Jumat, 27 Juni 2014

Prostitusi

Prostitusi

Heri Priyatmoko  ;   Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
TEMPO.CO, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Siapa sangka bahwa Dolly, tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu, akhirnya ditutup. Dolly merupakan kawasan "hitam" yang mampu bertahan lama, bahkan jauh lebih berkibar dibanding Kramat Tunggak (Jakarta), Jempingan (Sukoharjo), dan Silir (Kota Solo) yang lebih dulu dilenyapkan. Prostitusi alias pelacuran ialah penyerahan diri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual dengan pembayaran tertentu. Dalam praktek itu, lahir istilah pelacur, "wanita publik", sundel, wong wedok nakal, lonthe, pelayahan, perempuan jalang, atau diperhalus bahasanya menjadi wanita tunasusila.

Terdapat pula singkatan khas Jawa yang sarat humor, seperti minakjinggo, yang punya kepanjangan miring penak, jengking monggo (miring rasanya enak, nungging juga silakan). Di ruang jasa bisnis seks ini juga muncul pantun lokal yang tampaknya lahir secara spontan. Semisal, kecipir manuk trucukan, monggo mampir thuthuk-thuthukan. Lebih jauh lagi, komunitas penghuni lokalisasi ini rupanya memiliki bahasa atau idiom khas yang sulit dipahami oleh khalayak. Sekadar contoh, dibayar "dua mawar", artinya dua lembar seratus ribu rupiah.

Bukan cuma pemerintah Republik Indonesia yang kerepotan memberantas aksi pelacuran dan menutup lokalisasi. Tempo doeloe, pemerintah kolonial Belanda pernah dibikin pusing oleh praktek para penjaja cinta yang merajalela. Terkisah, pada 1852, pembesar Belanda menelurkan regulasi yang merestui komersialisasi aktivitas seksual, menimbang banyak prajurit yang tak membawa istri ke Hindia-Belanda. Lalu, dibuatlah rumah bordil. Dan, hal ini mengundang masalah baru.

Dalam kumpulan dokumen resmi Belanda yang berjudul Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial, diketahui bahwa aneka cara ditempuh demi mengawasi kegiatan prostitusi di rumah bordil gara-gara meluasnya wabah penyakit kelamin, yakni syphilis. Kala itu, tingkat penularan infeksi penyakit kelamin sangat tinggi.

Dikabarkan bahwa dalam waktu singkat di rumah sakit militer sudah ada 40 orang yang dirawat. Sebagian dari mereka menderita syphilis dan penyakit kelamin lainnya. Ini bisa dibaca dari data mengenai anggota militer yang terserang penyakit akibat "maen" di rumah bordil mulai 1870 hingga 1890. Pada era 1870 tercatat 575 orang menderita syphilis dan 5.105 orang terkena morbi veneris. Pada 1882, jumlah penderita syphilis membengkak menjadi 1.290 orang. Sedangkan morbi veneris terparah terjadi pada 1887, yaitu 10.108 orang. Usaha pengobatan secara medis tidak berbuah manis.

Sebetulnya, pada 1874, toewan kulit putih telah mengkodifikasi kebijakan isolasi bagi para perempuan nakal yang ketahuan mengidap penyakit kelamin. Mereka dikarantina dalam suatu "rumah bagi perempuan sakit" dengan pengawasan tenaga medis. Selepas bisa membuktikan dirinya sehat, mereka akan dikeluarkan.

Demikianlah, masalah prostitusi senantiasa mengikuti gerak zaman. Prostitusi memang bukanlah sebatas urusan perut. Sampai kapan pun, akar prostitusi tampaknya sulit dicabut jika pendidikan bagi kaum wanita masih rendah. Juga tipisnya pemahaman mereka terhadap aktivitas prostitusi, bahwa praktek ini berdampak negatif, misalnya penyebaran penyakit kelamin (HIV/AIDS) yang menuai kematian. Prostitusi ialah anak zaman yang dianggap haram, namun selalu dibutuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar