Jumat, 27 Juni 2014

Purnawirawan TNI Tak Kompak Lagi

Purnawirawan TNI Tak Kompak Lagi

Amzulian Rifai  ;   Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya (Unsri)
KORAN SINDO, 25 Juni 2014
                                                            
                                                                                         
                                                      
Selama ini banyak yang mengagumi spirit korps anggota TNI baik yang purnawirawan, apalagi yang masih aktif. Soliditas sesama anggota TNI dinilai kukuh, tidak runtuh oleh kondisi apa pun. Namun sepanjang tahapan Pilpres 2014 ini, publik dikejutkan dengan manuver para purnawirawan TNI yang sangat luar biasa dan sulit untuk tidak ditafsirkan penuh nuansa politik.

Adalah anggota tim kampanye Prabowo Subianto, Mayjen (purn) Kivlan Zen yang mengingatkan para purnawirawan lainnya untuk berhenti menyudutkan Prabowo Subianto. Ungkapan-ungkapan para jenderal purnawirawan yang ada di kubu Joko Widodo (Jokowi) yang menghujat Prabowo dan dilawan oleh purnawirawan kubu Prabowo jelas mengagetkan banyak orang. Salah satu alasannya karena selama ini TNI dikenal memiliki doktrin, jiwa kesetiakawanan, serta kekompakan di atas rata-rata profesi lain.

Penyebab Terbelah

Publik meyakini bahwa ketidakkompakan para tentara ini hanya terjadi di kalangan purnawirawan jenderal saja, tidak terjadi terhadap anggota TNI aktif. Diyakini bahwa para anggota TNI aktif tidak terlalu berpengaruh akibat ”perseteruan” antar para purnawirawan ini. Pernyataan-pernyataan para perwira tinggi TNI aktif secara tegas atau mengisyaratkan tidak terpengaruh sama sekali akibat perseteruan para seniornya itu. Namun demikian, sebagian publik tidak juga dengan mudah memastikan faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya ketidakkompakan di kalangan purnawirawan TNI ini. Tapi berbekal berbagai berita dan cerita dapat dikira-kira faktor penyebabnya.

Diyakini bahwa penyebab utama ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI ini, jika bukan satu-satunya, disebabkan majunya Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2014, sementara tidak semua jenderal purnawirawan mendukung Prabowo dengan berbagai alasannya. Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, misalnya, ”pagi-pagi” sudah merapat ke kubu Jokowi. Padahal, beliau tergolong sebagai salah seorang petinggi Partai Golkar yang resmi memberikan dukungan kepada Prabowo. Beliau tidak sungkan diberhentikan dari jabatannya di partai asalkan tidak mendukung Prabowo.

Luhut memiliki cukup banyak pengikut di kalangan purnawirawan. Apalagi, Luhut merupakan salah seorang pengusaha yang cukup sukses dan melibatkan pula beberapa jenderal dalam kegiatan bisnisnya. Kondisi ini jelas melahirkan kepercayaan diri dan independensi tinggi. Kemungkinan lain, ketidakkompakan para jenderal purnawirawan ini sebagai kelanjutan dari ”peperangan” yang tidak selesai ketika mereka masih aktif dahulu. Prabowo adalah anak seorang begawan ekonomi Indonesia Prof Soemitro Djojohadikusumo dan menantu Presiden Suharto yang memerintah di zaman Orde Baru.

Dapat kita bayangkan betapa kedudukan seorang Prabowo di masa itu. Beliau bukan hanya sosok yang brilian, melainkan juga ditunjang dengan status sosial yang luar biasa. Sangat mungkin sepak terjangnya pada waktu itu mengganggu eksistensi para seniornya. Apalagi, ada tulisan yang menyebutkan di antara para mantan jenderal itu adalah anak emas Jenderal Benny Moerdani yang dulu tergeser dengan menarik-narik adanya peran Prabowo.

Diungkapkan dalam salah satu tulisan bahwa di antara para jenderal itu adalah anak emas kubu Benny Moerdani yang berhasil dibersihkan kubu Prabowo yang berhasil menarik Faisal Tandjung, sosok yang sudah lama diasingkan Benny Moerdani ke Seskoad, menjadi panglima ABRI. Setelah disingkirkan, mereka yang anti-Prabowo tersebut tidak akan begitu saja berhenti untuk membalas kapan pun ada kesempatan, termasuk selama masa Pilpres 2014 ini.

Segelintir Purnawirawan

Tontonan ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI secara sangat keras akibat Pilpres 2014 ini tentu memunculkan pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah ketidakkompakan yang keras semacam ini selalu terjadi pada setiap pilpres? Sudah dapat dipastikan bahwa para jenderal purnawirawan berada pada kubu berbeda pada setiap pilpres. Suatu hal yang lumrah. Para purnawirawan tentu memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya. Bahkan tidak heran, apabila para jenderal purnawirawan ini menjadi rebutan banyak pasangan calon karena berbagai kelebihan yang dimiliki.

Para purnawirawan jenderal ini adalah orang-orang sangat luar biasa yang mampu berkontribusi secara signifikan dalam berbagai aktivitas kenegaraan, termasuk dalam pilpres. Purnawirawan yang memiliki pengalaman panjang di bidang intelijen, misalnya, pastilah strategis menghadapi berbagai serangan yang mungkin terjadi. Pilpres di era modern melibatkan perang opini luar biasa hingga masyarakat bawah. Jenderal yang berpengalaman bidang intelijen memiliki strategi jitu guna menangkal soal-soal semacam ini. Selain itu, ”banyak sekali” jenderal purnawirawan berpengalaman dalam bidang teritorial.

Sosok semacam ini memiliki kemampuan merangkul yang luar biasa. Dapat dibayangkan dengan segudang pengalaman mereka sejak menjadi komandan koramil hingga jabatan-jabatan teritorial lebih tinggi lainnya secara berjenjang. Namun demikian, jika diamati secara mendalam, ketidakkompakan purnawirawan TNI yang sangat keras sekaligus ”memalukan” mungkin baru terjadi pada Pilpres 2014 ini. Bagaimana tidak memalukan apabila para mantan perwira tinggi yang patut diteladani mengeluarkan pernyataan yang menjatuhkan koleganya sendiri, merupakan sikap yang tabu dan di luar nalar banyak orang.

Padahal, beberapa kali pilpres pasca-Reformasi 1998, dapat dipastikan tidak ada kesamaan aliran politik para purnawirawan. Namun, semuanya tetap tampil sebagai purnawirawan terhormat yang tidak menjatuhkan saudaranya sendiri sesama warga TNI. Jika kita perhatikan ”amarah para purnawirawan” hanya diungkapkan oleh segelintir jenderal saja, bukan mayoritas dari mereka. Apalagi jika ada benarnya dugaan keributan sekarang ini sebagai kelanjutan dari ”perang masa lalu” yang belum usai. Jika tidak, tentu perbedaan kubu dukungan ini tidak harus ditunjukkan dengan saling menghujat secara terbuka.

Seorang purnawirawan adalah warga negara sipil biasa yang sudah terlepas dari berbagai atribut istimewa yang pernah dimilikinya. Semestinya yang abadi pada mereka adalah nilai-nilai keteladanan, kearifan, kesetiakawanan yang sudah berakar. TNI sarat dengan nilai-nilai kesatria. Itu sebabnya kita akan berkerut kening tanda ketidakpahaman jika purnawirawan jenderal saling menghujat, saling membuka aib yang ditafsirkan karena kepentingan politik. Jangan salahkan publik jika mereka meyakini ”purnawirawan TNI tak kompak lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar