu puitis kata-kata yang tertulis dengan huruf-huruf besar itu. Terjemahan bebasnya sebagai berikut;
Tetap saja masih belum pernah ada cinta yang lebih besar, tidak ada cinta lain. Aku telah mencintaimu melebihi seorang saudara dapat mencintai, semestinya mencintai, cinta sejati, cinta absolut: dukungan, pengorbanan, pujian, sakitmu, rasa iriku selalu menjadi pengertian, pujian, dan kritikmu.

Semula saya bertanya-tanya, siapa yang menulis itu. Untung ada Mbak Hani White, orang Betawi dan aktivis perempuan yang telah lama bermukim di Philadelphia. Ia menjelaskan, itu adalah kata-kata dari pendiri Provinsi Pennsylvania dan perancang-bangun Kota Philadelphia, William Penn (1644-1718).

William Penn yang patungnya bertengger di puncak Balai Kota Philadelphia adalah seorang Quaker (Religious Society of Friends), komunitas penganut Kristen yang lebih suka berkumpul di luar gereja dan bersikap antikekerasan atau peperangan, dengan alasan dan dalam kondisi apa pun. Cinta persaudaraan itu pun dikukuhkan sebuah patung cinta (Love Statue) yang berdiri di Plaza John F Kennedy, untuk mengabadikan nama Presiden AS legendaris itu.

Bangunan tersebut tampak sederhana saja, kecuali tulisan “Love” berwarna merah yang disusun secara nyeni atau nyentrik. Patung itu adalah karya Robert Indiana dan dipasang di pusat Kota Philadelphia pada 1976. Banyak wisatawan dalam dan luar negeri, terutama muda-mudi, yang berpose dan mengambil foto mereka di depan patung itu.

Dikarenakan ungkapan “brotherly love” yang dilengkapi patung cinta itu, Philadeplphia yang juga disebut Philly, dikenal pula sebagai Kota Cinta.

Kampung Jawa di “Philly Kidul”

Berkat kata-kata pendirinya, Philly diakui teman-teman Indonesia yang bermukim dan belajar di kota itu lebih manusiawi terhadap para imigran, termasuk yang tidak memilki dokumen kewarganegaraan (undocumented). Di antara mereka adalah pengungsi Rohingya dan Indonesia. Mereka tidak diuber-uber atau di-sweeping petugas dan bisa hidup. Mereka bisa bekerja di industri, tentu kebanyakan untuk jenis pekerjaan kasar dengan upah murah.

Toleransi kehidupan bermasyarakat antar-ras, suku, bangsa dan, agama terjamin. Terdapat 16 gereja Indonesia dan satu masjid di Philly Selatan. Dikarenakan banyak orang Jawa, terutama Jawa Timur bermukim di situ, daerah itu dikenal juga sebagai sebagai Kampung Jawa “Philly Kidul”. Suasana di Masjid Al Falah itu persis seperti di kampung Jawa. Jemaah masjid itu banyak yang berpeci dan bersarung. Percakapan pun banyak berlangsung dalam bahasa Jawa.

Mau cari makanan khas Indonesia, lebih khusus lagi Jawa, jangan tanya. Tempe goreng, tempe kering, mendoan, soto, sate, rawon, gado-gado, cendol, pepes, dan kerupuk dengan mudah diperoleh sekitar 10 warung. Tentu saja karena di AS sebutannya adalah cafe. Untuk mencari bahan mentah dan bumbu-bumbunya ada lima toko/grocery store Indonesia.

Kehidupan intelektual masyarakat Indonesia di Philly juga terjamin. Ada majalah Indonesian Lantern dengan tagline “The Voice of Indonesian Community in America”. Terbit dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Edisi Mei-Juni 2014 ini ada tulisan tentang reog ponorogo. Pemimpin redaksinya adalah Mbak Indah Nuritasari dan Managing Editor-nya Didi Prambadi. Keduanya sudah saya kenal sebagai wartawan di Jakarta.

Ada lagi perempuan Indonesia yang sedang ngetop. Ia adalah Cut Zahara, sesuai namanya, ia berasal dari Aceh. Kiprahnya sebagai aktivis peduli lingkungan, pemberdayaan, dan pendidikan anak pengungsi dan kaum dhuafa, menjadi cover story majalah itu, “Signs of Change”. Bersama Dompet Dhuafa, Cut Zahara dan sejumlah kawan aktivis mendirikan Center of Learning, yang mengajari anak-anak bermain, calistung, mengaji, dan mencintai lingkungan.

Berada di luar negeri bisa membuat orang mudah rindu dan lebih mencintai Tanah Air. Semoga Jakarta, yang baru saja berulang tahun, 22 Juni lalu, sebagai kota proklamasi, pusat birokrasi, dan industri, bisa lebih manusiawi serta penuh toleransi terhadap pendatang. Apalagi, jika bisa menjadi “kota cinta”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar