Selasa, 24 Juni 2014

Revolusi Mental, Mulai dari Mana

Revolusi Mental, Mulai dari Mana

Mohammad Abduhzen  ;   Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi bangsa. Karakter bangsa menjadi lemah, imperialisme dengan mudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi.

(Bung Karno, 1956. Indonesia Menggugat: 129-133)

CALON presiden Joko Widodo (Jokowi) menulis di harian ini (10/5/2014) bahwa kita memerlukan revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang terus galau ini.

Menurut Jokowi, selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.

Revolusi mental itu berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang berdaulat secara politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial-budaya. Revolusi mental harus dimulai dari diri kita sendiri, lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian meluas ke lingkungan kota dan negara. Untuk itu, lanjut Jokowi, revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.

Empat aspek penting

Meski gagasan itu terasa masih mengambang, saya sependapat dengan revolusi mental sebagai paradigma pembangunan mendatang. Pertama, ide ini menukik pada simpul masalah dan penyumbat kemajuan bangsa selama ini. Masalah utama bangsa sudah sangat jelas, yakni kualitas manusia yang kini lebih ”dikapitaliskan” dengan sebutan modal manusia.

Kita hampir tak memiliki masalah ketersediaan sumber daya alam dan kuantitas penduduk sebagai basis perekonomian. Namun, karena manusia diposisikan sebagai barang ekonomi belaka dan mentalitas tak pernah jadi fokus serius pembangunan, berkembanglah aneka virus di jiwa yang menjadikan manusia Indonesia bukan saja tak mampu menjaga dan memanfaatkan beragam kekayaannya, melainkan juga jadi penyebab keterpurukan bangsanya sendiri.

Kedua, sejak Orde Baru, paradigma pembangunan kita selalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, meski begitu, kesejahteraan tak kunjung dirasakan rakyat. Klaim-klaim kemajuan ekonomi hanya gelembung rapuh sehingga mudah kolaps ketika diterpa krisis dan sukar pulih.

Soedjatmoko, di awal 1970-an, telah mengingatkan bahwa model pembangunan ekonomi yang dijalankan itu tidak mengarah dan berakar pada kebudayaan kita sendiri. Kemajuan yang dicapai tak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita, tak memupuk kepercayaan diri.  Menurut Soedjatmoko,  kita perlu memandang pembangunan ekonomi dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa atau dalam kerangka kebudayaan kita.

Ketiga, revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Ini sejalan dengan konstitusi  yang menetapkan  negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.

Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan pendidikan kita yang sangat parah, di antaranya kebijakan ujian nasional yang digagas dan dibela dengan gigih oleh Jusuf Kalla. Selain itu, pemerintah nantinya tak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren—seperti daya saing, persentase pendidikan karakter, atau kementerian perguruan tinggi dan riset—sebagai platform karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.

Keempat, secara empirik, sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia sering kali diawali oleh revolusi mental yang terekspresi sebagai revolusi ilmu pengetahuan, revolusi pemikiran, atau revolusi kebudayaan. Titik awal kemajuan bangsa Jepang, misalnya, adalah Restorasi Meiji yang mengubah mentalitas feodalisme ke arah modernisme melalui pendidikan. Malaysia, tetangga kita, di era Mahathir Mohamad, melakukan gerakan ”Melayu Baru” mulai 1971 yang dibarengi kebijakan ”afirmatif” ekonomi baru yang dikenal dengan New    Economic Policy. ”Tantangan terpenting dan tersulit adalah di bidang kebudayaan. Bahkan, dengan kebijakan ekonomi dan peluang baru, perubahan ini tidak akan terwujud tanpa pemupukan terhadap nilai-nilai baru tertentu... Modernisasi pikiran merupakan prasyarat bagi modernisasi ekonomi,” kata Mahathir (1999).

Mulai dari pemikiran

Meskipun bukan representasi total kemanusiaan, rasionalitas tampaknya merupakan esensi yang paling berpengaruh—di antara isi mental kita—pada kualitas kita sebagai Homo sapiens. Dengan demikian, untuk revolusi mental efektif harus dimulai dengan mengubah pemikiran.

Pertama,  membangun jiwa merdeka. ”Revolusi fisik” atau kemerdekaan telah dideklarasikan 69 tahun lalu, tetapi bilur-bilur keterjajahan masih kentara dalam mentalitas kita yang terekspresi  sebagai sikap dan perilaku minder, tidak bertanggung jawab, dan berjiwa korup. Maraknya korupsi di negeri ini di antaranya lantaran alam pikiran  membayangkan pemerintah dan negara sebagai kolonial sehingga merongrong pemerintah dan menggerogoti uang negara tak dirasa sebagai kesalahan, bahkan sebagai kepahlawanan.

Untuk itu, sistem pendidikan nasional dalam segala ranahnya harus dirancang sebagai upaya pemerdekaan yang menghapus fantasi keterjajahan melalui kekuatan berpikir, kemandirian, rasa memiliki, dan tanggung jawab. Perubahan pemikiran tidak akan terjadi sekiranya kita hanya meneruskan saja apa yang berlangsung selama ini.

Kedua, menanggalkan mental feodal. Feodalisme tidak sekadar menunjuk pada perilaku penguasa yang membuat jarak, despotik, dan minta dihormati, tetapi juga pada karakter manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 1977) yang terus dilestarikan sehingga menghalangi kemajuan. Gejala feodalisme tampak kian menguat dalam berbagai tingkat kepemimpinan kita dewasa ini. ”Banyaknya pimpinan saat ini bersifat feodal karena perlakuan rakyat atau bawahannya yang menjadikan pimpinannya berperilaku feodal” (BJ Habibie, pidato pembukaan Muktamar V ICMI, 5/12/2010).

Feodalisme di bidang politik dan pemerintahan telah  mengerdilkan jiwa kepemimpinan dan melahirkan birokratisme dengan segala bawaannya. Dalam dunia pendidikan, feodalisme melemahkan pikiran dan menyebabkan kebodohan. Sementara di bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan melestarikan ketergantungan dan diskriminasi atas dasar nilai-nilai primordialisme.

Beragam upaya demokratisasi harus dilakukan untuk meretas belenggu feodalisme masyarakat, di antaranya melalui keteladanan dan menghidupkan kamampuan berpikir kritis. Para pemimpin sekarang hendaknya belajar dari RM Soewardi Soerjaningrat yang ketika berumur 40 tahun menanggalkan gelar kebangsawanannya (Raden Mas) seraya mengganti nama jadi Ki Hadjar Dewantara. Alasannya agar lebih dekat  pada rakyat. Kepemimpinan yang mendekat dan mendengarkan rakyat secara otentik hanya dapat diterapkan  ketika feodalisme ditanggalkan.

Ketiga, mengubah cara pandang terhadap kerja. Kinerja harus jadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Tidak seperti tetumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia harus bekerja dan mencipta.

Letak muruah dan kemuliaan manusia adalah pada karya yang bermanfaat bagi kehidupan. Hanya bekerja keras dengan pikiran waras  kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam sosial budaya akan terwujud.

Keempat, reorientasi pemikiran agama. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran keagamaan sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat kita sejak dahulu. Keberagamaan seyogianya memberikan dorongan dan arah bagi perilaku produktif yang memudahkan dan memuliakan kehidupan serta kemanusiaan.

Namun, kenyataannya, agama sering kali  dipahami sebatas  perkara eskatologis dan transenden yang melahirkan sikap setengah hati terhadap keduniawian, fatalisme, dan mengutamakan ritual. Pemahaman yang tidak proporsional terhadap substansi dan fungsi agama menjadikan agama sebagai sumber kecemasan, konflik, dan ancaman terhadap kemanusiaan dan lingkungannya.

Revolusi mental akan menyempurnakan revolusi kita yang belum selesai. Ini memerlukan kesungguhan dan pemikiran mendalam serta komprehensif. Jika hanya pencitraan, sejarah akan menertawakan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar