Sabtu, 28 Juni 2014

Surat untuk Pecinta Gang Dolly

Surat untuk Pecinta Gang Dolly

Yasha Nomiva  ;   Penulis Buku,
Mahasiswa Prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
HALUAN, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Gang Dolly, lokalisasi yang disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara ini akhirnya ditutup secara resmi tanggal 18 Juni lalu. Namun pada hari-hari berikutnya masih saja berjalan kegiatan di daerah lokalisasi yang berusia sudah lebih dari 40 tahun ini. Keadaan ini sungguh ironis dan memprihatinkan.

Bila Anda melihat pekerja seks komersial (PSK) dan pemilik usaha di Gang Dolly yang bersikeras menolak penutupan Dolly, bahkan menggelar istigasah di jalan demi kelanjutan hidup mereka, apa yang terlintas di pikiran Anda? Apakah benar mereka hanya manusia yang butuh makan?

Mereka yang berdoa agar Gang Dolly tidak ditutup ini adalah orang-orang beragama. Dapatkah dibenarkan secara agama, mencari nafkah dari bisnis esek-esek? Memang benar manusia memiliki kebutuhan dasar dalam hidupnya, salah satunya makanan, seperti yang diungkapkan dalam teori Maslow. Namun manusia tidak hanya hidup dari makanan saja.

Manusia yang beriman kepada Tuhan tidak hanya memedulikan kebutuhan perutnya saja. Ada sebuah kebutuhan rohani. Ini dikarenakan manusia tidak hanya memiliki tubuh tetapi juga jiwa. Mereka yang gelap mata jiwanya tentu hanya mementingkan perkara perut dan alat kelamin alias lapar dan nafsu birahi. Lalu apa bedanya Anda dengan hewan bila Anda hidup hanya untuk makan dan bersenggama?

Baiklah, mereka yang meno­lak penutupan lokalisasi ini dapat beralibi bahwa warga yang menggerakan bisnis ini hanya lulusan SD atau bahkan tidak sekolah, mereka tidak dapat bekerja di bidang lain yang membutuhkan SDM kompeten.

Faktanya, memberi kursus keterampilan usaha yang lain pada orang-orang ini dapat dilakukan dan tidak mungkin mereka tidak sanggup belajar. Penulis justru merasa dalih tersebut merendahkan kepintaran mereka sendiri. Jika mereka tidak pintar, mana mungkin terlintas di benak mereka mengembangkan daerah lokalisasi sedemikian rupa selama lebih dari 40 tahun hingga disebut-sebut lokalisasi terbesar di Asia Tenggara?

Beberapa PSK malah berujar di media, “Wanita mana yang mau tidur dengan banyak lelaki demi mencari nafkah?” Tidak hanya satu orang yang berceloteh seperti itu, PSK lainnya turut menyatakan kalimat yang sama.

Logikanya, jika Anda merasa hal itu tabu dan tidak layak atau tidak menyenangkan untuk dilakukan, ya berhenti lakukan itu atau jangan lakukan itu. Jika PSK tersebut masih saja berdalih soal apa lagi yang bisa ia jual selain dirinya atau tubuhnya, maka penulis dengan tegas mengatakan masih banyak pilihan pekerjaan lain yang lebih bermartabat dan tidak susah dijalankan.

Fakta lainnya adalah keuntungan yang mereka raup lebih besar dari upah pegawai kantoran yang harus sarjana dulu untuk mendapatkan pekerjaan. Setiap PSK saja bisa mengantongi uang antara Rp 13 juta dan Rp 15 juta per bulan. Sementara sang mucikari bisa mendapat Rp 60 juta. Data tersebut dilansir sebuah media online 108Jakarta.com. Apakah ini berarti mereka hanya ingin mudah dan cepatnya saja dalam mencari uang?

Mari cermati keadaan anak-anak yang tinggal di daerah sekitar Gang Dolly. Nilai-nilai seperti apa yang dapat tertanam dalam pikiran mereka bila hidup di lingkungan seperti ini? Tentu nilai-nilai yang melenceng dari norma agama dan adat budaya yang seha­rusnya.

Penulis juga mengajak Anda memikirkan perputaran jual-beli remaja wanita yang terus berlanjut untuk dijadikan PSK. Kebanyakan dari mereka terjebak oleh agensi penipu. Bayangkan bila semua daerah lokalisasi di Indonesia ditutup lalu dibina seperti Gang Dolly. Mereka mampu mendapatkan kehidupan yang layak kembali.

Bekas lokalisasi Gang Dolly bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa yang lain yang tentunya bermartabat, mengingat loka­lisasi tersebut memiliki lokasi yang strategis di tengah Kota Surabaya.

Bila kita menengok mas­terplan pemerintah Kota Surabaya, lokasi Gang Dolly saat ini akan dimanfaatkan sebagai smart city, yang terdiri dari pasar, sentra pedagang kaki lima, ruang untuk TPA, balai latihan kerja, sekolah PAUD, dan bazaar rakyat.

Ingat lagi ideologi bangsa ini, Pancasila. Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa ini menghormati keberadaan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan hakim tertinggi.

Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Indonesia juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Maka sudah seharusnya meluruskan kembali nilai-nilai yang telah jauh melenceng itu.

Ketiga, persatuan Indonesia. Kita juga perlu menyatukan visi serta misi kita bersama demi kemajuan bangsa. Jadilah sehati dan sepikir dalam kebaikan dan kebenaran. Tidak ada kerugian dalam hal ini selain ego pribadi yang dikalahkan demi kepentingan bersama.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan. Kemudian bangsa ini hendaknya dipimpin sosok yang sanggup berhikmat serta bijaksana selayaknya Risma, seorang wanita cerdas dan bermartabat, Wali Kota Surabaya. Semoga capres dan cawapres yang terpilih nanti meyakini poin Pancasila keempat ini.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia juga perlu perlindungan dengan sistem sosial yang menyediakan kesempatan yang sama bagi tiap warganya untuk meraih hidup yang baik.

Selain memberi pelatihan bervariasi terhadap warga daerah lokalisasi, Risma beserta pihak-pihak terkait memberi modal usaha, memantau perkembangannya, bahkan ikut mengusahakannya seperti menyediakan stan-stan penjualan produk di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya.

Perlu diapresiasi usaha keras pihak-pihak yang peduli ini, seperti bantuan stimulus dari YDSF dan Muhammadiyah yang diwujudkan dalam bentuk barang, seperti mesin cuci untuk modal usaha laundry, bantuan gerobak gorengan, bantuan modal usaha pembuatan telur asin, juga bantuan modal usaha pembuatan kaos distro. Berita ini dilansir oleh sebuah media online Merdeka.com.

Sampai kapanpun perdebatan atau pro kontra dalam memandang sebuah fenomena atau masalah sosial menjadi hal yang lumrah. Namun pertentangan dua kubu ini tidak layak lagi diteruskan. Perlu adanya pencarian solusi sebagai jalan tengah. Tujuan perbedaan pendapat bukan soal menang-kalah, melainkan pencapaian jawaban yang adil dan tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar